Khazanah
Beranda » Berita » Menjaga Ilmu dengan Amal: Dari Hafalan ke Pengamalan Menurut Kitab Ta‘lîm al-Muta‘allim Tharîq at-Ta‘allum

Menjaga Ilmu dengan Amal: Dari Hafalan ke Pengamalan Menurut Kitab Ta‘lîm al-Muta‘allim Tharîq at-Ta‘allum

Pelajar mengamalkan ilmu dengan menolong sesama, menggambarkan hubungan antara ilmu dan amal dalam Islam
Seorang pelajar tampak sedang menolong orang lain dengan lembut, di sampingnya kitab terbuka dan cahaya lembut menerangi wajahnya. Latar menunjukkan suasana spiritual dan keikhlasan

Ilmu tanpa amal ibarat pohon tanpa buah. Ia tumbuh, namun tak memberi manfaat. Dalam pandangan Islam, ilmu sejati bukanlah yang banyak dihafal, tetapi yang diamalkan. Imam Az-Zarnuji, seorang ulama besar dari abad ke-13, mengingatkan dalam karyanya Kitab Ta‘lîm al-Muta‘allim Tharîq at-Ta‘allum bahwa ilmu hanya akan hidup bila disertai amal.

Di tengah zaman serba cepat, banyak orang mengejar gelar, sertifikat, dan pengakuan intelektual. Namun, tanpa pengamalan, ilmu itu mudah menguap. Karena itu, menjaga ilmu dengan amal adalah kunci agar ilmu benar-benar berakar dalam hati dan berbuah dalam kehidupan.

Ilmu Adalah Amanah yang Menuntut Pengamalan

Dalam kitam Ta’lim Imam Az-Zarnuji berkata:

“العلم بلا عمل جنون، والعمل بلا علم لا يكون.”
“Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu tidak mungkin terjadi.”

Kalimat ini menggambarkan keseimbangan indah antara pengetahuan dan perbuatan. Ilmu menuntun amal, dan amal menjaga ilmu agar tetap hidup. Bila hanya berhenti di hafalan, ilmu kehilangan ruhnya.

Buah dari Kesabaran: Ketika Ujian Menjadi Jalan Menuju Kedewasaan

Al-Qur’an juga menegaskan pentingnya pengamalan ilmu. Allah berfirman:

كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Shaff [61]: 3)

Ayat ini bukan hanya teguran bagi mereka yang berbicara tanpa tindakan, tetapi juga peringatan bagi para penuntut ilmu agar tidak berhenti di tataran teori. Ilmu adalah amanah, dan pengamalan adalah bentuk tanggung jawab atas amanah itu.

Dari Hafalan Menuju Penghayatan

Dalam dunia pendidikan Islam klasik, hafalan memang menjadi metode utama untuk menanamkan ilmu. Namun, Imam Az-Zarnuji menekankan bahwa hafalan hanyalah gerbang awal menuju pemahaman dan penghayatan.

Beliau mengutip pepatah bijak:

Sabar Menanti Pertolongan Allah

“من عمل بما علم أورثه الله علم ما لم يعلم.”
“Barang siapa mengamalkan ilmu yang telah ia ketahui, maka Allah akan memberinya ilmu yang belum ia ketahui.”

Artinya, amal bukan sekadar hasil dari ilmu, melainkan pintu menuju pengetahuan yang lebih tinggi. Seseorang yang mengamalkan ilmu akan diberi pemahaman yang lebih dalam, bahkan terhadap hal-hal yang belum ia pelajari.

Ini sejalan dengan hadits Rasulullah ﷺ:

مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ، وَرَّثَهُ اللهُ عِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
“Barang siapa mengamalkan ilmu yang ia ketahui, Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum ia ketahui.” (HR. Abu Nu‘aim)

Dengan demikian, menghafal tanpa mengamalkan adalah jalan buntu, sementara mengamalkan ilmu membuka jalan tak bertepi menuju hikmah.

Kemewahan Al-Mushaf al-Azraq Manuskrip Al Qur’an Tertua di Afrika nan Mewah

Ilmu yang Diamalkan Akan Menjadi Cahaya

Imam Az-Zarnuji menggambarkan ilmu yang diamalkan sebagai “nur”, cahaya yang menerangi pemiliknya dan orang di sekitarnya. Dalam Ta‘lîm al-Muta‘allim, beliau menulis:

“العلم نور، ونور الله لا يُعطَى لعاصٍ.”
“Ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang berbuat maksiat.”

Ini menegaskan bahwa amal saleh dan menjaga diri dari maksiat adalah syarat agar ilmu benar-benar bercahaya. Seseorang yang ilmunya banyak tapi perilakunya buruk sebenarnya telah memadamkan cahayanya sendiri.

Ilmu yang tidak diamalkan ibarat lentera tanpa minyak—berkilau sesaat namun segera padam. Sementara ilmu yang diamalkan terus memantulkan sinar kebaikan, bahkan setelah pemiliknya tiada.

Amal Sebagai Bentuk Syukur atas Ilmu

Setiap penuntut ilmu sejatinya sedang menerima nikmat besar dari Allah. Karena itu, amal menjadi wujud syukur atas ilmu. Tanpa amal, ilmu berubah menjadi beban yang menuntut pertanggungjawaban di akhirat.

Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ بِهِ
“Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang ilmunya: untuk apa ia gunakan.” (HR. Tirmidzi)

Hadits ini memberi pesan kuat: ilmu yang tidak diamalkan akan menjadi saksi yang memberatkan di hadapan Allah. Karena itu, pelajar sejati tidak hanya sibuk mencari ilmu, tetapi juga memperhatikan bagaimana ia mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Amal adalah cara terbaik menjaga agar ilmu tetap segar dan bermakna. Ia menjadikan ilmu tidak hanya berhenti di kepala, tetapi menembus hati dan berbuah dalam perbuatan.

Ilmu Tanpa Amal: Ibarat Hujan di Gurun

Bayangkan hujan yang deras turun di gurun pasir. Air itu tak mampu diserap, hanya mengalir sia-sia di permukaan. Demikian pula ilmu yang tidak diamalkan—ia tidak menyuburkan hati, hanya lewat begitu saja.

Imam Az-Zarnuji memperingatkan hal ini:

“لا يكون العلم علماً حتى يعمل به.”
“Ilmu tidak akan menjadi ilmu yang sejati sampai ia diamalkan.”

Maksudnya, nilai ilmu tidak diukur dari seberapa banyak yang diketahui, tetapi seberapa jauh yang diamalkan. Orang yang hanya mengumpulkan pengetahuan tanpa pengamalan seperti kolektor buku yang tak pernah dibaca—indah dilihat, tapi tak berguna bagi hidupnya.

Selain itu, ilmu tanpa amal dapat menimbulkan kesombongan. Ia menjadikan seseorang merasa tinggi karena tahu banyak, padahal tidak berbuat apa-apa. Maka, amal adalah pelindung dari kesombongan intelektual.

Menghidupkan Ilmu Melalui Perbuatan Sehari-hari

Menjaga ilmu dengan amal tidak selalu berarti melakukan hal besar. Amal kecil yang dilakukan dengan konsisten jauh lebih bermakna daripada teori besar yang tak diwujudkan.

Misalnya, pelajar yang memahami pentingnya waktu tapi tetap menunda-nunda tugas, berarti belum mengamalkan ilmunya. Namun pelajar yang disiplin dan menjaga waktunya dengan baik, meski sederhana, telah menunjukkan bahwa ilmunya hidup.

Imam Az-Zarnuji menekankan pentingnya amal dalam keseharian. Ia menulis:

“من طلب العلم ليعمل به فاز بعلمين.”
“Barang siapa menuntut ilmu untuk diamalkan, maka ia akan memperoleh dua ilmu sekaligus.”

Artinya, amal bukan hanya hasil dari ilmu, tapi juga sarana untuk mendapatkan ilmu yang baru—sebuah siklus spiritual yang memperkaya jiwa.

Keteladanan Ulama dalam Mengamalkan Ilmu

Sejarah Islam penuh dengan contoh ulama besar yang menjaga ilmunya melalui amal. Imam Al-Ghazali, setelah menulis karya monumental Ihya’ Ulumuddin, justru memilih hidup sederhana dan mendidik masyarakat kecil. Ia memahami bahwa ilmu harus turun ke bumi, bukan hanya bertengger di menara gading.

Begitu pula Imam Az-Zarnuji, yang menulis kitab Ta‘lîm al-Muta‘allim bukan untuk pamer keilmuan, melainkan untuk menuntun murid-murid agar berakhlak dan beramal. Baginya, ilmu sejati adalah yang memperbaiki diri dan bermanfaat bagi orang lain.

Ulama-ulama terdahulu tidak hanya dikenal karena hafalan mereka, tapi karena akhlaknya yang memancar dari ilmu yang diamalkan. Inilah bukti nyata bahwa amal adalah penjaga terbaik bagi ilmu.

Ilmu dan Amal: Dua Sayap yang Tak Terpisahkan

Dalam pandangan Islam, ilmu dan amal bagaikan dua sayap seekor burung. Tanpa salah satu, burung itu tidak akan bisa terbang. Ilmu memberi arah, sementara amal memberi kekuatan untuk bergerak.

Imam Az-Zarnuji mengingatkan agar pelajar tidak terjebak dalam pencarian ilmu tanpa tujuan amal. beliau menulis:

“من طلب العلم لغير العمل كان كالذي يحرث في البحر.”
“Barang siapa mencari ilmu bukan untuk diamalkan, ia seperti orang yang membajak lautan.”

Perumpamaan ini sangat kuat—bekerja keras tapi sia-sia. Amal adalah tanah yang menumbuhkan hasil dari benih ilmu. Tanpa amal, ilmu tidak akan berbuah apa pun.

Mengamalkan Ilmu: Proses yang Membentuk Karakter

Amal bukan hanya bukti ilmu, tapi juga sarana pembentukan karakter. Ketika seseorang mengamalkan ilmunya, ia sedang mendidik dirinya sendiri. Ia belajar untuk konsisten, sabar, dan bertanggung jawab.

Misalnya, orang yang tahu pentingnya berkata jujur, tapi tetap berbohong, belum menjadi “alim sejati”. Namun, orang yang berjuang untuk berkata benar meski sulit, telah menjadikan ilmunya hidup.

Ilmu yang diamalkan membentuk kepribadian. Ia menjadikan seseorang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara moral dan spiritual.

Penutup

Pada akhirnya, perjalanan ilmu akan berujung pada amal. Ilmu tanpa amal ibarat lampu yang tidak dinyalakan, sementara amal tanpa ilmu seperti langkah tanpa arah. Keduanya harus bersatu agar membawa manfaat bagi diri dan sesama.

Imam Az-Zarnuji menutup nasihatnya dengan kalimat yang dalam:

“العلم يهتف بالعمل، فإن أجابه وإلا ارتحل.”
“Ilmu memanggil amal; bila amal datang, ia menetap, bila tidak, ia pergi.”

Maka, jika kita ingin ilmu menetap dalam hati, jawablah panggilannya dengan amal. Sebab hanya dengan amal, ilmu akan berubah menjadi cahaya yang abadi—menerangi diri, keluarga, dan dunia di sekitar kita.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.