SURAU.CO – Dalam sejarah dakwah Islam, terdapat sejumlah tokoh Quraisy yang dikenal sangat keras memusuhi Rasulullah ﷺ. Mereka bukan hanya menolak ajaran tauhid, tetapi juga menebar fitnah dan menyiksa orang-orang yang beriman. Ada satu nama yang menonjol karena kekejamannya dan penghinaan langsung terhadap Nabi: Uqbah bin Abu Mu’ith. Ia dikenal sebagai penentang keras dakwah Nabi, dan akhirnya menemui ajal yang tragis.
Uqbah: Sosok Pemburu Pengaruh
Uqbah bin Abu Mu’ith bukanlah orang biasa di kalangan Quraisy. Ia berasal dari keluarga terpandang dan dekat dengan para pembesar Makkah seperti Abu Jahal, Umayyah bin Khalaf, dan Walid bin Utbah. Namun, di balik status sosialnya, Uqbah memiliki sifat buruk: suka menjilat dan mencari perhatian orang-orang berpengaruh. Ia selalu berusaha tampil sebagai pembela kehormatan Quraisy, meski harus mengorbankan nuraninya.
Sifatnya yang licik dan ambisius membuatnya rela melakukan tindakan yang hina terhadap Rasulullah ﷺ. Ia menganggap mengusik Nabi sebagai cara untuk mendapatkan pujian dari kaum kafir Makkah. Sikap inilah yang kelak mengantarkannya pada kehinaan dunia dan akhirat.
Penghinaan di Sekitar Ka’bah
Salah satu peristiwa paling keji dalam sejarah awal dakwah Islam terjadi di sekitar Ka’bah. Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah ﷺ sedang melaksanakan shalat di dekat Ka’bah. Saat itu, Abu Jahal dan teman-temannya duduk tak jauh dari sana. Mereka menatap Rasulullah dengan pandangan sinis, lalu salah seorang dari mereka berkata, “Siapa di antara kalian yang berani mengambil kotoran hewan sembelihan milik Bani Fulan, untuk diletakkan di punggung Muhammad ketika ia sujud?”
Ucapan itu disambut dengan tawa mengejek. Namun, dari sekian banyak yang hadir, orang paling celaka di antara mereka — Uqbah bin Abu Mu’ith — bangkit dari duduknya. Dengan wajah penuh kebencian, ia berjalan menuju tempat penyembelihan hewan, mengambil kotoran hewan itu, dan kembali ke arah Ka’bah. Ia menunggu Rasulullah ﷺ bersujud. Begitu Nabi meletakkan keningnya ke tanah, Uqbah dengan sengaja meletakkan kotoran itu di punggung beliau.
Para pembesar Quraisy tertawa terbahak-bahak, sampai tubuh mereka saling bertubrukan karena tak kuasa menahan tawa. Mereka merasa puas telah menghina Nabi Muhammad ﷺ. Sementara itu, Rasulullah tetap bersujud dalam keadaan seperti itu, tidak bangkit hingga datang putrinya, Fatimah az-Zahra radhiyallahu ‘anha, yang saat itu masih sangat muda. Dengan tangannya, ia menyingkirkan kotoran dari punggung ayahnya. Air mata Fatimah mengalir, namun ia tidak dapat berbuat lebih banyak.
Doa yang Menggetarkan Langit
Usai bersujud dan bangkit dari shalatnya, Rasulullah ﷺ menengadahkan tangan ke langit. Dengan suara yang tegas, beliau berdoa, “Ya Allah, timpakanlah hukuman-Mu kepada orang-orang Quraisy ini.” Doa itu beliau ulangi tiga kali.
Para sahabat yang menyaksikannya tahu, bahwa doa Rasulullah di tempat suci itu pasti mustajab. Abdullah bin Mas’ud melanjutkan kisahnya, “Rasulullah menyebut nama mereka satu per satu: Ya Allah, timpakan hukuman-Mu kepada Abu Jahal, Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Walid bin Utbah, Umayyah bin Khalaf, dan Uqbah bin Abu Mu’ith…”
Mereka yang mendengar doa itu tersentak. Namun kesombongan menutupi hati mereka. Mereka menertawakan doa itu, seolah tidak akan ada akibat apa pun. Mereka tidak tahu, hari pembalasan itu semakin dekat.
Tewas di Perang Badar
Perang besar meletus antara kaum Muslimin dan kaum Quraisy beberapa tahun setelah itu. Allah menakdirkan perang ini sebagai pembeda antara kebenaran dan kebatilan. Kaum Muslimin yang berjumlah sedikit, hanya sekitar 313 orang, menghadapi pasukan Quraisy yang lebih dari seribu. Namun, Allah menurunkan pertolongan-Nya, dan kaum Muslimin memenangkan perang tersebut dengan gemilang.
Doa Rasulullah ﷺ terjawab satu per satu. Semua nama yang beliau sebut dalam doanya tewas di tangan kaum Muslimin. Termasuk Uqbah bin Abu Mu’ith, si penista Nabi yang dulu menaruh kotoran di punggung beliau.
Menurut riwayat dari Ibnu Abbas, setelah perang usai, Rasulullah ﷺ memerintahkan agar para tawanan Quraisy dibawa ke hadapan beliau untuk ditebus, dengan tebusan empat ribu dinar per orang. Namun, ketika Uqbah dihadapkan, Rasulullah tidak memberi kesempatan tebusan.
“Wahai Muhammad,” kata Uqbah ketakutan, “apakah engkau akan membunuhku meskipun aku termasuk di antara mereka yang punya keluarga dan harta di Makkah?”
Rasulullah menjawab dengan tenang, “Ya, engkau tidak memiliki kebaikan sedikit pun.”
Lalu beliau memerintahkan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu untuk menegakkan hukuman. Uqbah pun dibunuh di tempat itu juga. Ia mati dalam keadaan hina, tanpa kehormatan, tanpa iman. Itulah akhir hidup orang yang disebut Nabi sebagai “orang paling celaka.”
Pelajaran dari Uqbah bin Abu Mu’ith
Kisah Uqbah bin Abu Mu’ith menjadi peringatan keras bagi siapa pun yang berani menghinakan Rasulullah ﷺ. Dalam hidupnya, Uqbah mengandalkan kekuasaan dan kedudukan dunia. Ia mengira bisa selamat dengan dukungan para pembesar Quraisy. Namun, ketika ajal tiba, tidak ada satu pun dari mereka yang menolongnya.
Ia meninggal bukan sebagai pahlawan Quraisy, melainkan sebagai simbol kehinaan. Sementara Rasulullah ﷺ yang ia hina justru dimuliakan Allah di dunia dan di akhirat.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
