Khazanah
Beranda » Berita » Tawadhu’: Kunci Agar Ilmu Tak Menjadi Sombong Menurut Kitab Ta‘lîm al-Muta‘allim Tharîq at-Ta‘allum

Tawadhu’: Kunci Agar Ilmu Tak Menjadi Sombong Menurut Kitab Ta‘lîm al-Muta‘allim Tharîq at-Ta‘allum

Pelajar duduk tawadhu di hadapan guru dengan cahaya lembut menerangi ruangan, simbol kerendahan hati dalam menuntut ilmu
Seorang pelajar duduk bersila di hadapan gurunya di dalam ruang sederhana. Wajahnya tertunduk, tangannya memegang kitab dengan penuh hormat. Cahaya lembut turun dari jendela, melambangkan keberkahan ilmu bagi hati yang tawadhu

Ilmu tanpa tawadhu’ bagaikan pohon tinggi tanpa akar. Ia mungkin menjulang ke langit, namun mudah tumbang saat diterpa angin kesombongan. Di tengah zaman yang menjunjung pencitraan dan kompetisi, tawadhu’—atau rendah hati—menjadi nilai yang semakin langka, padahal ia adalah fondasi utama agar ilmu membawa keberkahan, bukan keangkuhan.

Imam Az-Zarnuji dalam kitab klasiknya Ta‘lîm al-Muta‘allim Tharîq at-Ta‘allum menegaskan bahwa seorang penuntut ilmu wajib memiliki sikap tawadhu’ terhadap guru, sesama pelajar, dan ilmunya sendiri. Tanpa tawadhu’, ilmu yang sejatinya cahaya bisa berubah menjadi bara yang membakar pemiliknya.

Ilmu yang Benar Melahirkan Kerendahan Hati

Imam Az-Zarnuji menulis:

“ينبغي لطالب العلم أن يتواضع في نفسه.”
“Seorang penuntut ilmu hendaknya bersikap tawadhu’ terhadap dirinya sendiri.”

Tawadhu’ bukan sekadar perilaku sosial yang sopan, melainkan keadaan batin yang menyadari bahwa ilmu hakikatnya milik Allah. Manusia hanyalah penerima, bukan pemilik mutlak.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ
“Dan di atas  setiap orang yang berilmu ada yang lebih mengetahui.” (QS. Yusuf [12]: 76)

Ayat ini mengingatkan bahwa sebesar apa pun ilmu seseorang, selalu ada yang lebih tahu—dan yang paling tahu hanyalah Allah. Kesadaran inilah yang menjaga hati seorang pelajar dari kesombongan. Semakin ia tahu, semakin ia merasa kecil di hadapan Sang Maha Mengetahui.

Dalam tradisi Islam, tawadhu’ adalah tanda kemuliaan, bukan kelemahan. Rasulullah ﷺ sendiri—manusia paling berilmu—hidup dengan kerendahan hati yang menakjubkan. Beliau makan di lantai, menjahit bajunya sendiri, dan menyapa anak kecil di jalan. Maka, jika ilmu tidak melahirkan sikap tawadhu’, berarti ada yang salah dalam proses menuntutnya.

Bahaya Kesombongan Ilmu

Imam Az-Zarnuji memperingatkan bahwa kesombongan adalah penyakit paling berbahaya bagi penuntut ilmu. Ia menulis:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

“الكبر يمنع من قبول الحق.”
“Kesombongan menghalangi seseorang dari menerima kebenaran.”

Ketika seseorang merasa dirinya paling tahu, ia menutup pintu nasihat, bahkan dari orang yang lebih muda atau sederhana. Ilmunya menjadi hijab, bukan jalan menuju kebenaran.

Nabi ﷺ bersabda:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat zarrah (biji atom) kesombongan.” (HR. Muslim)

Kesombongan dalam ilmu muncul halus—kadang dari rasa bangga karena banyak tahu, dari keinginan dipuji, atau dari sikap meremehkan pandangan orang lain. Padahal, ilmu sejati membuat seseorang semakin sadar betapa luasnya rahasia Tuhan yang belum ia pahami.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Tawadhu’ terhadap Guru: Jalan Keberkahan Ilmu

Imam Az-Zarnuji memberikan perhatian khusus pada adab kepada guru sebagai wujud tawadhu’ yang utama. Ia menulis:

“ينبغي للمتعلم أن يوقّر معلمه ويعظّمه.”
“Seorang murid hendaknya memuliakan dan menghormati gurunya.”

Sikap tawadhu’ kepada guru tidak berarti menafikan pemikiran kritis, tetapi menjaga etika saat berinteraksi dengan orang yang menjadi perantara datangnya ilmu. Dalam pandangan Az-Zarnuji, ilmu tidak akan menetap di hati yang durhaka kepada guru.

Kita bisa belajar dari kisah Imam Malik dan Imam Syafi‘i. Imam Syafi‘i, meskipun sudah dikenal cerdas, selalu duduk sopan di hadapan gurunya seolah tidak tahu apa-apa. Ia tidak berani mengangkat suara, bahkan tidak membuka lembar kitab tanpa izin. Dari kerendahan hatinya itulah Allah memberinya keluasan ilmu yang luar biasa.

Tawadhu’ antar Sesama Pelajar: Persaudaraan dalam Ilmu

Tawadhu’ juga harus terwujud dalam hubungan antarpenuntut ilmu. Imam Az-Zarnuji menulis:

“ومن التواضع ألا يتعالى على أصحابه.”
“Termasuk tawadhu’ adalah tidak merasa lebih tinggi dari teman-temannya.”

Ilmu yang berkah lahir dari lingkungan yang penuh kasih dan saling menghargai. Di pesantren, tradisi mujalasah (belajar bersama) dan musyawarah menjadi contoh nyata bagaimana tawadhu’ menumbuhkan suasana saling mendukung.

Seorang pelajar yang tawadhu’ akan mendengar dengan sabar, menghargai pendapat temannya, dan mengakui bila salah. Ia tidak merasa malu untuk belajar dari orang yang dianggap lebih muda atau kurang terkenal. Inilah sikap yang membuat ilmu berkembang, bukan terhenti di lingkaran ego.

Ilmu Tak Boleh Menjadi Alat Kesombongan

Salah satu bahaya terbesar di zaman modern adalah menjadikan ilmu sebagai alat pencitraan. Media sosial memudahkan siapa pun memamerkan bacaan, gelar, atau karya ilmiah—sering kali tanpa disadari, hal itu melahirkan rasa bangga yang berlebihan.

Imam Az-Zarnuji telah mengingatkan hal ini berabad-abad lalu:

“العلم عبادة، والرياء فيه أشد من الرياء في غيره.”
“Ilmu adalah ibadah, dan riya (pamer) di dalamnya lebih berbahaya daripada riya dalam ibadah lain.”

Riya dalam ilmu lebih berbahaya karena hal itu mengubah niat belajar yang seharusnya karena Allah menjadi demi pengakuan manusia. Maka, tawadhu’ berfungsi sebagai benteng yang menjaga niat agar tetap murni.

Tawadhu’ juga mengajarkan bahwa setiap ilmu memiliki dimensi sosial: ia digunakan untuk melayani, bukan untuk meninggikan diri. Pelajar yang tawadhu’ tidak menggunakan ilmunya untuk mengalahkan, tetapi untuk membantu orang lain memahami.

Meneladani Para Ulama dalam Tawadhu’

Sejarah mencatat, para ulama besar selalu dikenal dengan kerendahan hatinya. Imam Abu Hanifah, misalnya, sering berkata kepada muridnya: “Pendapatku ini adalah yang paling benar, tetapi mungkin salah; dan pendapat orang lain salah, tetapi mungkin benar.”

Sikap seperti ini menunjukkan keluasan hati dan kebijaksanaan yang lahir dari tawadhu’. Ia tidak fanatik terhadap diri sendiri, meski menjadi mujtahid besar.

Imam Az-Zarnuji mengutip nasihat serupa:

“من ظن أنه استغنى بعلمه فقد جهل.”
“Barang siapa merasa cukup dengan ilmunya, maka ia telah bodoh.”

Kalimat itu menjadi peringatan keras bagi siapa pun yang menempuh jalan ilmu. Sebab, merasa cukup adalah awal dari kebodohan. Sementara orang yang tawadhu’ selalu haus belajar, selalu ingin memahami lebih dalam, dan tidak malu mengakui keterbatasan.

Tawadhu’ Sebagai Jalan Hati Menuju Allah

Tawadhu’ bukan hanya etika sosial, tetapi juga perjalanan spiritual. Dalam setiap ilmu yang dipelajari, pelajar sejati melihat tanda-tanda kebesaran Allah. Ia menyadari bahwa semakin dalam ia menyelam, semakin luas lautan ilmu yang belum tersentuh.

Allah berfirman:

وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati.” (QS. Al-Furqan [25]: 63)

Ayat ini menggambarkan bahwa kerendahan hati adalah tanda keimanan. Orang berilmu sejati tidak merasa tinggi, karena ia tahu semua datang dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.

Tawadhu’ juga membuat ilmu yang dipelajari menjadi berkah. Ia tidak berhenti di kepala, tapi menembus ke hati dan memancar dalam amal.

Ilmu dan Akhlak: Dua Sayap Penuntut Kebenaran

Imam Az-Zarnuji menegaskan bahwa ilmu tanpa akhlak tidak akan bermanfaat. Akhlak paling mulia dalam menuntut ilmu adalah tawadhu’. Ia menulis:

“الأدب قبل العلم.”
“Adab itu lebih dahulu daripada ilmu.”

Ini berarti, sebelum seseorang menumpuk pengetahuan, ia harus memastikan adabnya benar. Sebab, ilmu tanpa adab melahirkan kesombongan; sedangkan ilmu yang disertai adab melahirkan kebijaksanaan.

Tawadhu’ menjadi fondasi adab, karena dengan kerendahan hati seseorang akan mendengarkan, menerima nasihat, dan menghormati perbedaan. Dari situlah lahir kedalaman ilmu yang sejati.

Penutup

Pada akhirnya, tujuan ilmu bukan untuk membuat manusia merasa tinggi, tetapi agar ia semakin tunduk di hadapan Tuhan. Tawadhu’ adalah puncak perjalanan intelektual dan spiritual. Ia bukan kelemahan, tetapi kekuatan yang membuat ilmu tumbuh dengan damai.

Ketika seseorang bersikap tawadhu’, ia sebenarnya sedang menempatkan ilmu di tempat yang suci—di hati yang bersih dari kesombongan. Seperti tanah rendah yang selalu dialiri air, hati yang rendah akan selalu dipenuhi ilmu dan hikmah.

Imam Az-Zarnuji mengakhiri pesannya dengan makna yang dalam:

“من تواضع لله رفعه.”
“Barang siapa merendahkan diri karena Allah, niscaya Allah akan meninggikannya.”

Maka, rendahkanlah diri di hadapan ilmu, agar Allah meninggikanmu di hadapan manusia.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement