SURAU.CO. Istilah jihad sering kali dikaitkan dengan nuansa militeristik yang keras. Gambaran itu begitu melekat, seakan jihad selalu identik dengan peperangan. Padahal, dalam khazanah Islam, jihad memiliki arti yang jauh lebih luas dan mendalam.
Jihad menuntut kesungguhan, konsistensi hati, dan keteguhan langkah untuk membela nilai-nilai kebenaran. Wujud jihad hadir dalam banyak bentuk: mencari ilmu, bekerja dengan jujur, mengangkat harkat kaum lemah, hingga memperjuangkan keadilan di ruang publik. Dari sudut pandang ini, jihad berarti ikhtiar serius untuk menghadirkan demokrasi yang sehat—demokrasi yang tidak berhenti pada prosedur, melainkan menjadi ruang bersama untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.
Demokrasi sebagai Ruang Perjuangan
Demokrasi adalah ruang perjuangan yang nyata, bukan sekadar prosedur memilih dan dipilih. Ia merupakan ikhtiar kolektif untuk menegakkan tatanan masyarakat yang berkeadilan. Dalam bingkai itu, Jihad Demokrasi dapat dimaknai sebagai perjuangan panjang yang menuntut konsistensi. Perjuangan ini menjaga agar proses politik tidak berhenti pada ritual formal, melainkan sungguh-sungguh melahirkan kepemimpinan yang berintegritas.
Lebih jauh, jihad ini juga memastikan setiap keputusan publik berpihak pada rakyat, sehingga demokrasi tidak kehilangan rohnya sebagai jalan menuju keadilan dan kemaslahatan bersama.
Ujian dan Tantangan Demokrasi
Demokrasi kerap menghadapi ujian berat, dan politik uang menjadi ancaman paling mencolok hingga hari ini. Praktik ini mereduksi suara rakyat seolah-olah bisa dibeli, membuat pilihan politik kehilangan makna sejatinya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 mencatat fakta yang mengkhawatirkan: hampir setengah masyarakat Indonesia, yaitu 46,77 persen, pernah menerima tawaran uang atau fasilitas lain saat pemilu maupun pilkada.
Survei Indikator Politik Indonesia memperkuat temuan tersebut. Sebanyak 46,9 persen pemilih masih menganggap politik uang bisa ditoleransi. Fakta ini menunjukkan politik transaksional tidak lagi sekadar penyimpangan, tetapi sudah merambah menjadi budaya di sebagian masyarakat. Di titik inilah jihad demokrasi menemukan urgensinya: melawan mentalitas pragmatis yang mengorbankan prinsip keadilan demi keuntungan sesaat.
Temuan Bawaslu tentang Politik Uang
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat lebih dari 130 dugaan praktik politik uang hanya dalam masa tenang dan hari pemungutan suara pilkada serentak 2024. Mayoritas kasus berupa pembagian uang tunai atau barang untuk memengaruhi pilihan pemilih. Ironisnya, sebagian besar masyarakat yang menerima justru memilih bungkam dan tidak melaporkan pelanggaran tersebut.
Temuan ini selaras dengan survei Populix, yang menunjukkan 74 persen masyarakat yang menyaksikan atau mengalami politik uang tidak melaporkannya. Alasannya beragam, namun yang paling menonjol adalah anggapan bahwa praktik tersebut sudah lumrah terjadi. Fakta ini menegaskan bahwa jihad melawan politik uang bukan sekadar persoalan regulasi dan penegakan hukum, melainkan juga tantangan kesadaran etis dan budaya politik warga negara.
Selain politik uang, politisasi identitas terus mengguncang demokrasi kita. Banyak pihak menjadikan perbedaan agama, suku, atau ras sebagai komoditas politik untuk memecah belah masyarakat. Dalam kampanye, isu identitas kerap dipakai sebagai senjata instan, meski risikonya berbahaya. Praktik ini tidak hanya merusak kualitas demokrasi, tetapi juga membuka jalan bagi disintegrasi sosial. Demokrasi yang seharusnya mempersatukan justru terancam berubah menjadi arena pertikaian.
Urgensi Jihad Demokrasi
Di sinilah Jihad Demokrasi menemukan urgensinya. Tanggung jawab untuk menjaga marwah demokrasi tidak hanya terletak pada lembaga penyelenggara pemilu. Memang, penyelenggara wajib memastikan proses berjalan kredibel dan bebas manipulasi. Namun tanggung jawab itu juga melekat pada partai politik yang harus berani menghadirkan calon pemimpin yang amanah, berintegritas, dan berpihak pada kepentingan rakyat.
Lebih dari itu, peran terbesar justru berada di tangan masyarakat. Pemilih dapat menunaikan jihad dengan cara paling sederhana sekaligus fundamental: menggunakan hak suara dengan penuh kesadaran, menolak praktik politik uang, tidak terjebak pada isu identitas yang memecah belah, serta ikut mengawasi jalannya proses demokrasi di lingkungan sekitar. Inilah bentuk nyata jihad demokrasi sehari-hari—perjuangan yang mungkin sunyi, tetapi memiliki dampak besar bagi masa depan bangsa.
Jihad Demokrasi dalam Kehidupan Sehari-hari
Jihad demokrasi tidak berhenti pada momen pemilu. Ia terus berjalan dalam denyut kehidupan sehari-hari. Warga negara perlu aktif mengawal kebijakan, menuntut transparansi anggaran, dan mendorong pemerintahan agar berpihak pada kepentingan publik. Demokrasi yang sehat lahir bukan hanya dari bilik suara lima tahunan, tetapi dari konsistensi masyarakat menjaga nilai keadilan, keterbukaan, dan kebersamaan dalam kehidupan berbangsa.
Karena itu, jihad demokrasi bukan sekadar jargon kosong. Jihad ini menghadirkan energi moral yang menghidupkan cita-cita luhur bangsa: menegakkan keadilan sosial, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan menjaga persatuan. Ketika demokrasi berjalan dengan semangat jihad, ia tidak lagi sebatas sistem politik. Demokrasi menjelma jalan ibadah, jalan yang menegakkan bangsa di atas nilai kebenaran dan menuntunnya meraih ridha Tuhan. (kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
