Dalam dunia pendidikan yang serba kompetitif hari ini, banyak orang menilai keberhasilan belajar dari jumlah hafalan, nilai ujian, atau gelar akademik yang diraih. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang sering terlupakan: keberkahan ilmu. Imam Az-Zarnuji, dalam kitab klasiknya Ta‘lîm al-Muta‘allim Tharîq at-Ta‘allum, mengingatkan bahwa ilmu yang sejati bukan diukur dari banyaknya hafalan, melainkan dari ketulusan hati dan niat yang bersih dalam belajar.
Ketulusan menjadi fondasi utama agar ilmu membawa manfaat, bukan sekadar pengetahuan yang kering dari makna. Sebab ilmu yang tidak disertai niat yang lurus hanya akan menambah kesombongan, bukan keberkahan.
Ilmu yang Berkah: Tidak Sekadar Banyak, Tapi Menghidupkan Hati
Imam Az-Zarnuji menulis dengan penuh kebijaksanaan:
“العلم بلا عمل جنون، والعمل بلا علم لا يكون.”
“Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu tidak mungkin terjadi.”
Ungkapan ini mengandung pesan mendalam bahwa keberkahan ilmu tidak datang dari banyaknya hafalan atau pengetahuan, melainkan dari bagaimana ilmu itu diamalkan dengan hati yang tulus.
Dalam Al-Qur’an, Allah juga menegaskan bahwa ilmu yang benar adalah yang mengantarkan manusia kepada ketundukan dan rasa takut kepada-Nya:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.” (QS. Fāṭir [35]: 28)
Artinya, ilmu yang berkah bukan yang membuat seseorang merasa tinggi, melainkan yang membuatnya semakin rendah hati di hadapan kebenaran. Keberkahan ilmu adalah ketika pengetahuan menjadi jalan menuju penghambaan, bukan sekadar kebanggaan intelektual.
Ketulusan Niat: Kunci Utama dalam Menuntut Ilmu
Imam Az-Zarnuji menegaskan bahwa niat adalah awal dari setiap amal, termasuk dalam menuntut ilmu. Ia menulis:
“ينبغي لطالب العلم أن يصحح نيته، لأن العلم عبادة.”
“Seorang penuntut ilmu hendaknya meluruskan niatnya, karena menuntut ilmu adalah ibadah.”
Dalam konteks ini, belajar bukan hanya kegiatan intelektual, melainkan juga spiritual. Ketika seseorang belajar karena Allah, setiap usaha, setiap kelelahan, dan setiap tetes keringatnya bernilai ibadah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Niat yang lurus menjadikan ilmu membawa keberkahan. Namun jika niat belajar diarahkan untuk popularitas, kekuasaan, atau sekadar pengakuan, maka ilmu itu akan kehilangan sinarnya.
Ketulusan tidak terlihat oleh mata, tetapi dirasakan oleh hati. Seseorang yang belajar dengan hati yang ikhlas akan merasakan ketenangan, bahkan ketika proses belajar terasa sulit. Ia tidak belajar untuk dibandingkan, tetapi untuk memperbaiki diri.
Menghindari Ilmu yang Tidak Bermanfaat
Salah satu doa yang sering diajarkan oleh Rasulullah ﷺ adalah permohonan agar dijauhkan dari ilmu yang tidak bermanfaat.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat.” (HR. Muslim)
Doa ini menunjukkan bahwa tidak semua ilmu membawa keberkahan. Ada ilmu yang hanya menambah kebingungan, kesombongan, bahkan kesesatan. Ilmu yang tidak diamalkan dengan tulus ibarat makanan lezat yang tidak pernah dicerna — menumpuk, tetapi tidak menumbuhkan kehidupan.
Imam Az-Zarnuji juga memperingatkan bahwa ilmu yang dicari untuk tujuan duniawi akan kehilangan manfaatnya. Ia menulis:
“من طلب العلم للدنيا، حُرم بركته.”
“Barang siapa mencari ilmu demi dunia, maka ia akan kehilangan keberkahannya.”
Ilmu yang berkah bukan diukur dari seberapa banyak catatan yang dimiliki, tetapi seberapa dalam ilmu itu mengubah cara berpikir, bersikap, dan berperilaku.
Amal Sebagai Buah dari Ilmu yang Berkah
Ilmu sejati tidak berhenti di kepala, tetapi berbuah dalam tindakan. Orang yang berilmu tetapi tidak mengamalkan pengetahuannya ibarat pohon rindang yang tidak pernah berbuah. Imam Az-Zarnuji menulis dengan tegas:
“من لم يعمل بعلمه لم ينتفع بعلمه.”
