SURAU.CO – Khalifah al-Mustakfi Billah merupakan khalifah ke-22 Dinasti Abbasiyah. Nama lengkapnya Abul Qasim Abdullah bin al-Muktafi bin al-Mu’tadhid. Ayah dan kakeknya pernah menduduki takhta sebagai khalifah ke-17 dan ke-16. Saat naik takhta pada usia 41 tahun, al-Mustakfi menghadapi zaman yang berbeda. Para jenderal militer dan penguasa daerah telah merebut kekuasaan sejati dari tangan khalifah.
Sebelum masa al-Mustakfi, jenderal Turki bernama Tuzun—yang menjabat Amir al-Umara—menyingkirkan Khalifah al-Muttaqi secara kejam. Ia mencongkel mata al-Muttaqi dan kemudian mengangkat al-Mustakfi sebagai khalifah pada tanggal 26 Agustus 944 M. Ia tidak melibatkan para ulama atau perwakilan rakyat dalam menyampaikannya. Ibnu al-Atsir dalam al-Kamil fit Tarikh menulis bahwa keputusan itu lahir dari intrik dan bisikan di balik layar. Para penguasa memaksa rakyat menerima siapa pun yang mereka pilih, dan siapa pun yang menolak harus menebusnya dengan nyawa.
Para pejabat mengubah sistem pemerintahan yang seharusnya berdiri di atas musyawarah dan syura menjadi panggung perebutan kekuasaan. Dalam kondisi politik yang kacau, al-Mustakfi tidak mampu memperbaiki keadaan meski ia berkepribadian baik. Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah menggambarkan al-Mustakfi sebagai lelaki tampan, berwajah cerah, dan penuh kasih sayang. Namun, kecerdasannya tidak mampu melawan kerusakan sistem yang diwarisinya.
Kekacauan dan Penderitaan Rakyat
Tuzun menjadi satu-satunya tumpuan al-Mustakfi dalam mempertahankan kekuasaan. Ia memimpin pasukan untuk menghadapi Ahmad bin Buwaih, dominasi Persia. Setelah berhasil menahan serangan itu, Tuzun meninggal pada Agustus 945. Sekretarisnya, Abu Ja’far bin Syirzad mengambil alih kekuasaan. Imam as-Suyuthi menggambarkan Abu Ja’far sebagai tokoh yang ambisius dan haus kekuasaan. Ia membentuk pasukan sendiri dan mengendalikan khalifah sepenuhnya.
Sementara itu, Bagdad jatuh ke dalam krisis yang berat. Pasukan Buwaihiyah mengepung kota, memutus jalur pasokan makanan, dan membuat rakyat mengalami kelaparan. Sejarawan mencatat peristiwa mengenaskan: harga roti melonjak enam kali lipat, warga mencari rumput, sampah, bahkan daging anjing dan kucing untuk bertahan hidup. Beberapa perempuan bahkan memakan daging manusia demi menyelamatkan nyawa. Kondisi ini menyingkap sisi gelap kekhilafahan yang selama ini dianggap ideal. Sejarah justru menunjukkan bahwa sistem itu juga menyimpan masa suram yang penuh penderitaan.
Abu Bakar as-Suli dalam Akhbar ar-Radhi wa al-Muttaqi menjelaskan bahwa ribuan warga Bagdad meninggalkan kota. Mereka memilih pindah ke Hulwan, Khurasan, Wasit, Syam, dan Mesir. Migrasi besar-besaran itu memperlihatkan betapa rakyat menanggung beban paling berat akibat perebutan kekuasaan di istana.
Kehancuran Bagdad dan Munculnya Bani Buwaih
Ketika situasi semakin genting, Abu Ja’far mengajak Bani Hamdan bersekutu untuk melawan Bani Buwaih. Selama tiga bulan, pihak kedua bertempur sengit. Namun, pasukan Bagdad kalah dan Abu Ja’far melarikan diri. Ahmad bin Buwaih pun memasuki Bagdad dengan pasukan besar. Ia membiarkan tentaranya menjarah rumah-rumah dan membakar sebagian kota. Al-Mustakfi tidak punya pilihan selain menandatangani perjanjian damai.
Dalam perjanjian itu, al-Mustakfi tetap memegang simbol kekhalifahan, namun Ahmad bin Buwaih menguasai kekuasaan nyata. Ahmad kemudian menyebut dirinya Mu’iz ad-Dawlah, sementara dua saudaranya juga memperoleh gelar: Ali menjadi Imad ad-Dawlah (tiang negara) dan Hasan menjadi Rukn ad-Dawlah (pilar negara). Mereka mencetak nama-nama itu di mata uang resmi. Al-Mustakfi, yang berusaha mempertahankan wibawa, menambah gelarnya sendiri dengan sebutan Imam al-Haq. Imam as-Suyuthi mencatat dalam Tarikh al-Khulafa bahwa gelar itu juga tertera di koin dinar Abbasiyah.
Namun, gelar-gelar itu tidak berarti apa-apa. Bani Buwaihiyah yang bermazhab Syiah sepenuhnya mengendalikan pemerintahan, sementara khalifah Sunni hanya menjadi simbol. Untuk pertama kalinya, pemerintahan Sunni berada di bawah kendali Syiah. Fenomena ini memperlihatkan betapa rumit dan paradoksnya politik Islam pada masa itu.
Tragedi di Ujung Tahta
Kisah tragis al-Mustakfi tak henti-hentinya. Ketika Mu’iz ad-Dawlah mendengar desas-desus bahwa khalifah berencana menyingkirkannya, ia segera bergerak. Ia memerintahkan pasukannya menduduki istana, menjarah semua harta, dan menyeret al-Mustakfi ke rumahnya. Ia mengulangi kekejaman yang pernah dilakukan terhadap al-Qahir dan al-Muttaqi: ia mencongkel kedua mata al-Mustakfi. Dengan satu tindakan keji itu, Mu’iz ad-Dawlah bukan hanya merampas penglihatan al-Mustakfi, tetapi juga seluruh kekuasaannya.
Mu’iz ad-Dawlah menggunakan cara itu karena para ulama seperti Imam al-Mawardi dan Imam al-Ghazali mensyaratkan khalifah harus sehat panca inderanya. Dengan demikian, begitu kehilangan penglihatan, al-Mustakfi otomatis kehilangan kelayakan sebagai khalifah. Cara menurunkan khalifah pun berubah. Bila sebelumnya orang harus membunuh khalifah untuk menggantinya, kini cukup mencongkel matanya agar ia dianggap tidak sah memimpin. Sebuah metode baru yang kejam, tetapi diterima secara politik pada masa itu.
Buya Hamka menggambarkan periode ini dengan kalimat tajam, “inilah kekuasaan paling akhir dari Daulat Abbasiyah.” kekhilafahan hanya tinggal tanda tanpa makna. Nama khalifah masih bergema di mimbar, tetapi kekuasaan sudah berpindah tangan. Ucapan menggambarkan betapa kekhilafahan yang dulu berjaya di bawah Harun ar-Rasyid kemudian tinggal bayangan Sejarah. Dari kisah ini, kita bisa belajar bahwa kesuksesan tidak lahir dari sistem yang diagungkan, melainkan dari akhlak, moral, dan keadilan pemimpinnya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
