Di tengah gemerlap dunia digital dan derasnya arus informasi, nilai amanah sering kali terlupakan. Banyak orang lebih cepat membagikan kabar tanpa verifikasi, lebih suka tampil benar daripada menjadi benar, dan lebih tertarik pada citra ketimbang integritas. Dalam pusaran zaman yang serba cepat ini, Syaikh Muhammad Syakir al-Iskandari—seorang ulama besar dari Mesir—menyampaikan pesan yang tak lekang waktu dalam kitabnya Washoya al-Abaa’ lil Abnaa’ (Nasihat Ayah untuk Anak).
Beliau menekankan bahwa amanah bukan sekadar kejujuran dalam ucapan, tetapi juga tanggung jawab dalam perbuatan. Syaikh menulis:
“وَاعْلَمْ يَا بُنَيَّ أَنَّ الْأَمَانَةَ مِفْتَاحُ الرِّزْقِ وَسَبِيلُ الثِّقَةِ وَمِيزَانُ الإِنْسَانِ”
“Ketahuilah wahai anakku, sesungguhnya amanah adalah kunci rezeki, jalan kepercayaan, dan timbangan kemanusiaan.”
Pesan ini sederhana namun mendalam: amanah adalah jantung moralitas. Ia menjadi dasar dari hubungan antarmanusia dan sekaligus cermin dari keimanan seseorang.
Amanah dalam Pandangan Islam: Tidak Sekadar Kejujuran
Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan pentingnya sifat amanah dalam firman-Nya:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An-Nisa: 58)
Ayat ini menunjukkan bahwa amanah bukanlah pilihan, melainkan perintah langsung dari Allah. Amanah tidak hanya tentang menjaga harta, tetapi juga menjaga rahasia, janji, bahkan waktu.
Rasulullah ﷺ pun menegaskan dalam haditsnya:
لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ
“Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki amanah.” (HR. Ahmad)
Artinya, kehilangan amanah berarti kehilangan sebagian dari iman. Dalam kehidupan remaja hari ini, amanah bisa berarti menepati waktu belajar, tidak menyontek, menjaga rahasia teman, hingga tidak menyebarkan kabar palsu. Syaikh Syakir mengingatkan, “Barang siapa ringan menunaikan amanah kecil, maka ia akan dipercaya dalam amanah besar.” Prinsip ini mengajarkan bahwa latihan kejujuran dimulai dari hal-hal sederhana yang sering kita abaikan.
Amanah dalam Era Digital: Menjaga Diri dari Fitnah Informasi
Remaja masa kini hidup dalam dunia yang terbuka, di mana setiap orang dapat menjadi “penyampai berita.” Namun, di balik kemudahan itu, tersimpan tanggung jawab besar: menjaga amanah dalam informasi.
Syaikh Syakir menulis,
“إِنَّ الْكَلِمَةَ أَمَانَةٌ، فَاحْفَظْ لِسَانَكَ وَقَلَمَكَ مِنَ الْخَوْضِ فِيمَا لَا يَعْنِيكَ”
“Sesungguhnya kata adalah amanah. Maka jagalah lisan dan tulisanmu dari hal-hal yang tidak berguna.”
Dalam konteks modern, nasihat ini relevan untuk dunia media sosial. Banyak anak muda tergoda untuk ikut berkomentar tanpa berpikir panjang, menyebarkan rumor, atau mengunggah hal yang bisa melukai orang lain.
Menjaga amanah berarti berpikir sebelum berbicara, meneliti sebelum menyebarkan, dan mengutamakan kebenaran di atas sensasi. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Amanah digital adalah bentuk baru dari keimanan modern. Ia menguji sejauh mana kita mampu menahan diri di dunia yang menuntut untuk selalu “online”.
Menumbuhkan Jiwa Amanah Sejak Dini
Syaikh Syakir al-Iskandari menekankan bahwa membangun jiwa amanah harus dimulai sejak kecil. Beliau menulis:
“رَبِّ وَلَدَكَ عَلَى الأَمَانَةِ، فَإِنَّهَا أَصْلُ كُلِّ خَيْرٍ”
“Didiklah anakmu dengan amanah, karena ia adalah sumber dari segala kebaikan.”
Bagi remaja, latihan amanah dapat dimulai dari hal-hal sederhana: menjaga barang pinjaman, menepati janji kecil, atau mengakui kesalahan tanpa mencari alasan. Amanah adalah kebiasaan yang dibangun, bukan bakat yang diwariskan.
Ketika seseorang terbiasa jujur dalam hal kecil, ia sedang menyiapkan dirinya untuk memikul tanggung jawab besar di masa depan. Bahkan, dalam dunia kerja atau pertemanan, orang yang dipercaya akan selalu memiliki tempat istimewa. Sebaliknya, orang yang mudah mengkhianati amanah akan kehilangan nilai dirinya di mata orang lain.
Antara Amanah dan Keberkahan Hidup
Banyak orang bekerja keras, namun tidak semua mendapat keberkahan. Syaikh Syakir mengajarkan bahwa keberkahan lahir dari kejujuran dan amanah. Beliau menulis,
“إِذَا أَرَدْتَ أَنْ يُبَارِكَ اللهُ فِي رِزْقِكَ فَكُنْ أَمِينًا فِي قَلِيلِكَ وَكَثِيرِكَ”
“Jika engkau ingin Allah memberkahi rezekimu, maka jadilah orang yang amanah dalam hal kecil maupun besar.”
Amanah bukan hanya urusan moral, tetapi juga spiritual. Orang yang amanah bekerja dengan hati, bukan hanya dengan tangan. Ia percaya bahwa setiap tugas adalah titipan Allah yang harus dijaga. Dengan cara itu, setiap usaha menjadi ibadah dan setiap hasil menjadi keberkahan.
Allah berfirman:
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا، وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS. At-Talaq: 2–3)
Sikap amanah adalah bagian dari takwa itu sendiri, sebab orang yang amanah takut melanggar hak Allah dan hak sesama manusia.
Amanah dan Tanggung Jawab Sosial: Cermin Kedewasaan
Menjadi remaja bukan berarti bebas tanpa batas, melainkan mulai belajar bertanggung jawab. Syaikh Syakir berpesan agar setiap anak memahami makna tanggung jawab sosial:
“كُنْ أَمِينًا فِي جَمَاعَتِكَ، وَلاَ تَغْدِرْ فِي مِيثَاقٍ، فَإِنَّ الْخِيَانَةَ عَارٌ لاَ يُغْسَلُ”
“Jadilah orang yang amanah dalam kelompokmu, dan jangan pernah berkhianat terhadap perjanjian, karena pengkhianatan adalah aib yang tak bisa dibersihkan.”
Dalam kehidupan modern, tanggung jawab sosial berarti menepati komitmen di komunitas, menghargai aturan, dan peduli terhadap sesama.
Misalnya, menjaga kebersihan lingkungan sekolah, mengembalikan buku yang dipinjam, atau tidak menyontek saat ujian. Hal-hal kecil ini menjadi latihan moral agar jiwa amanah tertanam kuat dalam diri.
Menjadi Remaja yang Dipercaya: Pilar Keberhasilan
Amanah adalah kunci kepercayaan. Tanpa amanah, tidak ada hubungan yang bisa bertahan—baik pertemanan, keluarga, maupun dunia kerja.
Remaja yang amanah akan selalu dipercaya, karena tindakannya konsisten dengan kata-katanya. Kepercayaan itu membentuk reputasi, dan reputasi menjadi modal masa depan.
Syaikh Syakir menulis,
“إِنَّ اللهَ لاَ يَرْفَعُ قَوْمًا غَيْرَ أُمَنَاءَ، وَلاَ يُعِزُّ شَعْبًا فِيهِ الْخِيَانَةُ”
“Allah tidak akan meninggikan derajat suatu kaum yang tidak amanah, dan tidak akan memuliakan bangsa yang di dalamnya ada pengkhianatan.”
Pesan ini seolah menggema hingga hari ini: kebangkitan sebuah generasi ditentukan oleh kekuatan moralnya, bukan hanya kecerdasannya.
Penutup
Menjadi remaja amanah bukan berarti menjadi sempurna. Ia berarti berusaha jujur, meski kadang sulit; menepati janji, meski tergoda untuk lalai; dan tetap berbuat baik, meski tidak ada yang melihat.
Amanah adalah perjalanan spiritual menuju kematangan diri. Ia menuntun kita untuk mengenal Allah lebih dekat, karena setiap tanggung jawab adalah bentuk ujian keimanan.
Syaikh Syakir menutup nasihatnya dengan kalimat yang begitu lembut namun tegas:
“يَا بُنَيَّ، إِذَا ضَيَّعْتَ الأَمَانَةَ، فَقَدْ ضَيَّعْتَ نَفْسَكَ.”
“Wahai anakku, jika engkau mengabaikan amanah, maka engkau telah mengabaikan dirimu sendiri.”
Maka, marilah kita jadikan amanah sebagai mahkota diri. Karena dari amanah lahir kepercayaan, dari kepercayaan lahir kasih sayang, dan dari kasih sayang lahir keberkahan hidup yang sejati.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