“Barang siapa tidak mengamalkan ilmunya, maka ia tidak akan mendapatkan manfaat darinya.”
Keberkahan ilmu terlihat dari dampaknya terhadap diri dan lingkungan. Orang yang belajar dengan niat tulus akan menjadi lebih sabar, rendah hati, dan bermanfaat bagi orang lain.
Rasulullah ﷺ bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)
Dengan demikian, belajar bukan sekadar menumpuk pengetahuan, melainkan menyiapkan diri untuk menjadi cahaya bagi sesama. Ilmu yang tidak diamalkan akan padam, tetapi ilmu yang diterangi dengan amal akan terus bersinar, bahkan setelah pemiliknya tiada.
Mengukur Keberhasilan Belajar dari Keikhlasan, Bukan Gelar
Kita hidup di zaman di mana prestasi sering diukur dari selembar sertifikat atau gelar akademik. Padahal, dalam pandangan Imam Az-Zarnuji, keberhasilan sejati justru terletak pada kesungguhan dan keikhlasan hati.
Ilmu yang bermanfaat tidak selalu diiringi gelar tinggi. Banyak ulama besar di masa lalu yang hidup sederhana, namun ilmu mereka terus menginspirasi umat hingga kini. Mengapa? Karena mereka belajar dengan hati yang bersih, bukan demi kedudukan.
Ketika seseorang belajar dengan niat yang tulus, setiap langkahnya menjadi ibadah. Ketika ia menulis catatan, membaca kitab, atau mendengarkan guru dengan sungguh-sungguh, itu semua menjadi amal yang dicatat sebagai kebaikan.
Imam Az-Zarnuji mengingatkan:
“ينبغي لطالب العلم أن يكون قصده وجه الله، لا الجاه والمال.”
“Seorang penuntut ilmu hendaknya menjadikan tujuannya karena Allah, bukan karena kehormatan atau harta.”
Ilmu yang diperoleh dengan hati yang tulus akan hidup lama setelah pengajarnya tiada, karena keberkahan melampaui batas waktu.
Menumbuhkan Keberkahan Ilmu di Era Modern
Di era modern, ilmu berkembang cepat, tetapi keberkahannya sering menipis. Banyak orang tahu banyak hal, namun sedikit yang benar-benar memahami makna dari apa yang mereka pelajari.
Untuk menumbuhkan keberkahan ilmu, kita perlu kembali ke esensi belajar yang diajarkan para ulama: niat yang lurus, penghormatan kepada guru, dan konsistensi dalam mengamalkan ilmu.
Setiap pengetahuan, sekecil apa pun, akan bernilai ketika disertai niat yang benar. Seorang pelajar yang membaca satu halaman dengan niat mendekatkan diri kepada Allah lebih mulia daripada seribu bacaan yang dilakukan tanpa arah spiritual.
Ketulusan menumbuhkan keberkahan, sementara kesombongan menghapusnya. Karena itu, belajar bukan tentang siapa yang paling cepat paham, tetapi siapa yang paling ikhlas berproses.
Keberkahan Ilmu: Cermin Keikhlasan dan Kerendahan Hati
Imam Az-Zarnuji menggambarkan bahwa ilmu akan menetap di hati yang bersih, bukan yang sombong. Ia menulis:
“العلم نور، ونور الله لا يُهدى للعاصي.”
“Ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang bermaksiat.”
Kalimat ini menunjukkan bahwa ilmu sejati bukan hanya hasil berpikir keras, tetapi juga hasil membersihkan hati. Ilmu yang bermanfaat hanya bisa diterima oleh mereka yang menjaga hubungan baik dengan Allah dan sesama.
Keberkahan ilmu tidak lahir dari jumlah hafalan, melainkan dari hati yang terbuka menerima hikmah. Orang yang rendah hati akan mudah belajar, sedangkan yang sombong akan tertutup dari kebenaran, meskipun cerdas sekalipun.
Penutup
Pada akhirnya, keberkahan ilmu tidak bisa diukur oleh angka atau pujian. Ia hadir dalam ketenangan hati, dalam perubahan sikap, dan dalam manfaat yang dirasakan orang lain.
Belajar dengan ketulusan berarti belajar dengan cinta — cinta kepada kebenaran, kepada guru, dan kepada Sang Pemberi Ilmu. Dalam ketulusan itu, ilmu tumbuh menjadi cahaya yang tidak padam oleh waktu.
Maka, marilah kita belajar bukan untuk dikenal, tetapi untuk mengenal; bukan untuk menguasai, tetapi untuk memperbaiki diri. Sebab ilmu yang berkah bukanlah yang membuat kita terlihat tinggi, melainkan yang membuat kita semakin tunduk kepada Yang Maha Tinggi.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
