SURAU.CO – Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, seorang ulama besar dan ahli hikmah, pernah mengisahkan sebuah peristiwa sederhana namun sarat pelajaran. Dalam kitab Miftah Dar Sa’adah , beliau menuturkan pengalaman seorang sahabatnya yang menyaksikan perilaku semut—makhluk kecil yang sering kita abaikan—namun ternyata memiliki keteguhan moral yang bisa menjadi cermin bagi manusia.
Kisah itu bermula ketika seseorang melihat seekor semut datang bangkai menuju belalang. Semut kecil itu berusaha menarik bangkai tersebut, tetapi kekuatannya tidak cukup. Ia lalu pergi dan datang kembali bersama beberapa temannya. Namun, ketika mereka tiba, orang yang mengamati itu mengangkat bangkai belalang dari bumi (tanah). Semut-semut itu pun berputar-putar mencari, tetapi tidak mendapatkannya. Akhirnya, mereka kembali ke sarang dengan kecewa.
Tak lama kemudian, orang itu mengembalikan bangkai belalang di tempat asalnya. Semut yang pertama tadi datang lagi dan kembali berusaha menariknya. Karena tak mampu sendirian, ia pergi memanggil teman-temannya. Saat rombongan semut datang, pengamat kembali mengangkat belalang itu. Kejadian yang sama pun terulang. Semut-semut itu mencari, berputar-putar, lalu pulang dengan sia-sia.
Untuk ketiga kalinya, pengamat itu menaruh belalang di tempat aslinya. Semut pertama datang lagi, memanggil teman-temannya, dan kembali berulanglah peristiwa yang sama: bangkai itu diangkat, dan semut-semut hanya menemukan tanah kosong. Namun kali ini, reaksi mereka berbeda. Setelah berputar-putar dan tak menemukan apa pun, mereka berkumpul dalam lingkaran, menempatkan semut pertama di tengah-tengah, lalu menyerangnya beramai-ramai. Mereka memotongnya sedikit demi sedikit hingga mati.
Ibnu Qayyim menulis kisah untuk mengajarkan nilai-nilai yang dalam: bahkan semut pun membenci kebohongan
Kebohongan yang Menghancurkan Kepercayaan
Jika kita renungkan, semut-semut itu bukan sekadar hewan kecil tanpa akal. Mereka menunjukkan perilaku sosial yang luar biasa: saling membantu, berkoordinasi, dan bekerja sama untuk tujuan bersama. Namun, ketika salah satu di antara mereka menipu—membawa mereka ke janji kosong tiga kali berturut-turut—mereka tidak segan menghukumnya. Mereka tidak mau lagi tertipu oleh individu yang telah mempertahankan kelompok kepercayaan.
ini Perilaku mengandung pelajaran mendalam bagi manusia. Kebohongan, betapapun kecilnya, dapat menghancurkan kepercayaan. Sekali seseorang berdusta, ia mulai menanam benih ketidakpercayaan di hati orang lain. Dua kali ia berbohong, ia menumbuhkan tanaman ketidakpercayaan. Dan ketika cerita itu berulang, maka hilanglah seluruh kepercayaan yang pernah ia bangun.
Maka benarlah pepatah Arab yang mengatakan, “ “Orang yang biasa berbohong tidak akan percaya meskipun ia berkata benar.”
Pelajaran Moral dari Makhluk Kecil
Kisah semut ini menyingkap fakta menarik: bahkan makhluk yang tidak memiliki nalar seperti manusia pun menjunjung tinggi nilai kejujuran. Mereka tidak membiarkan kebohongan hidup di tengah-tengah komunitasnya. Bayangkan, semut-semut itu tidak hanya menolak untuk percaya lagi kepada “pembohong”, tetapi juga menghukumnya dengan tegas.
Dari sini, kita dapat mengambil pelajaran bahwa kejujuran adalah fondasi dari segala bentuk kerja sama, baik di antara manusia maupun makhluk hidup lainnya. Dalam masyarakat, kejujuran menjadi pilar yang menopang peradaban. Tanpa kejujuran, pemerintahan akan korup, perdagangan akan penuh tipu daya, pendidikan kehilangan makna, dan hubungan sosial kehilangan rasa saling percaya.
Semut-semut kecil yang tampak sederhana itu telah mengajarkan kepada kita nilai moral yang sering dilupakan manusia modern: bahwa belati, sekecil apa pun, tetaplah racun yang membinasakan harmoni.
Refleksi bagi Manusia Zaman Ini
Manusia hari ini hidup di zaman di mana membungkusnya dengan kata-kata manis dan tampilan yang meyakinkan. Di dunia maya, hoaks menyebar lebih cepat daripada kebenaran. Dalam politik, janji-janji kosong sering dijanjikan demi kekuasaan. Di dunia bisnis, sebagian orang rela menipu demi keuntungan sesaat. Bahkan dalam hubungan pribadi, sering kali dianggap lumrah demi “menjaga perasaan”.
Namun, kisah semut tadi menarik kesadaran kita. Jika semut saja menolak, mengapa manusia yang diberi akal dan hati nurani justru sering memeliharanya?
Kita sering lupa bahwa kejadian itu tidak pernah berdiri sendiri. Jika seseorang berbohong, ia akan terdorong untuk menutupi ringkasan itu dengan ringkasan berikutnya. Ia seperti menjerat dirinya dalam jaring yang ia buat sendiri. Pada akhirnya, ringkasan itu akan menghancurkan bukan hanya kepercayaan orang lain, tetapi juga harga diri dan ketenangan batinnya.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.” (QS.At-Taubah: 119)
Ayat ini menegaskan bahwa kejujuran bukan sekadar nilai moral, tetapi juga perintah ilahi. Seseorang yang jujur akan selalu dekat dengan kebenaran, sedangkan pembohong akan selalu gelisah dalam kepalsuan.
Dari Semut, Belajar Kejujuran dan Tanggung Jawab
Semut dikenal sebagai hewan yang disiplin dan bertanggung jawab. Mereka bekerja keras tanpa pamrih, berbagi tugas, dan saling membantu. Namun, mereka juga tidak menoleransi pelanggaran terhadap kepercayaan kolektif. Inilah gambaran cita-cita bagi manusia: bekerja bersama dalam kejujuran dan menolak segala bentuk kebohongan.
Jika kita mau belajar dari semut, kita akan menyadari bahwa kejujuran bukan hanya tentang berkata benar, tetapi juga tentang menjaga kepercayaan. Semut yang pertama tadi mungkin tidak bermaksud menipu, tetapi karena tindakannya menimbulkan kesalahpahaman, ia kehilangan kepercayaan koloninya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan sosial, dalam setiap perkataan dan perbuatan harus jujur.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
