Khazanah
Beranda » Berita » Ngaji Jiwa Ala Al-Kindī: Dari Mana Asalnya Rasa Hidup Kita

Ngaji Jiwa Ala Al-Kindī: Dari Mana Asalnya Rasa Hidup Kita

Ilustrasi al-Kindī merenungkan jiwa di bawah langit malam.
Ilustrasi filosofis tentang perenungan jiwa ala al-Kindī, menggambarkan hubungan jiwa dan tubuh.

Pendahuluan: Pertanyaan Lama yang Tak Pernah Usang

Ngaji jiwa ala al-Kindī selalu membawa kita pada pertanyaan sederhana namun dalam: dari mana datangnya rasa hidup ini? Kita bisa berjalan, tertawa, menangis, bahkan merenung di tengah malam, karena ada sesuatu di dalam diri yang lebih dari sekadar daging dan tulang. Sesuatu itu oleh para filsuf disebut nafs, oleh orang kampung sering disebut ruh.

Al-Kindī, yang dikenal sebagai bapak filsafat Islam, menuliskan sebuah risalah singkat tapi padat berjudul Risāla fī al-Nafs (Risalah tentang Jiwa). Risalah ini ibarat obrolan ringan tapi penuh hikmah, membicarakan hakikat jiwa, bagaimana ia bekerja, dan ke mana ia akan kembali.

Frasa kunci “ngaji jiwa ala al-Kindī” terasa relevan untuk kita renungkan hari ini. Betapa sering kita sibuk dengan urusan luar, sampai lupa ada taman dalam diri yang juga perlu dirawat.

Jiwa Bukan Barang Dagangan

Kalau kita berjalan ke pasar, ada banyak barang bisa ditimbang dan dihitung: beras sekilo, gula seperempat, cabai setengah kilo. Tapi jiwa, kata al-Kindī, bukan barang yang bisa ditimbang di timbangan pasar. Ia bukan benda, melainkan substansi yang halus, tidak kasat mata, tapi memberi nyawa pada segala gerak.

Al-Kindī menulis:

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

«النفس جوهرٌ بسيطٌ غيرُ جسمانيٍّ، قائمٌ بنفسه»

“Jiwa adalah substansi sederhana, tidak bersifat jasmani, berdiri dengan dirinya sendiri.”

Dari kalimat ini kita belajar, jangan merendahkan jiwa hanya sebagai pelengkap tubuh. Tubuh itu fana, jiwa tetap berjalan meski jasad sudah pulang ke tanah.

Indera dan Rasa: Jendela Jiwa Sehari-hari

Kalau mata ditutup rapat, dunia seakan gelap. Kalau telinga ditutup, dunia terasa sunyi. Al-Kindī menyebut indera sebagai pintu masuk jiwa. Melalui penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba, dan pengecap, jiwa mendapat bahan untuk merenung.

Ia berkata:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

«الحواسّ أبوابٌ إلى النفس، بها تعرفُ وتدركُ»

“Indera adalah pintu menuju jiwa; melalui mereka jiwa mengenal dan memahami.”

Sehari-hari, kita pun sering merasakan ini. Saat mendengar lantunan Al-Qur’an, hati tiba-tiba teduh. Saat melihat wajah anak tertawa, jiwa terasa lega. Indera hanyalah saluran, tapi rasa yang lahir darinya adalah kehidupan jiwa.

Khayal dan Akal: Dua Sayap Jiwa

Tak jarang kita berandai-andai: “Seandainya saya begini, seandainya saya begitu.” Itulah kerja khayal. Jiwa punya kemampuan berimajinasi, menggabungkan potongan-potongan pengalaman inderawi menjadi gambar baru. Tapi jiwa tak berhenti di situ. Ada akal, yang menimbang, menguji, lalu memilih mana yang benar dan mana yang sekadar angan-angan kosong.

Al-Kindī menyebut:

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

«القوّة الناطقة في النفس أرفعُ قواها، وبها تُدرك المعقولات»

“Daya berpikir dalam jiwa adalah kekuatan tertingginya, dengan itulah ia memahami hal-hal yang rasional.”

Di sinilah martabat manusia terletak. Bukan pada banyaknya harta atau tingginya jabatan, tapi pada kemampuan menggunakan akal sehat untuk menemukan kebenaran.

Jiwa dan Tubuh: Persahabatan yang Sementara

Ada satu bagian yang terasa menyentuh: hubungan jiwa dan tubuh. Kata al-Kindī, jiwa dan tubuh bagaikan sahabat yang saling membutuhkan. Tubuh memberi alat bagi jiwa untuk mengekspresikan diri, sementara jiwa menghidupkan tubuh agar bisa bergerak.

Namun persahabatan ini hanya sementara. Saat ajal tiba, tubuh kembali ke tanah, jiwa melanjutkan perjalanan.

Ia menulis:

«النفس باقيةٌ بعد مفارقة البدن، لأنّها ليست من طبيعته»

“Jiwa tetap ada setelah berpisah dari tubuh, karena ia tidak berasal dari tabi’at tubuh.”

Inilah yang sering kita lupakan. Kita rawat tubuh dengan makanan enak, pakaian indah, dan rumah megah. Tapi jiwa kita biarkan kelaparan. Padahal justru jiwa yang kelak menemani perjalanan abadi.

Menjaga Jiwa, Menjaga Hidup

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

﴿وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا * فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا﴾ (QS. Asy-Syams: 7-8)

“Demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepadanya jalan kefasikan dan ketakwaan.”

Ayat ini seakan menyambung risalah al-Kindī. Jiwa itu punya potensi ganda: bisa condong pada keburukan, bisa pula terangkat pada kebaikan. Semua tergantung bagaimana kita mengarahkannya.

Kalau kita isi jiwa dengan dengki, benci, dan rakus, ia akan kusut. Tapi kalau kita isi dengan syukur, ilmu, dan cinta, ia akan terang.

Relevansi Ngaji Jiwa Hari Ini

Di zaman sibuk ini, kita sering kejar target, lupa bertanya: bagaimana keadaan jiwa saya? Apakah ia tenang, atau resah? Al-Kindī dengan bahasanya yang sederhana mengajak kita bercermin.

Ngaji jiwa ala al-Kindī bukan sekadar pelajaran filsafat, tapi ajakan untuk merawat kehidupan batin. Jangan hanya sibuk merapikan halaman rumah, tapi biarkan taman jiwa kering kerontang. Jiwa yang tenang akan melahirkan tindakan yang jernih, ucapan yang lembut, dan hati yang mudah memaafkan.

Penutup: Jiwa Sebagai Musafir

Akhirnya, kita semua musafir. Jiwa ini sedang singgah di tubuh, lalu akan kembali. Menurut al-Kindī, tugas kita bukan mencari keabadian di dunia, tapi menyiapkan jiwa agar tetap terang dalam perjalanan pulangnya.

Betapa indah bila kita bisa menjaga jiwa seperti kita menjaga anak kecil: penuh kasih, sabar, dan tidak membiarkannya terluka. Karena, kata Gus Mus, “Hidup itu sebenarnya sederhana: pulang membawa hati yang bersih.”

 

*Sugianto Al-Jawi

Budayawan Kontenporer Tulungagung 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement