Khazanah
Beranda » Berita » Mengenal Ibnu Sabil: Musafir yang Berhak atas Zakat

Mengenal Ibnu Sabil: Musafir yang Berhak atas Zakat

Mengenal Ibnu Sabil: Musafir yang Berhak atas Zakat
Ilustrasi Ibnu sabil (Foto: Istimewa)

SURAU.CO – Istilah ibnu sabil berasal dari dua kata, ibnu (anak) dan sabil (jalan). Secara harfiah, ibnu sabil berarti “anak jalan” atau “orang yang berada di jalan.” Namun, makna itu tidak bersifat literal. Dalam kajian fikih, para ulama menggunakan istilah Ibnu Sabil untuk menyebut seseorang yang sedang melakukan perjalanan dan kehabisan bekal, meskipun ia memiliki harta di tempat asalnya. Islam menetapkan Ibnu Sabil sebagai salah satu dari delapan golongan (ashnaf) yang berhak menerima zakat sebagaimana firman Allah dalam Surat At-Taubah ayat 60.

“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang mengerjakan, untuk jalan Allah, dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah : 60).

Ayat tersebut menegaskan bahwa Islam memberikan perhatian besar kepada para musafir yang kehabisan bekal, baik dalam perjalanan duniawi maupun perjalanan bernilai ibadah.

Definisi Menurut Para Ulama

Para ulama memberikan berbagai penjelasan tentang makna Ibnu Sabil.

Menurut jumhur ulama, Ibnu Sabil ialah orang yang melakukan perjalanan bukan untuk maksiat dan kehabisan bekal di tengah jalan. Ibnu Qudamah menjelaskan bahwa Ibnu Sabil adalah orang tidak mampu melanjutkan perjalanan atau kembali ke negerinya, sehingga ia berhak menerima bantuan zakat yang cukup untuk mencapai tujuannya.

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin

Imam As-Syatiri dalam Syarhul Yaqutun Nafis menjelaskan bahwa ibnu sabil merupakan musafir yang tidak menemukan pihak yang bisa memberikan pinjaman. Islam memperbolehkan ia menerima zakat meskipun ia kaya di tempat asalnya, selama ia memerlukan biaya untuk melanjutkan perjalanan.

Imam Taqiyuddin Al-Hishni dalam Kifayatul Akhyar menyebut seseorang sebagai ibnu sabil karena ia hidup di jalan ( sabil ). Ulama ini menegaskan bahwa seseorang hanya berhak menerima zakat jika perjalanannya tidak bertujuann  untuk maksiat. Dengan demikian, zakat hanya diberikan kepada mereka yang menempuh perjalanan ketaatan atau perjalanan mubah seperti berdagang, mencari ilmu, atau membantu sesama.

Imam Abu Ishaq As-Syirazi dalam Al-Muhaddzab menambahkan bahwa ibnu sabil adalah orang yang membutuhkan pertolongan dalam perjalanannya. Jika ia menempuh perjalanan untuk ketaatan, maka umat Islam harus memberi zakat secukupnya hingga ia mencapai tujuan. Namun, jika ia melakukan perjalanan untuk maksiat, umat Islam tidak boleh menyalurkan zakat kepadanya karena hal itu berarti mendukung kemaksiatan.

Kriteria Ibnu Sabil yang Berhak Menerima Zakat

Mazhab Syafi’i menetapkan beberapa kriteria bagi Ibnu Sabil yang berhak menerima zakat:

  1. Sedang melakukan perjalanan dan kehabisan bekal.
    Seorang musafir termasuk ibnu sabil jika ia kehabisan harta atau tidak bisa mengakses uangnya di tempat ia berada. Bahkan orang kaya pun bisa menjadi Ibnu Sabil jika ia benar-benar terputus dari hartanya dalam perjalanan.
  2. Melakukan perjalanan bukan untuk maksiat.
    Ulama sangat menekan kondisi ini. Ketika seseorang melakukan perjalanan dengan tujuan maksiat, umat Islam tidak boleh membantunya dengan zakat karena itu berarti mendukung perbuatan dosa.
  3. Menempuh perjalanan ketaatan atau perjalanan mubah.
    Perjalanan ketaatan meliputi haji, umrah, jihad, dan mencari ilmu. Sedangkan perjalanan mubah meliputi berdagang, bersilaturahmi, atau melakukan wisata yang tidak melanggar syariat. Menurut pendapat kuat dalam mazhab Syafi’i, umat Islam tetap boleh memberikan zakat kepada Ibnu Sabil yang menempuh perjalanan mubah. Para ulama mengqiyaskan hal ini dengan keringanan hukum yang juga diterima musafir, seperti menjamak dan mengqashar salat.
  4. Tidak menemukan pihak yang dapat memberi pinjaman.
    Jika Musafir masih bisa meminjam uang atau mendapatkan bantuan finansial dari seseorang, maka umat Islam tidak menggolongkannya sebagai Ibnu Sabil. As-Syatiri menegaskan pendapat ini dengan alasan bahwa zakat hanya untuk mereka yang benar-benar tidak memiliki sumber pertolongan.

Besaran Zakat untuk Ibnu Sabil

Umat ​​Islam harus menyesuaikan jumlah zakat untuk Ibnu Sabil dengan kebutuhannya. Penerima zakat ini hanya berhak mendapatkan biaya secukupnya untuk mencapai tujuan dan, bila perlu, untuk kembali ke tempat asal.

Frugal Living Ala Nabi: Menemukan Kebahagiaan Lewat Pintu Qanaah

Imam Al-Bujairimi dalam Hasyiyah al-Bujairimi ‘alal Khatib menjelaskan bahwa umat Islam boleh memberikan biaya kepulangan kepada Ibnu Sabil jika ia berniat kembali ke negerinya. Namun, umat Islam tidak boleh menambah biaya untuk menetap lebih dari tiga hari di suatu tempat karena masa itu melebihi batas status musafir.

Dalam Hasyiyah al-Bujairimi ‘alal Khatib diterangkan:

قَوْلُهُ: (مَا يُوصِلُهُ مَقْصِدَهُ) وَأَمَّا مُؤْنَةُ إِيَابِهِ لَا وَلَا يُعْطَى مُؤْنَةَ إِقَامَتِهِ الزَّائِدَةِ عَلَى مُدَّةِ الْمُسَافِرِ، أَيْ الَّتِي هِيَ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ

Artinya:
Ungkapan Mushannif: ‘Ibnu sabil diberikan (zakat) sejumlah harta yang dapat disampaikannya ke tujuan.’ Mengenai biaya kembalinya diperinci: jika ia bermaksud kembali, maka ia menerima biaya untuk pulang; jika tidak, maka ia tidak tinggal. Ia juga tidak menerima biaya untuk menetap lebih dari tiga hari karena masa itu sudah melebihi status musafir.” (Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairimi, Hasyiyah al-Bujairimi ‘alal Khatib , [Beirut: Darul Fikr], juz II, hlm. 364).

Penutup

Menyelaraskan Minimalisme dan Konsep Zuhud: Relevansi Kitab Riyadhus Shalihin di Era Modern

Dari berbagai penjelasan ulama, kita dapat menyimpulkan bahwa Ibnu Sabil bukan hanya musafir biasa, tetapi juga simbol perhatian Islam terhadap kemanusiaan dan solidaritas sosial. Siapa pun bisa menjadi ibnu sabil —baik miskin maupun kaya—selama ia benar-benar terputus dari bekal dan membutuhkan pertolongan.

Ketika umat Islam menyalurkan zakat kepada Ibnu Sabil, mereka tidak hanya membantu orang-orang yang kekurangan di rumah, tetapi juga membantu mereka yang kesulitan dalam perjalanan. Nilai universal zakat tampak jelas di sini: Islam mengajarkan kita untuk membantu siapa pun yang membutuhkan, di mana pun ia berada, selama tujuan baik dan perjalanannya tidak mengarah pada maksiat. Wallahu a’lam.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement