Kisah
Beranda » Berita » Bal’am bin Ba’ura: Cermin bagi Cendekiawan yang Tergoda Dunia

Bal’am bin Ba’ura: Cermin bagi Cendekiawan yang Tergoda Dunia

Bal'am bin Ba'ura: Cermin bagi Cendekiawan yang Tergoda Dunia
Ilustrasi Bal'am bin Ba'ura (Foto: Internet)

SURAU.CO – Dalam sejarah para nabi dan umat terdahulu, terdapat satu kisah tragis tentang seorang alim yang jatuh dari kemuliaan karena ketundukan pada hawa nafsu. Ia adalah Bal’am bin Ba’ura, seorang tokoh berilmu pada masa Nabi Musa as yang dikenal karena kedekatannya dengan Allah. Doanya sering diijabah, dan ia konon mengetahui Ismul A’dzam — nama agung Allah yang bila diucapkan dalam doa, niscaya dikabulkan. Namun, segala karunia itu lenyap ketika ia memilih dunia kerana nafsu.

Kisahnya diabadikan dalam Surah Al-A’raf ayat 175, ketika Allah berfirman:

Dan bacakanlah kepada mereka (wahai Muhammad) berita tentang orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia berpura-pura), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.” (QS. Al-A’raf [7]: 175)

Mayoritas ulama tafsir berpendapat bahwa ayat ini merujuk kepada Bal’am bin Ba’ura. Ia berasal dari klan Balqa’, bagian dari Bani Kan’an, dan terkenal sebagai ahli ibadah serta orang yang doanya selalu mustajab. Fakhruddin al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib menjelaskan bahwa Bal’am memiliki kedudukan spiritual tinggi hingga dikenal luas oleh kaumnya (al-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz XV, hal. 403).

Dari Kemuliaan Menuju Kehinaan

Namun, sebagaimana banyak kisah manusia besar dalam sejarah, kejatuhan Bal’am bermula dari ujian nafsu dan ambisi. Setelah Nabi Musa berhasil menyelamatkan Bani Israil dari kejaran Firaun, Allah memerintahkannya menuju wilayah Bani Kan’an, kaum kafir yang hidup dalam kezalimanan (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim , juz III, hal. 457).

Landasan Dasar Penyimpanan Akidah

Kedatangan Musa membuat para pembesar Bani Kan’an ketakutan. Mereka lalu mendatangi Bal’am dan meminta mendoakan keburukan bagi Musa dan kaumnya. “Wahai Bal’am,” kata mereka, “Musa bin Imran akan datang bersama pasukannya. Mereka akan mengusir dan membunuh kami.”

Bal’am menolak dengan tegas. Ia sadar bahwa Musa adalah utusan Allah. “Celakalah kalian!” jawabnya. “Musa adalah nabi Allah. Di belakangnya ada malaikat dan orang-orang beriman. Bagaimana mungkin aku melaknatnya?”

Doa yang Berbalik dan Rencana Licik

Namun rayuan duniawi tidak berhenti di situ. Para pembesar terus membujuk Bal’am dengan janji harta dan kedudukan. Awalnya ia teguh, tetapi lama-kelamaan, hatinya goyah. Ia tergoda oleh kemegahan dunia yang semu. Ilmu yang seharusnya menuntun justru tak lagi menahan langkahnya.

Bal’am kemudian naik ke sebuah bukit dan bermaksud mendoakan kebinasaan Nabi Musa dan Bani Israil. Namun Allah justru membalik lidahnya. Setiap kali ia ingin melaknat Musa, justru pujian yang keluar dari lisannya. Bahkan doa keburukan yang ia panjatkan kembali menimpa kaumnya sendiri.

Gagal dengan cara itu, Bal’am merancang siasat yang lebih licik. Ia tahu bahwa Allah membenci perbuatan maksiat, dan sadar bahwa Bani Israil akan ditimpa murka jika tergelincir dalam dosa. Maka ia menyusun rencana jahat untukmenjebak mereka ke dalam perzinaan.

Takut kepada Allah: Puncak dari Segala Kebaikan

Ia meminta kaumnya mengirim seorang wanita cantik yang telah dirias agar menarik perhatian kaum Musa. Wanita itu dikirim dengan alasan berdagang. Rencana busuk itu berhasil. Seorang tokoh Bani Israil bernama Zamra bin Syalum terpikat dan tergoda. Ia melanggar larangan nabi Musa, sebagai akibatnya, Allah menurunkan bencana besar kepada Bani Israil.

Ibnu Jarir at-Thabari dalam Tarikh at-Thabari menyebut bahwa setelah kejadian itu, Bani Israil tertimpa wabah Tha’un dan banyak yang binasa. Riwayat lain menyebut mereka tersesat di padang Tih selama empat puluh tahun (At-Thabari, Tarikh at-Thabari).

Rasulullah SAW. pun telah memberi pedoman,

Janganlah kalian mempercayai ahli kitab dan jangan pula kalian dustakan mereka, tetapi ucapkan: Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami .” (HR.Bukhari)

Bal’am bin Ba’ura jatuh bukan karena kurang ilmu, tetapi karena gagal menjaga hati. Ilmunya tidak lagi membimbingnya kepada Allah, melainkan menjadi alat untuk mencapai kepentingan-kepentingan duniawi. Ketika hawa nafsu berkuasa, ilmu kehilangan cahaya hidayahnya.

Syair Pendosa: Antara Dosa, Takut, dan Harap

Refleksi untuk Zaman Modern

Pelajaran paling berharga dari kisah ini ialah pentingnya menyatukan ilmu dan akhlak. Ilmu harus menjadi jalan menuju ketundukan, bukan kesombongan. Allah menganugerahkan ilmu agar manusia semakin mengenal kebesaran-Nya, bukan agar merasa lebih tinggi dari yang lain.

Seorang ulama sejati bukan hanya diukur dari hafalan atau penguasaan dalil, tetapi dari keikhlasan niat dan keteguhan dalam menjaga amanah ilmu.

Kisah Bal’am bin Ba’ura menegaskan bahwa ilmu sejati adalah yang menumbuhkan rasa takut kepada Allah. Ketika ilmu tidak lagi menuntun pada ketaatan, maka ia hanya akan menjadi beban di bahu pemiliknya.

Semoga kita tidak mengulangi tragedi Bal’am — seorang alim yang pernah begitu dekat dengan Allah, namun berakhir dalam kehinaan karena ketundukan pada hawa nafsu. Sebab, tidak ada kehancuran yang lebih parah selain saat ilmu kehilangan arah, dan hati kehilangan nur iman.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.