SURAU.CO-Pada awal abad ke-3 Hijriyah, Khalifah Al-Ma’mun memimpin dunia Islam dengan semangat filsafat dan rasionalisme. Ia mencintai ilmu, tetapi pemikirannya yang condong pada aliran Mu’tazilah menimbulkan fitnah besar. Ia menetapkan doktrin bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, bukan kalam Allah. Dengan kekuasaannya, ia memaksa para ulama menyetujui pendapat tersebut.
Perintah itu menyebar ke seluruh negeri. Ulama yang menolak langsung ditangkap atau disiksa. Sebagian memilih diam, sebagian lainnya tunduk. Namun Imam Ahmad bin Hambal berdiri tegas. Ia menolak tunduk kepada tekanan politik dan tetap menyatakan, “Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk.” Ucapan itu mengguncang istana Abbasiyah dan membuat namanya menjadi simbol keberanian.
Khalifah Al-Ma’mun memerintahkan prajurit untuk menangkap Imam Hambali di Baghdad. Pasukan membawa beliau dengan tangan terikat menuju istana. Dalam perjalanan, masyarakat menangis dan berdoa. Mereka tahu bahwa yang sedang dibawa bukan sekadar seorang ulama, tetapi penjaga aqidah umat. Sebelum Imam Hambali tiba, Al-Ma’mun wafat. Kekuasaan berpindah ke Al-Mu’tashim, yang tetap melanjutkan kebijakan Mihnah.
Keteguhan Imam Hambali dalam Penderitaan dan Doa
Di hadapan Khalifah Al-Mu’tashim, Imam Hambali menolak semua tekanan. Qadhi Ahmad bin Abi Duad terus memaksa beliau mengakui bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Namun Imam Hambali tidak gentar. Ia menatap para pejabat dan berkata, “Tunjukkan satu dalil dari Al-Qur’an atau hadits yang menyatakan demikian.” Tidak ada yang mampu menjawab.
Khalifah marah besar. Ia memerintahkan algojo mencambuk Imam Hambali di depan khalayak. Cambukan pertama mengenai punggung beliau, disusul cambukan kedua dan ketiga yang semakin keras. Darah mengalir, namun Imam Hambali tetap berzikir. Algojo kelelahan, tetapi Imam Hambali tetap diam dan menatap langit sambil berdoa, “Ya Allah, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu.”
Setelah penyiksaan, penguasa memenjarakannya dalam kondisi luka parah. Di dalam penjara, Imam Hambali tetap mengajar murid-murid yang berani menjenguknya. Ia menolak makanan dari istana dan hidup hanya dengan roti kering. Tubuhnya lemah, tetapi semangatnya tetap menyala. Ia berkata kepada muridnya, “Jika aku diam, maka ilmu akan hilang dan kebatilan akan menang.”
Keteguhan itu menyebar ke seluruh Baghdad. Rakyat menganggap Imam Hambali sebagai lambang kebenaran. Banyak yang berdoa setiap malam agar Allah menjaga beliau dari kebengisan penguasa.
Kemenangan Iman dan Berakhirnya Mihnah
Tahun demi tahun berlalu. Dukungan rakyat untuk Imam Hambali semakin besar, sedangkan kebijakan Mihnah mulai kehilangan kekuatannya. Tekanan politik dan doa umat membuat Khalifah akhirnya memerintahkan pembebasan Imam Hambali.
Ketika beliau keluar dari penjara, ribuan warga Baghdad memenuhi jalan. Mereka menangis dan mencium tangan beliau. Suara takbir menggema di udara. Imam Hambali berjalan perlahan, tubuhnya lemah, tetapi wajahnya bersinar penuh ketenangan. Ia kembali ke rumahnya dan menolak jabatan apa pun dari istana. Ia memilih mengajar dan menulis, menjaga ilmu agar tetap murni.
Dari perjuangan itu, lahir madzhab Hanbali yang kokoh hingga kini. Madzhab itu bukan sekadar sistem hukum, melainkan warisan dari keberanian, kejujuran, dan keyakinan yang tidak bisa dibeli oleh kekuasaan.
Warisan Spiritual dan Refleksi Zaman Kini
Kisah Imam Hambali dicambuk demi kebenaran aqidah menegaskan bahwa kebenaran tidak bergantung pada jumlah pendukung. Seorang yang beriman dan jujur mampu menegakkan kebenaran di tengah badai kekuasaan. Imam Hambali tidak melawan dengan pedang, tetapi dengan ilmu, sabar, dan doa.
Dalam kehidupan modern, bentuk “cambuk” mungkin berbeda. Tekanan bisa datang dari opini publik, kepentingan politik, atau godaan harta. Namun prinsip yang diajarkan Imam Hambali tetap sama: integritas tidak boleh dikorbankan. Keberanian menjaga prinsip lebih berharga daripada kenyamanan sementara.
Keteguhan Imam Hambali telah menginspirasi ulama setelahnya, seperti Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim. Mereka melanjutkan semangat untuk menjaga kemurnian tauhid dari pengaruh dunia. Sejarah membuktikan, cambuk hanya melukai tubuh, tetapi tidak pernah menghancurkan iman yang tulus.
Imam Hambali telah memenangkan ujian terbesar dalam hidupnya. Ia menunjukkan bahwa kekuasaan bisa lenyap, tetapi kebenaran akan tetap hidup selamanya. (Hendri Hasyim)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
