Khazanah
Beranda » Berita » Ar-Rafiq al-A’la: Perjalanan Rasulullah Menuju Sang Kekasih

Ar-Rafiq al-A’la: Perjalanan Rasulullah Menuju Sang Kekasih

Ar-Rafiq al-A'la: Perjalanan Terakhir Rasulullah Menuju Sang Kekasih
Ilustrasi

SURAU.CO –Ila ar-Rafiq al-A’la…” – “Menuju Teman yang Tertinggi.” Inilah kalimat terakhir yang keluar dari lisan suci Nabi Muhammad SAW sebelum ruh beliau berpulang ke sisi Allah SWT. Ucapan tersebut menggemparkan hati setiap mukmin karena menandai perpisahan manusia termulia dengan dunia. Kalimat itu juga melambangkan cinta yang abadi antara seorang hamba dengan Rabb-nya.

Frasa Ar-Rafiq al-A’la (الرَّفِيقُ الْأَعْلَى) berarti “Teman yang Tertinggi” atau “Sahabat yang Paling Mulia.” Kalimat ini menggambarkan kerinduan Nabi untuk berjumpa dengan Allah dan bersama para nabi, rasul, siddiqin, syuhada, serta orang-orang saleh di surga. Firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 69 menegaskan makna tersebut:

Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka akan bersama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para siddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka adalah teman terbaik.” (QS. An-Nisa: 69)

Dalam hadis tersebut, Rasulullah juga menjelaskan bahwa salah satu nama Allah adalah Ar-Rafiq, yang berarti “Yang Maha Lembut,” yaitu Tuhan yang bertindak dengan penuh kasih dan tidak tergesa-gesa dalam setiap urusan-Nya. Ketika Nabi menyebut “Ila ar-Rafiq al-A’la,” beliau menyerahkan seluruh dirinya kepada kelembutan dan kasih sayang Allah Yang Maha Tinggi.

Ziarah Terakhir ke Baqi’

Pada akhir bulan Safar tahun ke-11 Hijriah, Rasulullah SAW mulai merasakan keletihan. Meski tubuhnya lemah, beliau tetap menunaikan ibadah dan menjalankan kebiasaan mulianya: berziarah ke pemakaman Baqi’. Pada malam hari, beliau mengundang mantan budaknya, Abu Muwayhibah, untuk menemaninya. Di pemakaman itu, Nabi berdoa bagi para penghuni kubur lalu berkata, “Wahai Abu Muwayhibah, Allah telah memberiku pilihan antara kunci-kunci perbendaharaan dunia dan kejayaannya lalu surga, atau bertemu dengan Tuhanku dan surga. Aku memilih pertemuan dengan Tuhanku dan surga.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Setelah peristiwa itu, sakit kepala berat mulai menyerang beliau. Meski tubuhnya semakin lemah, ia tetap memimpin shalat berjamaah di masjid. Seusai shalat, beliau naik ke mimbar dan bersabda, “Ada seorang hamba yang diberi pilihan antara dunia ini atau pertemuan dengan Allah, dan hamba itu memilih pertemuan dengan Tuhannya.” Mendengar itu, Abu Bakar menangis tersedu-sedu karena memahami bahwa Nabi sedang berbicara tentang dirinya sendiri.

Hari-hari Terakhir Rasulullah SAW

Meski sakitnya makin berat, Nabi tetap mengimami shalat sambil duduk. Beliau juga berpidato dan menegaskan kepemimpinan Usamah bin Zaid, pemuda berusia 19 tahun yang akan memimpin tiga ribu pasukan Muslim menuju Bizantium di Mu’tah. Keputusan itu menunjukkan betapa besar kepercayaannya terhadap generasi muda untuk melanjutkan perjuangan Islam.

Ketika tubuhnya semakin lemah, Nabi memerintahkan Aisyah agar menyuruh Abu Bakar menjadi imam shalat. Beliau juga berpesan agar Aisyah menyedekahkan tujuh dinar yang masih tersimpan di rumah. Saat Aisyah lupa karena sibuk merawatnya, Nabi menegurnya dengan lembut, “Tidak pantas seorang Nabi menghadap Tuhannya dalam keadaan masih menyimpan harta.” Aisyah segera menyerahkan uang itu kepada fakir miskin.

Pada hari Minggu, 11 Rabiul Awwal, Nabi merasa kesehatannya membaik. Beliau keluar dari kamar Aisyah masjid dengan dipapah menuju pamannya, al-Abbas, dan seorang pemuda. Jamaah yang melihat beliau langsung memberi izin. Abu Bakar, yang sedang mengimami shalat, hendak mundur, tetapi Nabi memberi isyarat agar ia tetap di tempatnya. Nabi duduk di sisi Abu Bakar dan ikut shalat dalam posisi duduk. Shalat itu menjadi shalat berjamaah terakhir beliau bersama umatnya.

Senin yang Menggetarkan

Pada pagi hari Senin, 12 Rabiul Awwal tahun 11 Hijriah, Nabi membuka tabir rumah Aisyah. Beliau melihat tersenyum para sahabat yang sedang menunaikan shalat Subuh. Para sahabat mengira Nabi akan bergabung, tetapi dia hanya memberi isyarat agar mereka melanjutkan shalat. Senyuman itu menjadi pandangan terakhir Rasulullah kepada umatnya—senyuman lega seorang pemimpin yang yakin umatnya akan terus menjaga shalat.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Setelah itu, Nabi kembali berbaring di pangkuan Aisyah. Wajahnya pucat, suaranya melemah. Aisyah mendengar beliau melantunkan ayat dari Surat An-Nisa ayat 69. Lalu, Nabi mengangkat telunjuknya ke langit, menatap ke atas, dan lirih berucap, “ Ila ar-Rafiq al-A’la (menuju teman yang tertinggi, Allah SWT).” Kalimat itu menjadi ucapan terakhir yang keluar dari lisannya. Aisyah, dengan air mata mengalir, membaringkan kepala suami di atas bantal sambil berkata, Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Kesedihan Para Sahabat

Kabar wafatnya Rasulullah menggemparkan seluruh Madinah. Pasukan yang sedang bersiap menuju utara segera kembali. Umar bin Khattab berdiri di masjid dengan suara gemetar dan berteriak, “Rasulullah tidak wafat! Beliau hanya pergi seperti Musa dan akan kembali!” Orang-orang yang dimaksud, tidak tahu harus berbuat apa.

Abu Bakar yang baru tiba segera menuju kediaman Rasulullah. Ia membuka kain penutup wajah beliau, menatap dengan penuh haru, lalu mengecup kening Nabi sambil berkata, “Wahai kekasihku, engkau lebih mulia dari ayah dan ibuku.” Setelah itu, ia menutup kembali kain penutup wajah beliau dan berjalan keluar untuk menenangkan umat.

Tenanglah, wahai Umar,” ucapnya lembut namun tegas. Dengan suara penuh keyakinan, Abu Bakar berkata, “Barangsiapa menyembah Muhammad, ketahuilah bahwa Muhammad telah wafat. Barangsiapa menyembah Allah, sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tidak akan mati.” Ia lalu membacakan firman Allah:

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul; sungguh telah melewati beberapa rasul sebelumnya. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu akan berbalik ke belakang? Barangsiapa berbalik ke belakang, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun. Dan Allah akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran : 144)

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Ketika mendengar ayat itu, Umar terjatuh tersungkur dan menangis sejadi-jadinya. Ia akhirnya menyadari bahwa Nabi yang paling dicintainya telah benar-benar berpulang.

Rasulullah telah pergi menuju Ar-Rafiq al-A’la , tetapi risalah dan cintanya terus hidup dalam hati setiap mukmin. Dalam setiap sujud dan langkah menuju kebaikan, umat Islam senantiasa mendengar gema kalimat terakhir beliau yang lembut namun sarat makna: “Ila ar-Rafiq al-A’la” — menuju Teman Tertinggi, menuju Allah Yang Maha Pengasih.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement