Khazanah
Beranda » Berita » Jiwa Itu Api yang Tak Pernah Mati, Walau Badan Sudah Tanah

Jiwa Itu Api yang Tak Pernah Mati, Walau Badan Sudah Tanah

Ilustrasi al-Kindī merenungkan api jiwa dalam tubuh.
Ilustrasi filosofis tentang jiwa yang abadi dan tubuh fana menurut al-Kindī, menekankan cahaya api di dalam diri.

Cahaya Abadi dalam Diri

Jiwa itu ibarat api yang tak pernah mati, walau badan sudah kembali ke tanah. Begitulah al-Kindī menggambarkan hakikat ruh dalam Risāla fī al-Nafs. Sejak paragraf pertama, ia menegaskan bahwa meskipun tubuh fana, jiwa terus berjalan, menyimpan cahaya yang membuat hidup terasa berarti. Frasa kunci “jiwa itu api yang tak pernah mati” mengajak kita merenungi makna kehidupan dari perspektif yang lebih dalam.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering terpaku pada tubuh dan materi, sampai lupa bahwa ada sesuatu yang lebih abadi. Setiap langkah, kata, dan tindakan adalah manifestasi dari api kecil itu—jiwa—yang terus memberi warna pada hidup.

Jiwa Sebagai Energi Abadi

Al-Kindī menulis:

«النفس نارٌ باقية، لا يطالها الفناء»

“Jiwa adalah api abadi yang tidak bisa dimusnahkan.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Kalimat ini mengingatkan bahwa jiwa bukan sekadar produk tubuh atau benda materi. Tubuh bisa sakit, lelah, dan mati. Namun jiwa tetap ada, bergerak, dan memberi kesadaran. Fenomena sederhana terlihat ketika kita merasakan emosi, cinta, atau inspirasi; itu adalah tanda hidupnya api dalam jiwa.

Sering kali kita meremehkan hal-hal kecil: tersenyum kepada tetangga, menolong teman, atau sekadar merenung di sore hari. Semua itu merupakan bukti bahwa jiwa tetap aktif dan membara.

Nafas dan Kehidupan

Al-Kindī menekankan pentingnya nafas sebagai medium yang menghubungkan tubuh dan jiwa. Ia menulis:

«التنفس شعلة الحياة في الجسد، وبها تستمر النفس»

“Nafas adalah nyala kehidupan dalam tubuh; melalui nafas, jiwa tetap berlanjut.”

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Dalam praktik sehari-hari, kita sering mengambil nafas begitu saja. Padahal, kesadaran akan nafas dapat menenangkan jiwa. Saat tergesa-gesa atau marah, nafas menjadi pendek, gerakan tubuh tegang, dan pikiran kacau. Namun dengan menenangkan nafas, api jiwa tetap stabil, memberi ketenangan dan arah pada tindakan kita.

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

﴿وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ النَّوْمَ لِتَسْتَرِيحُوا وَجَعَلَ اللَّيْلَ سَكَنًا وَجَعَلَ النَّهَارَ مَعَاشًا (QS. Al-Furqan: 47)

“Dan Dia-lah yang menjadikan tidur bagimu agar kamu beristirahat, dan menjadikan malam sebagai ketenangan, serta menjadikan siang sebagai tempat mencari penghidupan.”

Ayat ini mengingatkan bahwa tubuh dan jiwa bekerja selaras; tidur, gerak, dan aktivitas adalah manifestasi dari nyala api yang dijaga Allah dalam jiwa kita.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Indera Sebagai Penyalur Api

Al-Kindī menulis:

«الحواس وسائل توصل النفس إلى ما حولها»

“Indera adalah sarana yang menyalurkan jiwa pada apa yang ada di sekitarnya.”

Contohnya sederhana: mendengar alunan musik, jiwa tergerak; melihat pemandangan indah, hati terasa lapang; mencium aroma tanah basah, jiwa tenang. Semua pengalaman indera menjadi saluran bagi api dalam jiwa untuk mengekspresikan diri.

Jika kita lalai menjaga indera dari hal-hal negatif, api jiwa bisa redup, membuat hidup terasa hambar. Sebaliknya, jika kita memilih pengalaman yang baik, jiwa tetap menyala dan tubuh bergerak selaras dengan hati.

Akal dan Khayal Mengatur Gerak Jiwa

Selain indera, al-Kindī menekankan peran akal dan khayal. Khayal memungkinkan kita membayangkan hal-hal yang belum terjadi, sedangkan akal menilai dan menimbang setiap langkah. Ia menulis:

«القوة العقلية توجه النفس وتوازن خيالها»

“Kekuatan akal mengarahkan jiwa dan menyeimbangkan khayalnya.”

Fenomena sehari-hari: ketika ingin menolong seseorang, bayangan mental muncul terlebih dahulu. Akal menimbang apakah aman dan tepat, lalu tubuh bergerak. Semua gerak ini adalah manifestasi dari api jiwa yang berpadu dengan kesadaran.

Hadits Nabi Muhammad SAW juga menegaskan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «إِنَّ مِنْ أَشَدِّ الْعِبَادِ نَفَعًا لِلنَّاسِ أَتْقَاهُمْ لِرُوحِهِ»

“Sesungguhnya di antara hamba yang paling bermanfaat bagi manusia adalah yang menjaga ruhnya.”

Ini menegaskan bahwa merawat api jiwa sama pentingnya dengan merawat tindakan sehari-hari.

Persahabatan Jiwa dan Tubuh

Al-Kindī menulis:

«النفس صديق الجسد، تحفظه وتوجهه»

“Jiwa adalah sahabat tubuh, menjaga dan mengarahkannya.”

Fenomena sehari-hari terlihat jelas: saat hati gembira, tubuh bergerak ringan, senyum muncul, langkah terasa mantap. Saat jiwa resah, tubuh ikut tegang, gerakan kaku. Menjaga jiwa sama dengan menjaga tubuh agar harmonis.

Menyadari hal ini membantu kita hidup lebih bijak. Tidak hanya mengejar materi atau prestasi, tapi juga memberi ruang bagi api jiwa untuk tetap menyala, melalui ibadah, refleksi, dan tindakan positif.

Penutup: Menyala Tanpa Padam

Jiwa itu api yang tak pernah mati. Al-Kindī mengingatkan kita agar selalu sadar akan keberadaannya. Tubuh memang fana, tapi api itu tetap menyala, memberi arah dan makna pada setiap gerak.

Dengan menenangkan nafas, menjaga indera, mengasah akal, dan menyalakan khayal yang bermanfaat, kita merawat api itu. Hidup menjadi lebih bermakna, gerak lebih terarah, dan hati lebih tenang.

Belajar dari al-Kindī, mari kita rawat jiwa seperti menjaga nyala api dalam lampu; kecil tapi cukup menerangi jalan kehidupan. Dengan begitu, meski tubuh kembali ke tanah, jiwa tetap berjalan dengan cahaya abadi.

 

*Sugianto Al-Jawi

Budayawan Kontenporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement