Khazanah
Beranda » Berita » Hukum Penggunaan Maskot Hewan Dalam Kegiatan Agama Islam

Hukum Penggunaan Maskot Hewan Dalam Kegiatan Agama Islam

Tugu Religi Sultra
Tugu Religi Sultra atau Tugu Ex MTQ Kendari, Lokasi utama Seleksi Tilawatil Qur’an dan Hadist (STQH) Nasional 2025 yang akan berlangsung tanggal 9 sampai 19 Oktober 2025. Gambar : SURAU.CO

SURAU.CO – Maskot hewan sering menjadi simbol atau perwakilan dalam berbagai kegiatan, baik dalam bidang olahraga, pendidikan, maupun promosi suatu acara. Maskot biasanya berbentuk karakter hewan yang lucu, menghibur, atau melambangkan sifat tertentu, seperti kekuatan, kesetiaan, atau kecerdikan.

Beberapa hari belakangan ini, media massa ramai memberitakan perdebatan terkait penggunaan maskot hewan. Adalah perhelatan ajang Seleksi Tilawatil Qur’an dan Hadist (STQH) Nasional 2025 yang menggunakan maskot sepasang anoa jantan dan betina yang memegang kitab suci menjadi pokok perdebatan. Anoa (Bubalus sp) adalah hewan endemik Sulawesi Tenggara. Mungkin hal itu yang menjadi pertimbangan panitia acara yang akan berlangsung tanggal 9 hingga 19 Oktober 2025 ini, memilih Anoa sebagai maskotnya.

Penggunaan maskot anoa memegang kitab suci Al Qur’an kemudian menimbulkan protes sejumlah pihak di Sulawesi Tenggara, bahkan ramai menjadi bahasan sosial media. Melansir Harian Suara Sultra, bukan hanya protes kepada panitia sekelompok pegiat keagamaan justeru melaporkan Menteri Agama, Gubernur Sultra dan Panitia Acara ke Polda Sultra terkait penistaan agama.

Sebenarnya, bagaimana jika maskot hewan digunakan dalam kegiatan yang berkaitan dengan agama Islam, misalnya dalam acara peringatan hari besar Islam, festival keagamaan, atau kegiatan dakwah? Apakah penggunaannya diperbolehkan atau justru terlarang?

Konsep Maskot dalam Perspektif Umum

Maskot berasal dari kata Prancis mascotte yang berarti “jimat keberuntungan”. Dalam perkembangannya, maskot tidak lagi identik dengan jimat atau benda sakral, melainkan lebih kepada simbol atau representasi identitas.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Dalam bentuk modern, penggunaan maskot lebih untuk menyemarakkan acara olahraga atau festival, menjadi simbol institusi atau organisasi, atau menarik perhatian masyarakat dalam acara hiburan atau promosi.

Maskot bisa berupa hewan, manusia, atau karakter fiksi. Dalam konteks agama Islam, penggunaan maskot tentu harus memepertimbangkan secara hati-hati agar tidak bertentangan dengan akidah maupun syariat.

Islam dan Larangan Menggambar Makhluk Bernyawa

Salah satu dasar penting yang sering menjadi rujukan adalah larangan membuat patung atau gambar makhluk bernyawa. Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya orang yang paling keras azabnya pada hari kiamat adalah para pembuat gambar.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa menggambar makhluk bernyawa, baik manusia maupun hewan, bisa termasuk perbuatan yang terlarang. Namun, para ulama berbeda pendapat dalam memahami hadis tersebut.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Pendapat keras (klasik) menegaskan larangan untuk semua bentuk patung atau gambar makhluk bernyawa, baik untuk mainan maupun hiasan. Sedangkan pendapat moderat (kontemporer) beranggapan bahwa larangan hanya berlaku jika gambar atau patung itu untuk tujuan penyembahan, pengagungan, atau hiasan rumah. Adapun gambar dua dimensi, boneka anak-anak, dan kostum hewan boleh untuk hiburan.

Dengan adanya perbedaan ini, muncul ruang ijtihad dalam menilai penggunaan maskot hewan, termasuk dalam kegiatan yang bernuansa keagamaan. Termaksud tentunya kegiatan keagamaan seperti STQH Nasional tahun 2025.

Hukum Penggunaan Maskot Hewan dalam Islam

Untuk mengetahui hukum penggunaan maskot hewan, kita perlu melihat dari berbagai sudut pandang.

Pertama, dari wujud Maskot. Maskot biasanya berupa kostum yang dipakai manusia. Ini berbeda dengan patung yang berdiri sendiri. Sehingga, maskot lebih tepat kategorinya sebagai pakaian atau peran, bukan patung yang disembah. Hal ini membuat hukumnya lebih ringan.

Kedua, dari tujuan penggunaan. Dalam Islam, niat dan tujuan suatu perbuatan sangat penting. Jika maskot digunakan untuk menyemarakkan acara dakwah, festival anak-anak Islami, atau sarana edukasi, hukumnya boleh. Namun jika untuk memuliakan hewan tertentu secara berlebihan, apalagi dikaitkan dengan keyakinan mistik, maka tentu hukumnya haram.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Ketiga, dari konten dan dampak. Jika penggunaan maskot justru mengalihkan perhatian dari inti acara agama (misalnya khutbah atau dzikir), maka hukumnya makruh karena mengurangi kekhusyukan. Jika maskot sekadar untuk menarik perhatian anak-anak dalam belajar agama, maka hal ini termasuk sarana dakwah yang mubah bahkan bisa dianjurkan.

Pandangan Ulama tentang Maskot dan Boneka

Ulama kontemporer banyak membahas masalah boneka dan kartun. Pandangan para ulama ini dapat menjadi pedoman karena mirip dengan konsep maskot.

  1. Syaikh Yusuf al-Qaradawi dalam bukunya Halal dan Haram dalam Islam menjelaskan bahwa penggunaan gambar atau boneka  untuk mainan anak-anak boleh. Jika hal ini boleh untuk anak-anak, maka penggunaan maskot sebagai sarana hiburan edukatif juga masuk kategori mubah.
  2. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam beberapa konteks menyebutkan bahwa penggunaan gambar atau karakter hewan untuk keperluan pendidikan dan hiburan anak tidak masalah, selama tidak bermuatan unsur syirik dan maksiat.
  3. Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari menegaskan bahwa larangan gambar lebih kepada mengagungkan gambar atau menjadi berhala. Adapun yang manfatnya untuk mainan tidak termasuk larangan.

Dengan dasar ini, mayoritas ulama kontemporer memperbolehkan penggunaan maskot hewan, apalagi jika tujuannya untuk memudahkan dakwah Islam.

Maskot Hewan dalam Kegiatan Agama Islam

Penggunaan maskot hewan dalam acara Islam perlu melihat secara kontekstual. Beberapa contoh penerapannya:

  1. Kegiatan Pendidikan Anak. Banyak lembaga pendidikan Islam yang menggunakan maskot hewan lucu untuk menarik perhatian anak-anak, misalnya maskot berbentuk singa untuk melambangkan keberanian atau burung hantu untuk kecerdasan. Jika penggunaannya untuk mengajarkan nilai-nilai Islami, hal ini boleh.
  2. Festival dan Perayaan Hari Besar Islam. Dalam acara seperti peringatan Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, atau tahun baru Hijriah, terkadang panitia menghadirkan maskot hewan untuk menarik minat anak-anak. Hukumnya boleh selama tidak mengurangi kekhusyukan ibadah dan tidak menjadi ajang hura-hura berlebihan.
  3. Dakwah Kreatif. Di era digital, dakwah melalui media visual menjadi sangat penting. Maskot hewan bisa sebagai ikon dalam aplikasi belajar Al-Qur’an, animasi Islami, atau media dakwah kreatif lainnya.

Namun demikian, penggunaan maskot hewan dalam kegiatan agama Islam harus memperhatikan beberapa batasan berikut :

  1. Tidak menyerupai ritual non-Islam. Misalnya, jika mengaitkan maskot hewan dengan simbol-simbol agama lain.
  2. Tidak mengurangi kekhusyukan. Acara agama seperti shalat, dzikir, atau khutbah tidak pantas menggunakan maskot.
  3. Tidak memunculkan syirik atau tahayul. Jangan sampai beranggapan bahwa maskot membawa keberuntungan atau memiliki kekuatan gaib.
  4. Tidak mengandung aurat atau maksiat. Kostum maskot harus sopan dan tidak menampilkan hal yang melanggar syariat.

Islam adalah agama yang fleksibel dalam hal sarana dakwah dan pendidikan. Maskot hewan dapat menjadi media yang efektif untuk menyampaikan pesan Islami, terutama kepada anak-anak dan generasi muda, selama tetap dalam koridor syariat. Oleh karena itu, tidak perlu takut menggunakan maskot, tetapi harus dengan bijaksana agar benar-benar menjadi wasilah (sarana) kebaikan, bukan justru melalaikan dari tujuan utama kegiatan agama.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement