Khazanah
Beranda » Berita » Sumpah Ila’: Jejak Kelam Relasi Suami Istri Pra-Islam

Sumpah Ila’: Jejak Kelam Relasi Suami Istri Pra-Islam

Sumpah Ila: Jejak Kelam Relasi Suami Istri Pra-Islam
Ilustrasi Suami Istrsi (Foto: Istimewa)

SURAU.CO – Dalam sejarah hukum keluarga Islam, sumpah ila’ menjadi salah satu topik menarik yang menunjukkan bagaimana syariat datang untuk menata kehidupan rumah tangga agar lebih adil, terutama bagi perempuan. Ila’ bukanlah tradisi baru yang muncul setelah Islam, melainkan praktik lama yang telah hidup di tengah masyarakat Arab pra-Islam atau masa Jahiliyah. Praktik ini menjadi bukti nyata betapa timpangnya hubungan suami istri di masa itu, ketika perempuan tidak memiliki posisi yang layak di dalam rumah tangga.

Secara sederhana, ila’ berarti sumpah seorang suami untuk tidak berhubungan badan dengan istrinya selama empat bulan atau lebih. Jika sumpah itu diucapkan kurang dari empat bulan, maka secara hukum tidak disebut ila’ . Contohnya, seorang suami bersumpah, “Demi Allah, aku tidak akan menyentuhmu selama empat bulan!” atau bahkan, “Aku tidak akan menyentuhmu lagi selamanya!” Praktik semacam ini tampak sepele, namun memiliki dampak psikologis dan sosial yang sangat besar bagi perempuan.

Dalam pandangan Islam, ila’ adalah perbuatan yang haram. Syekh Abu Bakar Muhammad Syatha ad-Dimyathi dalam Hasyiyah I’anah at-Thalibin (Darul Fikr, 1997 M, jilid IV, hlm. 39) menjelaskan bahwa sebagian ulama menganggap ila’ termasuk dosa besar, sementara pendapat lain menggolongkannya sebagai dosa kecil. Namun, apa pun tingkatannya, semua sepakat bahwa ila’ merupakan perbuatan terlarang karena mengandung unsur penentaran terhadap istri yang sah.

Logikanya sederhana: bagaimana mungkin seorang suami yang sah dan berhak menggauli istrinya justru bersumpah karena tidak melakukannya, tetapi juga tidak menceraikannya? Dengan sumpah itu, istri kehilangan hak batinnya sebagai pasangan, namun juga tidak bisa menikah dengan orang lain. Maka, ila’ pada hakikatnya merupakan bentuk ketidakadilan yang menyiksa perempuan dan bertentangan dengan prinsip kasih sayang dalam rumah tangga.

Ila’ dalam Tradisi Jahiliyah

Imam Abul Hasan al-Mahamili asy-Syafi’i (wafat 415 H) menjelaskan dalam al-Lubab fil Fiqhis Syafi’i (Dar Bukhari, 1416 H, jilid I, hlm. 333) bahwa orang-orang Jahiliyah memiliki tiga bentuk perceraian: talak , zihar , dan ila’ . Ketiganya digunakan untuk memutus hubungan suami istri dengan cara-cara yang sering merugikan perempuan. Dalam perkembangannya, Islam menghapus hukum zihar dan ila’ sebagai bentuk talak , dan hanya mempertahankan talak sebagai satu-satunya bentuk perceraian sah.

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin

Namun, penghapusan hukum ila’ bukan berarti Islam meniadakan praktiknya secara total. Islam justru mengatur ulang agar tidak menjadi alat berputar. Jika seorang suami bersumpah ila’ tetapi kemudian ingin kembali ke istrinya, maka ia wajib membayar kafarat sumpah sebagai bentuk penebusan.

Perubahan besar yang dilakukan Islam terhadap praktik ini juga tampak pada batas waktunya. Di masa Jahiliyah, suami bisa bersumpah karena tidak menyentuh istrinya selama setahun, dua tahun, bahkan selamanya. Tujuannya sering kali bukan karena marah, tetapi untuk menyakiti dan mengekang istri agar tidak bisa menikah lagi. Setelah datangnya Islam, Allah menetapkan masa maksimal empat bulan untuk sumpah ila’ . Setelah itu, suami wajib menentukan sikap: kembali kepada istri atau menceraikannya secara baik.

