Sejarah
Beranda » Berita » Sejarah Bendera Islam: al-Liwâ’ atau ar-Râyah

Sejarah Bendera Islam: al-Liwâ’ atau ar-Râyah

sejarah al-Liwâ’atau ar-Râyah
Ilustrasi al-Liwâ’atau ar-Râyah (Foto: Istimewa)

SURAU.CO – Catatan sejarah menjelaskan bahwa bendera islam atau istilah al-Liwâ’ atau ar-Râyah sebenarnya merupakan symbol komando dalam peperangan yang hanya boleh dipegang oleh pimpinan perang. Al-Liwâ‘ merupakan bendera besar berwarna putih yang Rasulullah letakkan di markas komando, sedangkan ar-Râyah adalah bendera kecil berwarna hitam yang Rasulullah kibarkan di medan perang untuk menunjukkan posisi pemimpin pasukan.

Ibnu Batthal, seorang ulama klasik, menjelaskan tentang ar-Râyah sebagai berikut:

Dalam hadis tersebut (hadis pemberian bendera oleh Rasulullah kepada pemimpin perang), diketahui bahwa ar-Râyah tidak wajib dibawa kecuali oleh orang yang diberi kekuasaan oleh Imam (pemimpin negara) dan tidak mempunyai otoritas apa pun bagi orang yang mengambilnya kecuali dengan mandat kekuasaan.”

Penjelasan itu menegaskan bahwa bendera tersebut hanya boleh digunakan oleh orang yang memiliki amanat langsung dari pemimpin tertinggi, yaitu Rasulullah ﷺ pada masa itu atau khalifah setelahnya. Oleh karena itu, masyarakat tidak bisa menggunakan bendera tersebut secara sembarangan.

Bendera Bukan Simbol Negara atau Agama

Sebagian besar orang modern menganggap bendera ini sebagai simbol resmi Islam, tetapi sejarah membantah anggapan itu. Tidak ada satu pun catatan valid yang menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ mengibarkan bendera tersebut di rumahnya atau di Masjid Nabawi. Padahal, Rasulullah menjadikan masjid sebagai pusat ibadah, pemerintahan, pendidikan, dan musyawarah umat. Bila bendera itu berfungsi sebagai lambang negara Islam, tentu Rasulullah akan mengibarkannya sebagai tanda resmi pemerintahan.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Begitu pula pada masa Khulafaur Rasyidin —Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali—tidak satu pun dari mereka menjadikan al-Liwâ’ atau ar-Râyah sebagai lambang pemerintahan. Para khalifah hanya menggunakan bendera itu dalam konteks militer, bukan sebagai simbol negara.

Warna dan Makna yang Sering Disalahpahami

Beberapa riwayat menyebutkan bahwa ar-Râyah Rasulullah berwarna hitam, sedangkan al-Liwâ’ berwarna putih. Warna itu tidak memiliki makna mistis atau simbolis sebagaimana banyak orang tafsirkan secara berlebihan. Rasulullah memilih warna hitam dan putih karena alasan praktis: kedua warna tersebut mudah terlihat di medan perang dan memudahkan para pasukan untuk membedakan satu sama lain.

Namun, sebagian kelompok di masa modern mengubah makna warna hitam menjadi simbol kekuatan, jihad, atau perjuangan global menegakkan syariat Islam. Mereka menafsirkan warna itu secara ideologis, bukan historis. Padahal, pemaknaan semacam ini tidak memiliki dasar sejarah yang kuat. Makna itu muncul dari tafsir politik, bukan dari fakta yang terjadi pada masa Rasulullah.

Pergeseran Makna di Era Modern

Setelah Khilafah Utsmaniyah runtuh pada abad ke-20, sebagian kelompok politik Islam mulai menghidupkan kembali simbol bendera hitam dan putih. Mereka menjadi lambang ideologi perjuangan, bukan lagi tanda militer. Dalam berbagai aksi perlawanan dan intimidasi, mereka mengibarkan bendera bertuliskan Lâ ilâha illallâh Muhammadur Rasûlullâh sebagai simbol perlawanan terhadap sistem yang mereka anggap sekuler atau tidak Islami.

Padahal, jika kita mengkaji sejarah dan fikih, Rasulullah tidak pernah menjadikan bendera itu sebagai alat propaganda politik. Rasulullah menggunakan bendera itu hanya untuk kebutuhan militer. Ketika orang mengibarkannya dalam keadaan damai, mereka justru menimbulkan kesalahpahaman dan merusak nilai sejarahnya.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Dari sudut pandang fikih, membawa bendera bertuliskan kalimat tauhid tidak termasuk perbuatan haram. Kalimat tersebut merupakan pernyataan keimanan yang paling agung dalam Islam. Namun, umat Islam perlu berhati-hati agar tidak mengubah makna dan konteks simbol tersebut. Ketika seseorang menjadikan bendera itu sebagai tanda kelompok atau ideologi tertentu, ia justru menodai kesuciannya.

Kita juga perlu memikirkan sebuah pertanyaan penting: mengapa membawa simbol perang di masa damai? Rasulullah ﷺ menggunakan bendera itu untuk memimpin jihad fi sabilillah, melindungi umat manusia, menegakkan keadilan, dan mempertahankan diri dari agresi musuh. Ketika umat Islam membawa bendera itu dalam orasi politik atau aksi massa, mereka memindahkan simbol perang ke konteks sosial yang sama sekali berbeda. Alih-alih menjadi alat pemersatu, bendera itu justru berpotensi memecah belah sesama Muslim.

Penempatan Simbol Sesuai Konteksnya

Sejarah Islam mengajarkan bahwa setiap simbol memiliki tempat dan waktunya. Rasulullah ﷺ memperkenalkan al-Liwâ’ dan ar-Râyah sebagai bagian dari strategi perang, bukan sebagai simbol keagamaan yang harus dihidupkan sepanjang masa. Islam menilai kesalehan dari niat, akhlak, dan amal, bukan dari simbol-simbol lahiriah.

Menisbatkan bendera perang sebagai “bendera Islam sejati” justru mencerminkan makna ajaran Islam yang luas. Islam tidak diwakili oleh kain hitam atau putih, tetapi oleh nilai-nilai keadilan, kasih sayang, dan kedamaian yang Rasulullah ajarkan.

Rasulullah ﷺ menggunakan bendera bukan untuk tujuan ideologi, melainkan untuk mengatur strategi perang. Oleh karena itu, bendera dalam sejarah Islam berfungsi sebagai simbol taktis, bukan simbol teologis. Ketika umat Islam modern menghidupkan kembali bendera tersebut tanpa memahami akar sejarahnya, mereka berisiko cenderung makna dan melahirkan kesalahpahaman baru.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Kita tidak perlu menolak simbol, tetapi kita harus menempatkannya secara proporsional. Islam tidak membutuhkan bendera untuk menunjukkan keberadaannya. Ia hidup dalam hati, dalam amal saleh, dan dalam akhlak umatnya. Maka, mari kita mengembalikan al-Liwâ’ dan ar-Râyah ke tempat yang seharusnya—sebagai catatan sejarah yang mengingatkan kita pada disiplin, strategi, dan kepemimpinan Rasulullah ﷺ di medan perang, bukan sebagai alat dakwah di panggung dakwah masa kini.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement