Khazanah
Beranda » Berita » Menjaga Diri dari Maksiat: Syarat Ilmu Menyerap ke Hati Menurut Kitab Ta‘lîm al-Muta‘allim Tharîq at-Ta‘allum

Menjaga Diri dari Maksiat: Syarat Ilmu Menyerap ke Hati Menurut Kitab Ta‘lîm al-Muta‘allim Tharîq at-Ta‘allum

Pelajar sedang membaca kitab dengan cahaya menerangi hatinya, simbol ilmu yang menyerap karena menjaga diri dari maksiat
Seorang pelajar duduk di ruang sunyi dengan kitab terbuka di hadapannya. Dari langit-langit, cahaya lembut turun menyinari hatinya yang bercahaya, melambangkan ilmu yang masuk ke hati yang bersih dari maksiat.

Ilmu adalah cahaya. Namun, tidak semua hati mampu menerima dan memantulkan cahaya itu dengan jernih. Dalam pandangan para ulama, maksiat adalah debu yang menutupi cermin hati, menghalangi pancaran ilmu untuk masuk dan menetap. Imam Az-Zarnuji, melalui kitab klasik Ta‘lîm al-Muta‘allim Tharîq at-Ta‘allum, menegaskan bahwa menjaga diri dari maksiat merupakan syarat utama agar ilmu bermanfaat dan menembus ke dalam jiwa.

Di era digital seperti sekarang, ketika maksiat begitu mudah diakses dan tersebar dalam bentuk baru—baik melalui mata, telinga, maupun jari—pesan Imam Az-Zarnuji terasa semakin relevan. Sebab, bagaimana mungkin seseorang berharap ilmu menumbuhkan kebijaksanaan, jika hatinya terus ternoda oleh hal-hal yang menjauhkan dari Allah?

Ilmu Adalah Cahaya: Hati yang Gelap Tak Akan Menerimanya

Imam Az-Zarnuji menulis dengan penuh hikmah:

“العلم نور، ونور الله لا يُعطى للعاصي.”
“Ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat.”

Ungkapan ini menjadi kalimat yang sangat terkenal dalam dunia pesantren. Cahaya ilmu, sebagaimana cahaya matahari, memerlukan wadah yang bersih agar dapat memantul dengan sempurna. Jika hati kotor oleh dosa, cahaya itu akan redup bahkan padam.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan hubungan antara kebersihan hati dan kemampuan memahami kebenaran:

فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
“Karena sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj [22]: 46)

Ayat ini menunjukkan bahwa maksiat membutakan hati, bukan sekadar melemahkan nalar. Orang yang terus berbuat dosa tanpa taubat akan sulit memahami ilmu yang sejati—ilmu yang menumbuhkan kebijaksanaan, bukan hanya pengetahuan.

Menjaga Pandangan, Menjaga Hati

Salah satu bentuk maksiat yang paling sering menghalangi keberkahan ilmu adalah pandangan yang tidak terjaga. Imam Az-Zarnuji tidak hanya berbicara tentang teori, tetapi menekankan adab-adab praktis. Beliau menulis:

“ومن لم يحفظ عينه لم يصف فكره.”
“Barang siapa tidak menjaga pandangannya, maka pikirannya tidak akan jernih.”

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Pandangan adalah pintu hati. Ketika seseorang membiarkan matanya memandang hal-hal yang diharamkan, ia membuka celah bagi kegelapan masuk ke dalam dirinya. Akibatnya, pikirannya menjadi kabur, daya hafalannya melemah, dan hatinya sulit menerima nasihat.

Rasulullah ﷺ bersabda:

النَّظْرَةُ سَهْمٌ مَسْمُومٌ مِنْ سِهَامِ إِبْلِيسَ
“Pandangan (yang haram) adalah panah beracun dari panah-panah Iblis.” (HR. Al-Hakim)

Kutipan ini menunjukkan bahwa menjaga pandangan bukan sekadar soal moral, tetapi juga soal spiritual dan intelektual. Seseorang yang menjaga matanya akan memiliki pikiran yang bersih, sementara yang tidak—akan terus bergelut dengan kegelisahan batin yang mengganggu fokusnya dalam belajar.

Dosa Mengikis Keberkahan Ilmu

Dosa bukan hanya membuat hati gelap, tetapi juga menghapus keberkahan ilmu yang sudah diperoleh. Sering kali seseorang merasa sudah belajar banyak, membaca puluhan buku, namun tetap merasa kosong dan tidak tenang. Itulah tanda bahwa ilmunya belum menyerap ke hati.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Imam Az-Zarnuji mengingatkan:

“المعصية سبب لذهاب العلم وبركته.”
“Maksiat menjadi sebab hilangnya ilmu dan keberkahannya.”

Keberkahan ilmu bukan terletak pada banyaknya hafalan, melainkan pada manfaat yang lahir darinya. Ilmu yang berkah membuat pemiliknya rendah hati, sabar, dan penuh kasih. Sebaliknya, ilmu yang tidak berkah hanya melahirkan kesombongan dan kebingungan.

Dalam sebuah riwayat, Imam Asy-Syafi‘i pernah mengeluh kepada gurunya, Waki’, tentang hafalannya yang menurun. Waki’ pun menasihatinya:

“تَركتُ المعاصي فأنارَ اللهُ قلبي، والعلمُ نورٌ، ونورُ الله لا يُهدى لعاصٍ.”
“Aku meninggalkan maksiat, lalu Allah menerangi hatiku. Ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak diberikan kepada pelaku maksiat.”

Kisah ini menjadi pelajaran bahwa menjaga diri dari dosa adalah kunci tajamnya ingatan dan dalamnya pemahaman.

Maksiat yang Halus: Ketika Dosa Tak Terasa

Maksiat tidak selalu berupa perbuatan besar seperti mencuri atau berbohong. Imam Az-Zarnuji mengingatkan adanya maksiat halus (dzunûb khafiyyah) yakni dosa yang dilakukan hati dan lisan, namun tetap berpengaruh besar terhadap keberkahan ilmu.

Salah satunya adalah ghibah (menggunjing) dan ujub (merasa diri paling benar). Dua penyakit ini sering menjangkiti pelajar dan penuntut ilmu. Dalam proses belajar, kadang seseorang merasa ilmunya lebih tinggi dari temannya atau lebih paham dari gurunya. Padahal, rasa sombong itu justru menjadi hijab antara dirinya dan hikmah.

Allah berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. Luqman [31]: 18)

Oleh karena itu, menjaga diri dari maksiat bukan hanya tentang menjauhi yang tampak, tetapi juga membersihkan hati dari sifat-sifat yang merusak. Ilmu sejati tidak akan tumbuh di hati yang dipenuhi kesombongan.

Bersihkan Diri Sebelum Menimba Ilmu

Imam Az-Zarnuji menekankan pentingnya tazkiyatun nafs (penyucian diri) sebelum dan selama menuntut ilmu. Ia menulis:

“ينبغي لطالب العلم أن يطهّر قلبه من الأوساخ.”
“Seorang penuntut ilmu hendaknya membersihkan hatinya dari segala kotoran.”

Membersihkan diri bukan hanya dengan wudhu dan ibadah lahiriah, tetapi juga dengan taubat yang tulus dan niat yang lurus. Seorang pelajar harus terus memohon ampunan kepada Allah agar hatinya tetap jernih menerima ilmu.

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ العِلْمَ لا يُعْطِيْكَ بَعْضَهُ حَتَّى تُعْطِيَهُ كُلَّكَ
“Sesungguhnya ilmu tidak akan memberikan sebagian dirinya kepadamu hingga engkau memberikan seluruh dirimu kepadanya.” (HR. Ad-Darimi)

Memberikan seluruh diri berarti menyerahkan hati, pikiran, dan perilaku untuk berkhidmat kepada ilmu. Maksiat adalah pengkhianatan terhadap janji itu.

Menjaga Diri di Era Digital

Tantangan menjaga diri di masa kini berbeda dengan masa Imam Az-Zarnuji. Dulu, maksiat mungkin membutuhkan langkah untuk mendekat. Kini, maksiat datang menghampiri bahkan tanpa dicari. Melalui layar ponsel, seseorang bisa terjatuh ke dalam dosa hanya dengan satu sentuhan.

Namun, prinsipnya tetap sama: ilmu tidak akan menetap di hati yang kotor. Oleh karena itu, pelajar modern perlu menegakkan “puasa digital”—menahan diri dari konten yang sia-sia atau merusak batin. Dengan begitu, pikirannya tetap jernih, fokusnya tajam, dan hatinya bersih.

Kebersihan digital ini merupakan bentuk aktualisasi ajaran klasik: menjaga pandangan, pendengaran, dan hati. Sebagaimana firman Allah:

إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS. Al-Isrâ’ [17]: 36)

Ilmu yang Menyerap ke Hati

Ilmu yang sejati bukan hanya yang dihafal oleh lidah, tetapi yang meresap ke hati dan mewujud dalam amal. Imam Az-Zarnuji menegaskan bahwa maksiat menghalangi ilmu dari menjadi amal.

“إنما العلم بالعمل، ومن لم يعمل بما علم زال عنه ما علم.”
“Sesungguhnya ilmu itu dengan amal. Barang siapa tidak mengamalkan ilmunya, maka ilmu itu akan hilang darinya.”

Ketika seseorang terus belajar namun tidak membersihkan diri dari dosa, maka ilmu yang didapat hanya menumpuk di kepala, tidak menembus ke hati. Sebaliknya, orang yang menjaga diri dari maksiat akan menemukan bahwa setiap pelajaran yang ia pelajari menjadi cahaya yang menuntun langkahnya.

Penutup

Menjaga diri dari maksiat bukanlah larangan semata, tetapi strategi spiritual agar ilmu menjadi manfaat. Dalam dunia modern yang serba cepat, pelajar yang mampu menjaga kebersihan hati akan selalu memiliki keunggulan moral dan batin.

Ilmu yang disertai maksiat ibarat air yang dituangkan ke dalam wadah kotor—tidak akan jernih, bahkan bisa berbau. Tetapi ilmu yang masuk ke hati yang suci akan menjadi mata air kebijaksanaan yang terus mengalir.

Maka, bersihkanlah hati sebelum menimba ilmu. Jauhi maksiat agar setiap pelajaran menjadi cahaya yang menerangi hidup. Karena keberhasilan sejati bukan pada banyaknya ilmu yang dikuasai, tetapi pada sejauh mana ilmu itu menumbuhkan ketundukan dan ketenangan dalam jiwa.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement