Sejarah
Beranda » Berita » Tarikh Ath-Thabari: Kitab Sejarah islam Tua

Tarikh Ath-Thabari: Kitab Sejarah islam Tua

Tarikh Ath-Thabari: Kitab Sejarah islam Tua
Kitab Tarikh Ath-Thabari (Foto;Istimewa)

SURAU.CO – Dalam perjalanan panjang historiografi Islam, hanya sedikit karya yang mampu bertahan melampaui kekuasaan, rezim, dan zaman. Salah satunya adalah Tarikh al-Rusul wa al-Muluk karya Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 310 H), sebuah karya monumental yang tidak hanya mencatat sejarah, tetapi juga menegakkan kekuasaan ilmu di hadapan kekuasaan. Dinasti Abbasiyah yang sarat sensor, Thabari menulis sejarah dengan keberanian yang luar biasa—tanpa rasa takut pada ancaman atau tekanan rezim.

Ath-Thabari hidup pada masa ketika kekuasaan Abbasiyah mencapai puncak kemegahannya, namun juga menampilkan sisi kelamnya. Ia menyaksikan langsung bagaimana kekhalifahan menjadi instrumen politik yang tidak jarang menyumbangkan kejujuran dan keadilan. Dalam konteks seperti itu, keberanian Thabari menulis sejarah apa adanya bukanlah hal biasa. Ia menolak persetujuan pada kekuasaan dan menolak menjadikan sejarah sebagai alat propaganda. Ia lebih memilih untuk menuliskan kenyataan, betapapun pahitnya, daripada menutupinya demi keselamatan diri.

Tragedi dan Kejujuran dalam Tarikh Thabari

Salah satu bukti nyata keberaniannya tampak dalam kisah tragis pembunuhan Khalifah Al-Mutawakkil oleh putranya sendiri, Al-Muntashir. Dalam Tarikh -nya, Thabari menggambarkan peristiwa itu dengan detail yang mengerikan: tubuh sang khalifah ditikam dan dirobek oleh para pengawal atas perintah anak kandungnya. Tanpa sensor, ia menulis bagaimana Al-Muntashir segera dibaiat sebagai khalifah seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Tidak ada jeda duka, tidak ada rasa bersalah. Peristiwa itu memperlihatkan betapa kekuasaan bisa melemahkan nurani manusia.

Narasi Thabari tidak berhenti pada tragedi itu. Ia juga menyingkapkan kekejaman Khalifah Al-Muʿtadhid (279–289 H), yang dikenal sebagai penguasa bengis dan penuh intrik. Dalam salah satu catatannya, Thabari menuturkan penyiksaan terhadap seorang tahanan politik bernama Syamilah. Mereka membakar syamilah hidup-hidup hingga kulitnya terkelupas, memenggal kepalanya, lalu menyalibnya  di jembatan Bagdad. Dalam catatan lain, Thabari menulis bagaimana Al-Muʿtadhid menyerbu wilayah As-Sinn dan menjatuhkan ribuan warga, menenggelamkan mereka di Sungai Az-Zab, serta menawan perempuan dan anak-anak untuk digiring ke Bagdad.

Melawan Propaganda dengan Pena

Kisah-kisah itu merupakan cermin kejujuran intelektual dan keberanian seorang ulama yang menolak menulis demi kepentingan penguasa. Thabari menampilkan fakta tanpa glorifikasi. Ia menolak menutup-nutupi dosa politik, meskipun konsekuensinya bisa berakibat fatal. Thabari  menegakkan prinsip objektivitas yang kelak menjadi dasar etika penulisan sejarah Islam.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Sikap ini kontras dengan beberapa sejarawan lain pada masanya. Al-Baladzuri, misalnya, menulis Futuhul Buldan di bawah perlindungan khalifah dan menggambarkan penaklukan Islam dengan nada heroik tanpa banyak menyinggung sisi kelamnya. Ia menulis untuk mengukuhkan legitimasi kekuasaan, bukan untuk mengungkapkan kebenaran. Thabari memilih jalan sebaliknya: ia menulis untuk sejarah, bukan untuk istana.

Objektivitas di Tengah Bayang-Bayang Politik

Kejujuran Thabari semakin menonjol ketika ia menulis tentang kekhalifahan muda al-Muqtadir (295–320 H) yang naik takhta di usia tiga belas tahun. Dalam narasinya, Thabari menggambarkan sang khalifah sebagai boneka politik, sementara kekuasaan sesungguhnya berada di tangan para pejabat dan panglima. Ia tidak segan mencatat bagaimana kebijakan negara berjalan tanpa arah, dan bagaimana akibatnya rakyat menderita. Dalam satu catatan mengharukan, ia menulis bahwa para jamaah haji pada masa al-Muqtadir kelaparan dan kehausan hingga terpaksa meminum air kencing sendiri untuk bertahan hidup. Narasi ini membayangkan kesadaran siapa pun yang menganggap kejayaan Abbasiyah selalu gemerlap.

Namun, yang menjadikan Tarikh ath-Thabari begitu istimewa bukan hanya keberaniannya, tetapi juga metodologinya. Thabari mencantumkan sumber-sumber riwayat secara transparan. Ia menulis nama periwayat, sanad, dan perbedaan versi, lalu membiarkan pembaca menilai sendiri kebenarannya. Pendekatan ini menunjukkan integritas ilmiah yang tinggi dan menjadikan karyanya bukan sekedar kronik sejarah, melainkan risiko akademik yang sistematis. Ia membedakan antara apa yang ia yakini dan apa yang ia riwayatkan—suatu prinsip yang menjadi fondasi dalam studi sejarah Islam hingga kini.

Pena sebagai Alat Perlawanan Moral

Dalam konteks politik yang represif, sikap Thabari jelas berisiko. Dinasti Abbasiyah mengontrol dengan  ketat  wacana publik, terutama setelah peristiwa Mihnah—ujian ideologi di mana penguasaan doktrin Mu’tazilah kepada para ulama. Banyak tokoh besar seperti Imam Ahmad bin Hanbal disiksa karena tidak tunduk. Namun Thabari tetap menulis dengan jujur ​​di tengah bayang-bayang pemikiran itu. Ia menolak tunduk kepada penguasa dan memilih setia pada kebenaran.

Karya Thabari bukan sekedar dokumen sejarah, tetapi juga perlawanan moral terhadap hegemoni kekuasaan. Ia membuktikan bahwa pena bisa lebih tajam dari pedang ketika digunakan untuk menegakkan kebenaran. Tarikh ath-Thabari menjadi bukti bahwa sejarah sejati tidak bisa dibungkam oleh kekuasaan mana pun. Ia menulis bukan untuk menyenangkan khalifah, melainkan untuk menegakkan amanah ilmu.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Kini, lebih dari seribu tahun sejak Thabari wafat, karyanya tetap hidup dan menjadi rujukan utama bagi para sejarawan modern—baik di Timur maupun Barat. Ketika banyak catatan sejarah yang hilang ditelan kepentingan politik, Tarikh ath-Thabari justru tetap berdiri tegak sebagai saksi kejujuran intelektual. Karya ini tidak hanya mengajarkan tentang masa lalu, tetapi juga memberikan pelajaran abadi tentang keberanian moral seorang ilmuwan di hadapan kekuasaan.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement