SURAU.CO – Siapa yang tidak mengenal Imam An-Nawawi, ulama besar dari Damaskus yang namanya harum di seluruh dunia Islam? Umat Islam mengenalnya bukan hanya karena keluasan ilmunya, tetapi juga karena produktivitasnya yang luar biasa dalam menulis kitab-kitab referensi yang para pelajar gunakan hingga kini di berbagai pesantren dan lembaga pendidikan Islam. Ia mulai berkarya sejak usia muda dan meneladankan bagaimana ilmu, ketekunan, dan waktu pengelolaan dapat melahirkan karya abadi.
Imam An-Nawawi lahir pada tahun 631 H (1233 M) di kota kecil Nawa, kawasan Hauran, provinsi Damaskus. Nama lengkapnya, Abu Zakaria Yahya bin Syarafuddin bin Muri bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam al-Hizami an-Nawawi, menunjukkan garis keturunan terhormat. Sebutan “an-Nawawi” berasal dari nama kota kelahirannya. Sejak kecil, ia menunjukkan kecerdasan dan kesalehan luar biasa. Ketika berusia sepuluh tahun, teman-temannya sering bermain, sedangkan ia lebih memilih membaca Al-Qur’an sendirian.
Syekh Yasin bin Yusuf al-Marakisyi, seorang waliyullah, menyaksikan langsung kebiasaan itu. Ia kemudian berkata dengan penuh keyakinan, “Kelak, anak ini akan menjadi orang paling alim dan zuhud di zamannya. Banyak manusia akan memperoleh manfaat dari ilmunya.” Doa itu benar-benar terwujud, karena An-Nawawi tumbuh menjadi ulama besar yang menghidupkan agama dengan ilmunya.
Menemukan Jalan Ilmu di Usia Muda
Masa kecil An-Nawawi ia jalani dengan membantu ayahnya menjaga toko di Nawa. Namun, ia tetap meluangkan waktu untuk membaca dan menghafal Al-Qur’an. Pada usia 19 tahun, ia memutuskan pergi ke Damaskus untuk menimba ilmu. Meskipun usianya tergolong terlambat untuk memulai studi agama pada masa itu, semangatnya membuktikan bahwa belajar tidak mencapai batas usia.
Dalam waktu hanya enam tahun, ia menamatkan berbagai disiplin ilmu keislaman dan mulai menulis kitab pada usia 25 tahun. Imam Ibnul ‘Atthar, murid sekaligus penulis biografinya, menjelaskan bahwa An-Nawawi mencapai kedalaman ilmu yang luar biasa dalam waktu yang singkat. Imam Nawawi belajar dengan semangat yang tinggi, hingga hampir tidak memberi waktu bagi dirinya untuk beristirahat. Ia memilih untuk tidak menikah dan jarang bergaul agar dapat mencurahkan seluruh hidupnya untuk belajar, menulis, dan mengajar.
Produktivitas yang Mengagumkan
Dalam usianya yang baru sekitar 45 tahun, Imam An-Nawawi berhasil menulis puluhan kitab penting dalam berbagai bidang ilmu: fikih, hadis, bahasa Arab, pendidikan, dan akhlak. Syekh Abdul Ghani ad-Daqir dalam Silsilatu A’lâmil Muslimîn menghitung bahwa jika produktivitasnya dirata-rata, ia menulis hampir dua kitab setiap hari hidupnya. Perhitungannya mungkin bahkan lebih besar, sebab masa aktifnya hanya menulis sekitar dua puluh tahun — dari usia 25 hingga wafat pada usia 45 tahun.
Imam Nawawi menggunakan setiap detik hidupnya untuk ilmu dan amal. Ia menulis bukan demi popularitas, melainkan untuk menyebarkan manfaat. Karena semangat keilmuannya yang menghidupkan ajaran Islam, masyarakat kemudian menjulukinya Muḥyiddîn (penghidupan agama). Namun, ia menolak gelar tersebut karena rendahnya hati yang tinggi.
Karya-Karya yang Menjadi Rujukan Dunia
Salah satu karya monumentalnya, Minhâjul Thâlibîn, menjadi kitab fikih utama dalam mazhab Syafi’i. Para ulama di seluruh dunia menjadikannya rujukan, dan para penghafal kitab itu bahkan memperoleh gelar kehormatan al-Minhâjî. Imam as-Sakhawi mencatat bahwa banyak ulama besar yang menganggap kitab tersebut sebagai referensi tertinggi setelah karya Imam Syafi’i sendiri.
Kisah menarik dari Syamsuddin Muhammad al-Maqdisi, seorang ulama yang lahir dalam keadaan bisu dan tetap tidak bisa berbicara hingga usia enam tahun. Ayahnya, seorang penganut mazhab Hanafi, meminta doa kepada Syekh Abdullah al-‘Ajluni. Sang Syekh menyarankan agar anak itu membaca dan mempelajari Minhâjul Thâlibîn sebagai bentuk tabarruk (mencari berkah). Tak lama kemudian, al-Maqdisi mulai berbicara dan berhasil menghafal Al-Qur’an serta Minhâjul Thâlibîn hanya dalam empat tahun. Ia kemudian tumbuh menjadi ulama besar di Damaskus.
Selain Minhâjul Thâlibîn, Imam An-Nawawi juga menghasilkan banyak karya besar lain yang para santri dan ulama ajarkan di pesantren-pesantren hingga hari ini. Dalam bidang hadis, ia menulis Syarah Shahih Muslim, Riyadhus Shalihin, Al-Arba’in An-Nawawiyah, dan Al-Adzkar. Di bidang fikih, ia menulis Raudhatuth Thalibin, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, At-Tahqiq, dan Al-Idhah. Dalam bidang pendidikan dan akhlak, ia menghasilkan Adabu Hamalil Qur’an dan Bustanul Arifin. Imam Nawawi juga menulis karya biografi seperti Tahdzibul Asma’ wal Lughat dan Thabaqatul Fuqaha’ .
Imam Nawawi menulis setiap karya dengan metode ilmiah yang teliti, bahasa yang jelas, dan ketulusan yang mendalam. Ia menulis bukan untuk mencari nama besar, tetapi karena merasa bertanggung jawab secara ilmiah dan ingin menebarkan kebaikan.
Teladan bagi Generasi Muda
Kehidupan Imam An-Nawawi menunjukkan bahwa produktivitas tidak bergantung pada usia, melainkan pada kesungguhan dan komitmen terhadap ilmu. Ia baru menempuh pendidikan formal agama pada usia 19 tahun, tetapi dalam dua dekade mampu menghasilkan karya-karya yang menjadi rujukan lintas zaman.
Kisah hidupnya mengajarkan bahwa masa muda sebaiknya kita gunakan untuk menanamkan semangat belajar dan berkarya. Kita mungkin tidak menulis seperti An-Nawawi, tetapi kita bisa meneladani semangatnya: menebar manfaat, menambah keahlian, dan memberikan kontribusi bagi masyarakat.
Imam An-Nawawi membuktikan bahwa waktu yang singkat dapat melahirkan karya abadi. Di tengah tantangan zaman modern, semangat belajar dan disiplin siapa pun yang ia teladani dapat menjadi inspirasi bagi pun yang ingin hidup bermakna. Semoga keteladanannya membangkitkan semangat generasi muda untuk terus menuntut ilmu dan berkarya tanpa lelah — sebagaimana Imam An-Nawawi yang menulis sejarah hidupnya dengan tinta ilmu dan keikhlasan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