Reformasi Hukum Islam terhadap Ila’

Imam al-Qurthubi (wafat 671 H) mencatat pendapat Abdullah bin Abbas dalam al-Jami’ li Ahkamil Qur’an (Dar Alamil Kitab, 2003 M, jilid III, hlm. 103):

Ila’ di masa Jahiliyah bisa berlangsung satu tahun, dua tahun, atau lebih dari itu. Mereka bermaksud menyakiti perempuan ketika terjadi kehamilan. Maka Islam menetapkan batas waktu empat bulan. Siapa yang bersumpah kurang dari itu, maka tidak termasuk ila’ secara hukum.”

Penetapan waktu empat bulan bukanlah keputusan yang sembarangan. Batasan ini memberikan ruang bagi kedua pihak untuk menenangkan diri, tetapi juga memastikan agar istri tidak dibiarkan dalam keadaan beku. Jika setelah empat bulan suami tetap tidak menggauli istrinya, maka hakim berhak memaksa suami untuk memilih: memaafkan sumpah dan kembali, atau menceraikan istrinya dengan baik.

Frugal Living Ala Nabi: Menemukan Kebahagiaan Lewat Pintu Qanaah

Dengan demikian, Islam tidak hanya meniadakan unsur-unsur dalam ila’, tetapi juga menegaskan hak perempuan atas kejelasan status dan hak batin. Aturan ini menunjukkan bahwa Islam datang membawa keadilan dan keseimbangan dalam hubungan rumah tangga, sesuatu yang tidak dikenal dalam masyarakat Jahiliyah.

Penyalahgunaan Ila’ sebagai Alat Penindasan

Pada masa Jahiliyah, ila’ sering menjadi alat bagi laki-laki untuk menyakiti istrinya tanpa benar-benar melepaskannya. Imam Abu Ishaq ats-Tsa’labi (wafat 467 H) dalam al-Kasyfu wal Bayan ‘an Tafsiril Qur’an (Darul Ihya at-Turats, 2002 M, jilid II, hlm. 168) menjelaskan:

(Ila’) termasuk tindakan menyakiti orang-orang Jahiliyah. Seorang lelaki yang tidak menginginkan seorang wanita, namun tidak suka jika wanita itu menikah dengan orang lain, akan bersumpah untuk tidak mendekatinya selamanya. Ia membiarkan istrinya tidak menjadi janda dan tidak pula menjadi istri yang sah.”

Penjelasan ats-Tsa’labi ini memperlihatkan betapa ila’ menjadi simbol kekuasaan patriarkal di masa Jahiliyah. Seorang suami bisa dengan mudah menjaga istrinya tanpa memberi hak biologis maupun kebebasan untuk menikah lagi. Dalam kondisi seperti itu, perempuan kehilangan seluruh hak dasarnya sebagai manusia.

Islam kemudian datang menghapus akar ketidakadilan ini. Ila’ tidak lagi menjadi alat kekuasaan, tetapi diatur agar menjadi bentuk sumpah yang memiliki masa Jahiliyahdan waktu yang jelas. Dengan menetapkan batas empat bulan, Islam memberikan perlindungan kepada perempuan dari bentuk penelantaran terselubung.

Menyelaraskan Minimalisme dan Konsep Zuhud: Relevansi Kitab Riyadhus Shalihin di Era Modern

Islam menjadikan ila’ bukan lagi bentuk talak, tetapi sumpah yang memiliki aturan yang jelas: masa maksimal empat bulan, kewajiban kafarat, dan keharusan memberi kejelasan kepada istri. Jika suami tidak melakukannya, hakim berhak turun tangan demi melindungi hak perempuan.

Dengan demikian, sejarah ila’ bukan hanya catatan tentang praktik kelam masa lalu, tetapi juga bukti bagaimana Islam hadir untuk menegakkan keadilan dan martabat manusia, terutama perempuan, dalam bingkai rumah tangga. Syariat tidak datang untuk menindas, melainkan untuk menata kehidupan agar lebih manusiawi.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement