Khazanah
Beranda » Berita » Tawakal: Berserah Diri tapi Tetap Berusaha Menurut Kitab Washoya al-Abaa’ lil Abnaa’

Tawakal: Berserah Diri tapi Tetap Berusaha Menurut Kitab Washoya al-Abaa’ lil Abnaa’

Remaja Muslim berdoa di bawah langit fajar simbol tawakal dan ketenangan hati
Lukisan digital bernuansa lembut menggambarkan remaja Muslim menengadahkan tangan di bawah langit fajar, simbol keikhlasan dan penyerahan diri kepada Allah.

Bagi banyak remaja, kata tawakal sering terdengar di akhir doa atau dalam nasihat orang tua: “Sudah, serahkan saja pada Allah.” Namun, dalam kehidupan sehari-hari, banyak yang salah memahami makna tawakal. Sebagian remaja menganggap tawakal berarti pasrah tanpa usaha. Padahal, Islam justru mengajarkan keseimbangan antara kerja keras dan ketenangan hati yang percaya penuh kepada Allah.

Tawakal dalam Pandangan Islam

Syaikh Muhammad Syakir Al-Iskandari, dalam kitab Washoya al-Abaa’ lil Abnaa’—sebuah karya berisi nasihat lembut seorang ayah kepada anaknya—menjelaskan pentingnya mengandalkan Allah setelah berusaha dengan sungguh-sungguh. Beliau menulis:

“اعملْ عملَ المجتهدِ، وتوكَّلْ توكُّلَ المؤمنِ الصادقِ.”
“Beramallah seperti orang yang sungguh-sungguh berusaha, dan bertawakallah seperti seorang mukmin yang benar imannya.”

Pesan ini terdengar sederhana, tetapi sesungguhnya menyimpan keseimbangan hidup yang luar biasa. Dengan kata lain, tawakal bukan berarti meninggalkan usaha, melainkan menenangkan hati setelah seseorang menempuh segala ikhtiar yang maksimal.

Tawakal dalam Cahaya Al-Qur’an

Tawakal bukan hanya sikap mental, melainkan ibadah hati yang Allah sebut berulang kali dalam Al-Qur’an. Allah Ta‘ala berfirman:

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

وَعَلَى اللّٰهِ فَتَوَكَّلُوْٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang beriman.” (QS. Al-Mā’idah [5]: 23)

Ayat ini menegaskan bahwa tawakal merupakan tanda keimanan sejati. Oleh sebab itu, remaja Muslim masa kini perlu melatih dirinya untuk bertawakal dalam berbagai situasi: ketika ujian terasa berat, ketika rencana tidak berjalan mulus, atau ketika doa belum terkabul. Justru di saat-saat seperti itulah Allah menguji keikhlasan hati.

Selain itu, Islam tidak pernah memerintahkan umatnya untuk berhenti berusaha. Nabi Muhammad ﷺ menegaskan dalam sabdanya:

“اِعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ”
“Ikatlah (untamu), kemudian bertawakallah.” (HR. Tirmidzi)

Hadis ini mengajarkan bahwa tawakal sejati memadukan tindakan nyata dan penyerahan hati. Mengikat unta berarti melakukan usaha yang konkret, sedangkan tawakal berarti mempercayai hasil akhirnya kepada Allah.

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

Pelajaran dari Washoya al-Abaa’ lil Abnaa’

Syaikh Muhammad Syakir menulis kitab ini dengan gaya yang lembut dan penuh kasih. Beliau seolah berbicara langsung kepada para remaja yang sedang belajar memahami kehidupan. Dalam salah satu nasihatnya, beliau menulis:

“واعلمْ يا بُنيّ، أنَّ من توكَّل على الله كفاه، ومن استعان به أعانه، ومن رضي بقضائه أرضاه.”
“Ketahuilah, wahai anakku, siapa yang bertawakal kepada Allah maka Allah akan mencukupinya, siapa yang memohon pertolongan-Nya maka Allah akan menolongnya, dan siapa yang ridha atas ketetapan-Nya maka Allah akan menenangkan hatinya.”

Pesan ini sangat relevan di tengah kehidupan remaja masa kini yang penuh tekanan dan ekspektasi. Banyak remaja merasa gagal memenuhi standar sosial atau terjebak dalam kecemasan tentang masa depan. Syaikh Syakir mengingatkan bahwa ketenangan sejati tidak datang dari kontrol total atas hidup, tetapi dari keyakinan bahwa Allah selalu mengatur segalanya dengan kasih sayang-Nya.

Tawakal dan Kesehatan Mental Remaja

Di era digital, remaja setiap hari menyaksikan kesuksesan orang lain melalui media sosial: prestasi, popularitas, hingga gaya hidup. Tanpa disadari, hal itu membuat mereka merasa tertinggal. Di sinilah, tawakal hadir sebagai terapi spiritual yang menenangkan jiwa.

Syaikh Syakir mengajarkan bahwa hati yang bertawakal tidak mudah goyah. Ia tidak menilai dirinya dari hasil duniawi, tetapi dari seberapa besar usahanya di jalan yang benar. Allah ﷻ berfirman:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya.” (QS. Ath-Thalāq [65]: 3)

Ayat ini mengingatkan bahwa kecukupan sejati bukan datang dari hasil, melainkan dari kepasrahan yang tulus. Dengan cara ini, remaja belajar menikmati proses tanpa terbebani oleh hasil akhir.

Antara Tawakal dan Pasrah Buta

Namun, tidak sedikit orang yang masih salah memahami konsep tawakal. Sebagian bahkan menjadikannya alasan untuk bermalas-malasan. Padahal, Rasulullah ﷺ dan para sahabat adalah contoh orang-orang yang paling giat bekerja sekaligus paling kuat tawakalnya.

Suatu ketika, seorang sahabat bertanya,
“Apakah aku boleh membiarkan untaku tanpa diikat lalu bertawakal kepada Allah?”
Rasulullah ﷺ menjawab dengan bijak,

“Ikatlah dulu untamu, lalu bertawakallah.” (HR. Tirmidzi)

Melalui hadis ini, Nabi ﷺ menegaskan bahwa usaha dan tawakal tidak dapat dipisahkan. Menurut Syaikh Syakir, seseorang baru bisa disebut bertawakal setelah berusaha secara maksimal. Beliau menulis:

“من ترك العمل بحجة التوكل فقد جهل التوكل، ومن عمل ولم يتوكل فقد ظلم نفسه.”
“Barang siapa meninggalkan usaha dengan alasan tawakal, maka ia telah salah memahami tawakal. Dan barang siapa berusaha tanpa bertawakal, maka ia telah menzalimi dirinya sendiri.”

Dengan demikian, tawakal justru menumbuhkan semangat, bukan mematikan motivasi. Hati yang bertawakal tetap tenang, namun tetap bergerak maju dengan keyakinan penuh.

Menumbuhkan Tawakal dalam Kehidupan Sehari-hari

Tawakal tidak muncul tiba-tiba, tetapi tumbuh melalui latihan terus-menerus. Misalnya, ketika seorang remaja belajar untuk ujian, ia harus berusaha sebaik mungkin, berdoa, lalu menyerahkan hasilnya kepada Allah. Jika hasilnya belum sesuai harapan, ia tidak berputus asa, karena yakin bahwa Allah sedang menyiapkan jalan yang lebih baik.

Begitu pula dalam urusan pertemanan, cinta, dan cita-cita. Tawakal berarti mempercayai bahwa takdir Allah selalu lebih indah daripada rencana manusia. Oleh karena itu, remaja dapat melatih tawakal melalui tiga langkah sederhana dari nasihat Syaikh Syakir:

  1. Berikhtiarlah sepenuh hati. Usaha kecil sekalipun tetap berarti jika dilakukan dengan niat baik.

  2. Luruskan niat. Usaha tanpa keikhlasan hanya akan menambah kegelisahan.

  3. Serahkan hasil kepada Allah. Karena hasil bukan di tangan manusia, melainkan di bawah kuasa-Nya.

Tawakal dan Ketenangan Hati

Tawakal memberi ruang bagi hati untuk beristirahat dari beban pikiran. Dalam dunia yang serba cepat dan penuh tekanan, tawakal membuat remaja tetap fokus dan waras. Rasulullah ﷺ bersabda:

“لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللّٰهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا”
“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Allah akan memberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki: ia pergi pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi)

Burung tidak berdiam diri di sarangnya. Ia terbang mencari rezeki, berusaha sekuat tenaga, lalu kembali dengan penuh rasa syukur. Begitu pula manusia: bergerak, bekerja, kemudian menyerahkan hasil akhirnya kepada Allah.

Penutup

Akhirnya, tawakal bukan sekadar konsep spiritual, melainkan seni hidup yang menenangkan jiwa di tengah kerasnya dunia. Ia mengajarkan bahwa hasil bukanlah segalanya, dan kegagalan bukan akhir dari segalanya.

Syaikh Muhammad Syakir Al-Iskandari menutup nasihatnya dengan kalimat indah:

“من جعل ثقته بالله لم يُخْذَلْ، ومن طلب رضا الله رُزِقَ القناعة والطمأنينة.”
“Siapa yang menaruh kepercayaannya pada Allah tidak akan dikecewakan, dan siapa yang mencari ridha-Nya akan dianugerahi rasa cukup dan ketenangan.”

Dengan demikian, tawakal menjadi teman terbaik bagi setiap remaja yang sedang mencari arah hidup. Ia bukan pengganti usaha, melainkan pelengkapnya. Ia bukan alasan untuk berhenti, tetapi kekuatan untuk terus melangkah dengan hati yang tenang dan keyakinan yang kokoh.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement