Kita hidup di zaman serba cepat. Banyak remaja terbiasa makan sambil menatap layar, minum sambil berjalan, atau bahkan lupa membaca doa sebelum makan. Makan dan minum seolah hanya urusan perut, padahal bagi Islam, ia juga urusan hati dan adab.
Syaikh Muhammad Syakir Al-Iskandari, seorang ulama yang bijak, dalam kitab Washoya al-Abaa’ lil Abnaa’ (Nasihat Ayah untuk Anak) menulis bahwa cara seseorang makan dan minum mencerminkan kehalusan jiwanya. Ia berkata dengan penuh hikmah:
يَا بُنَيَّ، الْأَدَبُ فِي الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ مِرْآةُ الْأَخْلَاقِ.
“Wahai anakku, adab dalam makan dan minum adalah cermin dari akhlak seseorang.”
Bagi beliau, makan bukan sekadar mengisi perut, melainkan latihan kesadaran — sebuah bentuk zikir yang mengingatkan manusia akan nikmat Allah dan batas-batas dirinya.
Makan dengan Kesadaran: Mengubah Rutinitas Menjadi Ibadah
Islam tidak memisahkan hal kecil dari nilai spiritual. Dalam setiap suapan terdapat peluang untuk bersyukur. Sebelum makan, Rasulullah ﷺ mengajarkan doa sederhana:
بِسْمِ اللَّهِ، وَعَلَى بَرَكَةِ اللَّهِ
“Dengan nama Allah dan atas keberkahan dari-Nya.”
Zikir singkat ini mengubah aktivitas duniawi menjadi ibadah. Dengan menyebut nama Allah, seseorang diingatkan bahwa makanan di hadapannya bukan hasil usahanya semata, tetapi anugerah dari langit.
Syaikh Syakir menulis dengan nada penuh kelembutan:
اذكرِ اللهَ عندَ طعامِك، فإنَّ الشكرَ في الأكلِ عبادةٌ، ومَن نسيَ اللهَ فيهِ، أكَلَ كما تأكلُ البهائمُ.
“Sebutlah nama Allah saat makan, sebab bersyukur dalam makan adalah ibadah. Barang siapa lupa menyebut-Nya, ia makan seperti hewan yang hanya memenuhi perut.”
Kata-kata itu terdengar keras, tetapi mengandung cinta. Beliau ingin mengingatkan bahwa makan tanpa adab berarti kehilangan makna. Dengan kesadaran, setiap gigitan menjadi bentuk penghambaan, bukan sekadar pemuasan.
Duduklah dengan Tenang: Adab Rasulullah dalam Makan
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda:
كُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا، إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf [7]: 31)
Ayat ini tidak hanya menyinggung soal jumlah makanan, tetapi juga sikap batin. Rasulullah ﷺ selalu makan dengan sederhana. Beliau duduk dengan tenang, tidak bersandar, dan menggunakan tangan kanan. Dalam riwayat, beliau bersabda:
يَا غُلَامُ، سَمِّ اللَّهَ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ
“Wahai anak muda, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari bagian yang dekat darimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikh Syakir menekankan pentingnya meneladani kebiasaan ini:
لا تَمُدَّ يَدَكَ فِي الطَّعَامِ قَبْلَ أَكْبَرِ الْقَوْمِ، فَإِنَّهُ مِنْ سُوءِ الْأَدَبِ.
“Jangan mendahului orang yang lebih tua ketika mengambil makanan, karena itu tanda kurangnya adab.”
Bagi remaja, pesan ini sangat relevan. Dunia yang cepat sering mengajarkan sikap “aku duluan”, tetapi adab makan mengajarkan tawadhu’ — kerendahan hati dan penghargaan kepada yang lain.
Adab dalam Minum: Menghormati Nikmat Sekaligus Menjaga Kesehatan
Sama seperti makan, Islam juga menuntun adab dalam minum. Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا تَشْرَبُوا نَفَسًا وَاحِدًا كَشُرْبِ الْإِبِلِ، وَلَكِنِ اشْرَبُوا مَثْنَى وَثُلَاثَ، وَسَمُّوا إِذَا شَرِبْتُمْ وَاحْمَدُوا إِذَا فَرَغْتُمْ
“Jangan minum dalam satu tarikan napas seperti unta, tetapi minumlah dua atau tiga kali. Sebutlah nama Allah saat memulai dan pujilah Dia setelah selesai.” (HR. Tirmidzi)
Zikir kecil di awal dan akhir minum membuat aktivitas itu menjadi ibadah. Syaikh Syakir menulis:
اشربْ وأنتَ جالسٌ، شاكرًا للهِ على نعمتهِ، فإنَّ في الماءِ حياةَ الجسدِ، وفي الشكرِ حياةَ القلبِ.
“Minumlah sambil duduk, bersyukurlah kepada Allah atas nikmat-Nya, karena dalam air ada kehidupan jasmani, dan dalam syukur ada kehidupan rohani.”
Adab ini bukan sekadar bentuk sopan santun, tapi juga menjaga kesehatan. Ilmu kedokteran modern pun membuktikan bahwa minum sambil duduk membuat air terserap lebih baik dan tidak menekan jantung.
Menjaga Diri dari Berlebihan
Di era kuliner dan konten “mukbang”, budaya berlebih menjadi tren. Makan bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan, tapi ajang pamer. Padahal, Islam mengajarkan keseimbangan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ، بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ
“Tidak ada wadah yang lebih buruk dipenuhi manusia selain perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap yang menegakkan punggungnya.” (HR. Tirmidzi)
Syaikh Syakir mengulang pesan ini dalam tulisannya:
كُلْ بِقَدْرِ حَاجَتِكَ، فَالشَّبَعُ يُثْقِلُ الْعَقْلَ وَيُضْعِفُ الْعِبَادَةَ.
“Makanlah sekadar kebutuhanmu, karena kekenyangan memberatkan akal dan melemahkan ibadah.”
Pesan ini relevan bagi remaja modern yang sering makan tanpa perhitungan. Beliau ingin menanamkan kesadaran: adab makan bukan tentang membatasi kesenangan, melainkan menyeimbangkan antara nikmat dan syukur.
Makan Bersama: Menumbuhkan Cinta dan Kepedulian
Salah satu adab indah dalam Islam adalah makan bersama. Rasulullah ﷺ bersabda:
تَسَاكُوا وَتَشَارَكُوا فِي الطَّعَامِ، فَإِنَّ الْبَرَكَةَ مَعَ الْجَمَاعَةِ
“Berkumpullah dan makanlah bersama, karena keberkahan ada pada kebersamaan.” (HR. Abu Dawud)
Syaikh Syakir menulis dengan lembut:
كُلْ مَعَ أَهْلِكَ، فَإِنَّ فِي الْمَجْلِسِ الْوَاحِدِ رَحْمَةً، وَفِي الْقُلُوبِ الْمُجْتَمِعَةِ بَرَكَةً.
“Makanlah bersama keluargamu, karena dalam satu meja ada rahmat, dan dalam hati yang berkumpul ada keberkahan.”
Makan bersama menumbuhkan cinta dan empati. Di meja makan, anak belajar berbagi, bersyukur, dan mendengarkan. Remaja yang terbiasa makan bersama keluarga akan lebih menghargai makanan dan lebih peka terhadap kebutuhan orang lain.
Adab Setelah Makan: Rasa Syukur yang Menyempurnakan Nikmat
Adab tidak berhenti saat makanan habis. Rasulullah ﷺ mengajarkan doa setelah makan:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هَذَا، وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّي وَلَا قُوَّةٍ
“Segala puji bagi Allah yang telah memberiku makan ini dan rezeki tanpa daya dan kekuatanku.” (HR. Tirmidzi)
Syaikh Syakir menulis:
احمدِ اللهَ بعدَ كلِّ طعامٍ، فإنَّ الشكرَ يزيدُ النِّعَمَ، والنسيانَ يُزيلُها.
“Bersyukurlah kepada Allah setelah setiap makan, karena syukur menambah nikmat, sedangkan lupa menghapusnya.”
Adab ini melatih kesadaran spiritual. Setiap kali selesai makan, seorang Muslim diajak untuk merenung: ada banyak yang belum tentu bisa makan hari ini. Dengan bersyukur, hati menjadi lembut, mata menjadi peka, dan jiwa menjadi ringan.
Makna Simbolik dari Adab Makan
Mengapa Islam begitu memperhatikan cara makan dan minum? Karena keduanya adalah cermin disiplin diri. Seseorang yang mampu mengendalikan diri di hadapan makanan, akan lebih mudah mengendalikan diri di hadapan hawa nafsu.
Syaikh Syakir menyebutnya sebagai madrasah kecil — sekolah adab yang melatih jiwa untuk sabar, sopan, dan bersyukur. Setiap sendok yang diangkat dengan kesadaran adalah pelajaran moral yang tak ternilai.
الطَّعَامُ مِحْكٌ لِلنَّفْسِ، فَاحْذَرْ أَنْ يَغْلِبَكَ شَهْوَتُكَ.
“Makanan adalah ujian bagi jiwa, maka berhati-hatilah agar nafsumu tidak mengalahkanmu.”
Penutup
Setiap suapan adalah pelajaran, setiap tegukan adalah zikir. Makan dan minum bukan sekadar urusan duniawi, tetapi jembatan menuju kehalusan akhlak dan kedekatan dengan Allah.
Syaikh Muhammad Syakir Al-Iskandari mengingatkan:
كُنْ شَاكِرًا فِي كُلِّ لُقْمَةٍ، فَإِنَّ الْقَلْبَ الَّذِي يَذْكُرُ اللَّهَ فِي مَطْعَمِهِ، يَذْكُرُهُ فِي حَيَاتِهِ.
“Bersyukurlah dalam setiap suapan, karena hati yang mengingat Allah ketika makan akan mengingat-Nya dalam seluruh hidupnya.”
Maka wahai remaja Muslim, jadikan setiap makan dan minum sebagai latihan kesadaran. Duduklah dengan adab, sebutlah nama Allah, makanlah dengan syukur, dan akhiri dengan doa. Sebab di situlah letak keindahan Islam: bahkan hal kecil pun menjadi jalan menuju ketenangan jiwa.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
