SURAU.CO – Sejarah Islam menyuguhkan banyak kisah berharga. Kisah para sahabat Nabi Muhammad ﷺ senantiasa menginspirasi kita. Abu Darda, seorang sahabat agung dan terkemuka dari kaum Anshar di Madinah, menjadi salah satu teladan itu. Keislaman beliau memiliki cerita unik dan penuh makna. Orang mengenalnya sangat zuhud terhadap dunia. Kecintaannya pada ilmu begitu besar. Lebih jauh lagi, ketakwaannya patut setiap muslim contoh. Kisah hidupnya mengajarkan banyak hal berharga. Ini tentang iman yang teguh, ilmu yang mendalam, dan kehidupan sederhana namun penuh makna. Artikel ini akan membahas perjalanan hidup beliau dengan detail.
Dari Pedagang Sukses hingga Pencari Kebenaran Sejati
Nama lengkap beliau adalah Uwaimir bin Zaid bin Qais. Abu Darda berasal dari Bani Khazraj, salah satu suku Anshar terkemuka di Madinah. Kunyah terkenalnya adalah Abud Darda. Sebelum memeluk Islam, ia menjalankan bisnis sebagai pedagang yang sangat sukses dan kaya raya. Menariknya, ia juga sangat mencintai berhalanya, yaitu Manat. Ia memuja sesembahan itu dengan penuh keyakinan. Hati beliau saat itu terikat kuat pada dunia dan pernak-perniknya. Namun demikian, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyiapkan rencana lain yang jauh lebih indah baginya.
Ketika Cahaya Iman Menembus Hati Abu Darda
Keislaman Abu Darda memiliki cerita yang sangat istimewa. Kisah dramatis ini secara fundamental mengubah seluruh hidupnya.
Suatu hari, Abdullah bin Rawahah datang berkunjung. Sahabat sekaligus tetangga Abu Darda itu masuk ke rumahnya bersama Muhammad bin Maslamah. Dengan penuh keberanian, keduanya menghancurkan berhala Manat, sesembahan yang sangat Abu Darda cintai dan puja. Saat itu, Abu Darda sedang sibuk berdagang di pasar. Ketika pulang, sebuah pemandangan mengejutkan menyambutnya. Berhalanya hancur berkeping-keping di lantai. Tentu saja, ia terkejut bukan kepalang melihat kondisi itu.
Abu Darda kemudian berpikir keras dan merenungkan kejadian itu dalam-dalam. “Celaka berhala ini!” ucapnya dalam hati. “Ia bahkan tidak bisa membela diri sendiri!” Dengan demikian, ia akhirnya menyadari kebenaran. Berhala itu hanyalah sebongkah batu mati. Sama sekali tidak dapat memberi manfaat sedikit pun, dan tidak pula menolak bahaya dari dirinya sendiri. Tidak lama kemudian, Abdullah bin Rawahah kembali menghampirinya. Ia mengajak Abu Darda untuk beriman kepada Allah Yang Maha Esa. Tanpa ragu sedikit pun, Abu Darda menerima Islam. Peristiwa hidayah ini terjadi setelah Perang Badar. Ia termasuk salah satu Anshar terakhir yang masuk Islam. Meskipun demikian, ia segera menyusul dan bahkan melampaui sahabat lainnya dalam hal keilmuan dan ketakwaan. Ini sungguh bukti kekuatan hidayah Allah yang tak terduga.
Kedudukan dan Keilmuan: Seorang Alim Mumpuni dan Terpercaya
Setelah memeluk Islam, Abu Darda secara total mengubah arah hidupnya. Ia tidak lagi sekadar pedagang sukses, melainkan menjadi seorang ahli ilmu yang sangat dihormati. Ia membentuk sosok ulama besar di masanya.
Abu Darda menghafal Al-Qur’an dengan sangat baik. Ia juga mendalami fiqih secara mendalam. Orang-orang mengenal kecerdasan dan daya ingatnya yang tajam. Dengan sungguh-sungguh, ia mendalami agama dan belajar langsung dari Nabi ﷺ. Ini menjadikannya rujukan utama bagi para sahabat lainnya dalam hal hukum dan tafsir. Bahkan, ia bertugas sebagai salah satu hakim penting di Madinah pada masa Nabi ﷺ. Selain itu, ia termasuk perawi hadits yang sangat terpercaya. Ia meriwayatkan banyak hadits dari Nabi ﷺ. Hadits-hadits ini kemudian menjadi pedoman penting bagi umat Islam. Ia memiliki ilmu yang sangat luas dan mendalam. Para ulama sangat memercayainya, menjadikannya tokoh kunci dalam penyebaran Sunnah Nabi.
Akhlak Mulia dan Zuhud: Cerminan Hamba Allah yang Bertakwa Sejati
Abu Darda terkenal luas karena akhlak mulianya yang terpuji. Ia juga seorang yang sangat zuhud terhadap gemerlap dunia yang fana.
Beliau menunjukkan kezuhudan yang luar biasa pada dunia ini. Sama sekali ia tidak mencintai harta benda. Sebaliknya, ia lebih mencintai akhirat yang kekal abadi. Abdullah bin Rawahah pernah bertanya kepadanya: “Mengapa engkau tidak bersama kami (berdagang dan bergaul)?” tanya sahabatnya. Abu Darda menjawab: “Aku hanya ingin membersihkan diriku (dari dosa dan keterikatan dunia).” Ia memilih ibadah dan kehidupan yang sangat sederhana. Pada dasarnya, ia sangat yakin pada janji Allah yang pasti. Abu Darda juga sering memberi nasihat. Nasihat-nasihatnya selalu penuh hikmah dan menyentuh hati. Beliau berkata: “Ketika kalian tahu apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan menangis banyak dan tertawa sedikit.” Ucapan ini menunjukkan pemahamannya yang mendalam tentang hakikat akhirat. Ia sangat takut pada azab Allah, sebuah pengingat penting bagi kita semua untuk selalu mengingat akhirat dalam setiap langkah.
Peran Penting dalam Islam: Hakim dan Guru Umat di Damaskus
Abu Darda memainkan peran vital dalam pengembangan agama Islam. Kontribusinya bagi umat sungguh sangat besar.
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, Khalifah mengutusnya ke Syam. Tugasnya adalah sebagai hakim utama di sana, sekaligus pengajar dan pembimbing umat. Kemudian, ia pun tinggal di Damaskus. Di sana, ia aktif mengajar Al-Qur’an dan Hadits kepada masyarakat. Masjid menjadi pusat ilmunya yang ramai dikunjungi. Ia membentuk halaqah (lingkaran) ilmu yang menarik banyak murid. Dengan demikian, Damaskus pun berkembang menjadi pusat ilmu. Ilmu itu bersumber dari ajaran mulia Abu Darda. Di samping itu, Abu Darda menikah dengan seorang wanita shalihah bernama Ummu Darda. Nama aslinya Khairoh bintu Abi Hadrad. Istrinya ini juga seorang ahli fiqih wanita yang mumpuni. Mereka hidup sederhana dan penuh berkah. Keduanya saling mendukung dalam ketaatan kepada Allah. Allah mengaruniai mereka seorang putra bernama Bilal.
Wafatnya Seorang Sahabat: Meninggalkan Warisan Tak Ternilai
Perjalanan mulia Abu Darda akhirnya berakhir. Ia wafat di Damaskus, sebuah kota yang menjadi saksi bisu perjuangannya. Ini terjadi pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Ada sedikit perbedaan pendapat di kalangan sejarawan tentang tahun wafatnya. Beberapa menyebut tahun 31 Hijriah, sementara yang lain tahun 32 Hijriah. Bagaimanapun, ia meninggalkan warisan besar. Warisan ilmu dan keteladanan yang tak ternilai harganya. Warisan itu terus hidup dan mencerahkan. Ia terus hidup dalam hati umat Islam hingga kini, menjadi inspirasi abadi.
Pelajaran dari Kehidupan Abu Darda
Kisah Abu Darda Al-Anshari memberi banyak sekali pelajaran berharga. Pertama-tama, ia mengajarkan tentang kekuatan hidayah Allah. Hidayah itu bisa mengubah siapa saja, kapan saja, dan dari kondisi apa pun. Kedua, ia menekankan pentingnya ilmu agama. Terutama ilmu Al-Qur’an dan Hadits Nabi sebagai panduan hidup. Ketiga, ia menunjukkan kezuhudan dalam hidup. Jangan pernah terikat pada dunia yang fana ini. Keempat, ia merupakan contoh akhlak mulia. Berkata jujur dan bertindak bijak adalah prinsipnya. Kelima, ia menginspirasi peran seorang muslim. Menjadi pengajar dan penasihat yang tulus bagi umat adalah tugas mulia.
Secara keseluruhan, Abu Darda adalah teladan yang luar biasa. Beliau merupakan sahabat Nabi ﷺ yang agung dan istimewa. Hidup beliau mencerminkan iman yang kokoh. Ini juga mencerminkan kezuhudan dan kebijaksanaan yang mendalam. Semangat beliau dalam mencari hidayah sungguh menginspirasi kita. Keistiqamahan beliau dalam berilmu patut setiap penuntut ilmu tiru. Keteguhannya pada prinsip hidup sederhana menunjukkan contoh nyata bagi kita semua. Semua sifat dan perjuangan ini patut kita contoh dan terapkan dalam kehidupan kita. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari kehidupannya. Semoga kita menjadi muslim yang zuhud. Muslim yang lebih mencintai ilmu dan akhirat daripada dunia ini.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
