Khazanah
Beranda » Berita » Keadilan di Dalam Diri: Menata Kerajaan Jiwa

Keadilan di Dalam Diri: Menata Kerajaan Jiwa

Keadilan dalam diri menurut Ibn Miskawayh
Ilustrasi simbolik keseimbangan batin manusia menurut Ibn Miskawayh, menggambarkan harmoni antara akal, amarah, dan nafsu.

Surau.co. Setiap manusia membawa kerajaan di dalam dirinya—kerajaan yang tak terlihat, tetapi mengatur seluruh arah hidup. Ibn Miskawayh, dalam Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq, menegaskan bahwa keadilan sejati tumbuh dari kemampuan seseorang menata kerajaan batinnya: akal, amarah, dan nafsu.

Menurutnya, keadilan sejati tidak lahir dari hukum luar semata, melainkan dari keseimbangan batin yang menenteramkan jiwa. Ketika akal memimpin, amarah melindungi, dan nafsu berjalan seimbang, muncullah pribadi yang damai dan bijaksana.

Menemukan Akar Kegelisahan

Dalam hidup modern, banyak orang kehilangan arah. Amarah cepat menyala, keinginan muncul tanpa batas, dan akal sering kalah oleh nafsu. Keadaan itu menandakan kerajaan batin berguncang.

Ibn Miskawayh menulis:

“Apabila hawa nafsu mengalahkan akal, rusaklah jiwa; namun jika akal menundukkan nafsu, jiwa menjadi baik.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Pesan ini tegas: keseimbangan melahirkan ketenangan. Orang yang mampu menunda keinginan, menahan amarah, dan mendengar suara akal sedang menegakkan keadilan dalam dirinya.

Cermin Jiwa yang Jernih

Selanjutnya, Miskawayh menyebut keadilan batin sebagai cermin yang bening. Cermin itu memantulkan keadaan hati tanpa bias emosi. Saat akal memegang kendali, seseorang melihat kenyataan dengan jernih.

“Keadilan adalah induk segala kebajikan dan timbangan bagi jiwa.”

Dalam pandangannya, keseimbangan batin bukan teori moral, melainkan cara hidup. Nafsu tetap menikmati dunia dengan batas, amarah tetap membela kebenaran, dan akal menuntun arah. Ia tidak mematikan hasrat, tetapi menatanya agar selaras dengan hikmah.

Ketenangan di Tengah Pertarungan Diri

Lebih jauh, Ibn Miskawayh memahami kelelahan batin manusia. Banyak orang bekerja tanpa arah, mencintai tanpa kendali, dan marah tanpa alasan. Ia mengingatkan:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

“Barang siapa mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya.”

Pengenalan diri membuka jalan menuju keadilan batiniah. Seseorang tidak bisa menata jiwanya bila tidak tahu siapa yang berkuasa di dalamnya. Karena itu, setiap pencari kebijaksanaan perlu berhenti sejenak, mendengarkan batin, lalu menilai: apakah akal memimpin atau nafsu yang bertakhta?

Cinta: Penjaga Keseimbangan

Di sisi lain, Miskawayh menghubungkan cinta dan adil. Ia berkata:

“Cinta menyucikan jiwa dan mengembalikannya pada keseimbangan.”

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Cinta menenangkan bagian diri yang saling bertikai. Ia menumbuhkan belas kasih, melunakkan hati, dan memulihkan harmoni. Dalam kehidupan nyata, cinta hadir lewat tindakan kecil: mendengar sebelum menilai, menegur tanpa membenci, memperbaiki tanpa merendahkan. Ketika cinta mengiringi keputusan, keadilan berubah menjadi kebaikan yang menyejukkan.

Menegakkan Keadilan Diri dari Dalam ke Luar

Kini dunia ramai menuntut keadilan sosial, tetapi sedikit yang berani menegakkannya di dalam diri. Ibn Miskawayh mengingatkan, keadilan luar hanyalah bayangan dari keadilan pribadi.

Seseorang yang menuruti ego dan memanjakan nafsu tidak mungkin menegakkan keadilan untuk orang lain. Al-Qur’an menegaskan:

“Wahai orang-orang beriman, jadilah penegak keadilan karena Allah, meski terhadap diri sendiri.” (QS An-Nisā’: 135)

Ayat ini menegur dengan halus: keadilan sejati lahir dari keseimbangan batin. Siapa pun yang berani jujur terhadap dirinya akan mudah berlaku adil kepada sesama.

Penutup: Kerajaan Jiwa yang Tenang

Perjalanan menata batin tak pernah mudah. Kadang kita kalah oleh diri sendiri, kadang berhasil menjaga harmoni. Namun setiap langkah menuju keseimbangan selalu membawa cahaya.

Ibn Miskawayh menutup ajarannya dengan harapan:

“Barang siapa membiasakan kebajikan, kebajikan itu menjadi tabiatnya.”

Keadilan dalam batin tumbuh melalui latihan yang sabar, refleksi mendalam, dan cinta pada kebenaran. Ketika kerajaan batin tertata, hidup terasa ringan; akal yang jernih memimpin dengan kebijaksanaan dan kasih, bukan dengan paksaan.

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement