Di tengah derasnya arus media sosial, rasa malu sering dianggap kuno. Banyak remaja merasa harus tampil percaya diri tanpa batas, berani menampilkan apa saja, bahkan hal yang dulu dianggap tabu. Padahal, malu bukan kelemahan—ia justru mahkota iman.
Syaikh Muhammad Syakir Al-Iskandari, dalam kitab Washoya al-Abaa’ lil Abnaa’, menulis dengan suara kebapakan yang lembut: bahwa malu adalah benteng hati yang menjaga kemuliaan manusia. Beliau menegaskan, tanpa rasa malu, iman akan mudah goyah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
الْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ
“Malu adalah cabang dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kalimat sederhana ini memuat kedalaman yang luar biasa. Bagi Nabi ﷺ, rasa malu bukan sekadar sikap sosial, tetapi ekspresi spiritual dari iman yang hidup di hati.
Malu: Bukan Lemah, Tapi Tanda Kekuatan Hati
Syaikh Syakir menulis dalam Washoya al-Abaa’ lil Abnaa’:
يا بُنَيَّ، إذا فقدتَ الحياءَ فقدتَ الإيمانَ، وإذا فقدتَ الإيمانَ فقدتَ الحياةَ الطيبةَ.
“Wahai anakku, bila engkau kehilangan rasa malu, maka engkau kehilangan iman. Dan bila engkau kehilangan iman, engkau kehilangan kehidupan yang baik.”
Pesan ini relevan sekali bagi remaja masa kini. Banyak yang menyamakan malu dengan minder, padahal keduanya sangat berbeda. Minder berarti merasa tidak mampu, sedangkan malu berarti menjaga diri dari sesuatu yang tidak pantas.
Remaja yang punya malu justru menunjukkan kekuatan hati. Ia mampu menahan diri di saat yang lain terbawa arus. Ia berani menolak ajakan yang melanggar nilai, meski ditertawakan. Dalam diamnya, ia sedang menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya.
Syaikh Syakir mengingatkan, malu adalah “hiasan yang membuat pemuda tampak bercahaya di hadapan Allah.” Rasa malu mencegah dosa kecil tumbuh menjadi kebiasaan besar. Ia seperti pagar taman—tanpanya, keindahan iman mudah rusak.
Malu dalam Pandangan Islam
Islam tidak hanya memuji malu, tapi juga menjadikannya sebagai ciri utama orang beriman. Dalam hadits lain, Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Jika engkau tidak memiliki rasa malu, maka lakukanlah sesukamu.” (HR. Bukhari)
Hadits ini bukanlah perintah untuk berbuat bebas, tetapi peringatan keras: ketika rasa malu hilang, seseorang tidak lagi punya rem moral. Ia akan melakukan apa saja tanpa rasa bersalah.
Syaikh Syakir menafsirkan, “malu adalah perasaan hati yang timbul karena kesadaran akan pandangan Allah.” Artinya, seorang remaja yang beriman akan merasa diawasi Allah, bahkan ketika sendirian. Itulah yang membuatnya berhenti sebelum berbuat salah.
Di sini, malu bukan karena takut pada manusia, tapi karena cinta kepada Allah. Ia bukan mengekang, tetapi melindungi. Malu yang benar membuat seseorang lembut dalam ucapan, sopan dalam berpakaian, dan berhati-hati dalam bersikap.
Malu yang Hilang di Era Digital
Syaikh Syakir, jika hidup di zaman ini, mungkin akan menangis melihat bagaimana rasa malu sering diabaikan. Banyak remaja dengan mudah membagikan foto pribadi, mengucapkan kata kasar di dunia maya, atau menertawakan kekurangan orang lain demi viral.
Namun, semua itu lahir dari satu hal: hilangnya haya’, rasa malu yang suci. Padahal, Islam mengajarkan agar setiap perilaku, baik di dunia nyata maupun dunia digital, mencerminkan kehormatan diri.
Allah ﷻ berfirman:
أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَىٰ
“Tidakkah ia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat?” (QS. Al-‘Alaq [96]: 14)
Ayat ini mengingatkan kita bahwa pandangan Allah lebih nyata daripada pandangan manusia. Maka, malu sejati lahir bukan karena takut dilihat orang, tetapi karena sadar Allah selalu menyaksikan.
Syaikh Syakir menulis:
استحيِ من اللهِ كما تستحيي من الناس، بل أكثر، فإنه يراك وإن لم تَرَه.
“Malu lah kepada Allah sebagaimana engkau malu kepada manusia, bahkan lebih, karena Dia melihatmu meski engkau tak melihat-Nya.”
Pesan ini sangat indah untuk remaja masa kini: malu bukan topeng, tapi cermin hati yang sadar akan kehadiran Tuhan.
Menjaga Malu dalam Pergaulan
Dalam pergaulan remaja, sering muncul godaan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Ada yang merasa “malu” dianggap berbeda, lalu ikut-ikutan meski melanggar nilai agama. Padahal, justru di situlah ujian sejati bagi seorang mukmin muda.
Malu yang benar bukan berarti takut berbuat baik, tapi takut kehilangan nilai. Ketika teman menertawakan kesopananmu, sebenarnya mereka sedang menguji keyakinanmu.
Rasulullah ﷺ adalah teladan terbesar dalam rasa malu. Para sahabat menggambarkan beliau sebagai orang yang lebih pemalu daripada gadis perawan di balik tirai. Beliau tidak pernah berkata atau berbuat yang menyinggung perasaan orang lain.
Syaikh Syakir menulis:
الحياءُ زينةُ الإنسانِ، ومَن تَخَلَّى عنهُ فقد تَخَلَّى عن شرفِه.
“Malu adalah perhiasan manusia, dan siapa yang meninggalkannya berarti ia meninggalkan kehormatannya.”
Bagi remaja, menjaga malu berarti menjaga jati diri. Ketika orang lain mengejar pengakuan, engkau mengejar keridhaan. Ketika yang lain bangga dengan kebebasan, engkau bangga dengan batasan yang menyelamatkan.
Malu yang Positif dan Malu yang Salah
Perlu diingat, tidak semua rasa malu baik. Ada malu yang lahir dari iman, ada pula yang lahir dari rasa rendah diri yang berlebihan. Malu yang benar membuat kita menjauhi dosa, tetapi tidak menghalangi kita dari kebaikan.
Contohnya, ada remaja yang malu mengucap salam di tempat umum, malu ikut kegiatan masjid, atau malu mengenakan pakaian syar’i karena takut diejek. Ini bukan malu yang benar, tapi takut pada manusia.
Syaikh Syakir menasihati:
يا بُنَيَّ، لا تَستحيي من الحقِّ، فإنَّ الحيَاءَ من الحقِّ إيمانٌ، والحياءَ من الباطلِ ضعفٌ.
“Wahai anakku, jangan malu terhadap kebenaran. Malu karena kebenaran adalah iman, sedangkan malu terhadap kebenaran adalah kelemahan.”
Artinya, jangan biarkan rasa malu menghalangi langkah menuju kebaikan. Malu yang benar mendorong kita untuk memperbaiki diri; malu yang salah membuat kita stagnan dan takut berubah.
Menumbuhkan Rasa Malu di Hati Remaja
Malu tidak muncul tiba-tiba. Ia tumbuh dari kesadaran dan latihan. Syaikh Syakir menyarankan tiga langkah sederhana untuk menumbuhkan malu:
- Kenali pandangan Allah. Sadarilah bahwa Allah selalu melihat, bahkan dalam hal-hal kecil.
- Jaga hati dan pandangan. Mata yang terjaga akan menjaga hati dari keinginan yang salah.
- Bergaul dengan orang beradab. Lingkungan yang baik menularkan rasa malu yang baik pula.
Selain itu, orang tua dan guru juga berperan penting. Mereka bukan sekadar pengajar, tetapi juga penanam nilai. Syaikh Syakir menulis, “Anak yang melihat malu pada gurunya akan meniru tanpa perlu disuruh.”
Remaja yang tumbuh dengan teladan semacam ini akan membawa rasa malu bukan sebagai beban, melainkan sebagai kemuliaan.
Malu: Cermin Kedewasaan Jiwa
Banyak orang mengira kedewasaan ditandai dengan kebebasan bertindak. Padahal, dalam pandangan Islam, kedewasaan justru diukur dari kemampuan menahan diri. Rasa malu adalah tanda bahwa hati seseorang telah matang.
Remaja yang memiliki rasa malu akan berpikir sebelum bertindak. Ia menimbang dampak ucapannya, ia memilih teman dengan hati-hati, dan ia tidak mudah tergoda pada kesenangan sesaat.
Syaikh Syakir berkata:
الحياءُ روحُ الشبابِ، فإذا ماتَ الحياءُ ماتَ الشَّبابُ في قلبِه.
“Malu adalah ruh bagi masa muda. Jika malu mati, maka matilah jiwa muda dalam dirinya.”
Kalimat itu begitu tajam namun lembut. Malu adalah pelita yang membuat masa muda tetap indah dan bermakna. Tanpa malu, remaja kehilangan arah; dengan malu, ia menemukan jalan menuju kemuliaan.
Penutup
Malu bukan sekadar perasaan—ia adalah mahkota iman yang membuat remaja tampak anggun di mata Allah dan manusia. Syaikh Muhammad Syakir Al-Iskandari mengingatkan, bahwa rasa malu bukan untuk disembunyikan, tapi untuk dijaga dan dirawat.
Dalam dunia yang kian terbuka, mari jadikan malu sebagai pelindung diri, bukan penghalang langkah. Malu membuat seseorang menunduk ketika yang lain sombong; malu membuat seseorang berhenti ketika yang lain tergelincir.
Rasulullah ﷺ bersabda:
الحياءُ لا يأتي إلا بخيرٍ
“Malu tidak mendatangkan kecuali kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka, wahai remaja, jadikanlah rasa malu sebagai sahabat setia di jalan iman. Ia akan menjaga langkahmu, menuntun hatimu, dan menumbuhkan cahaya di wajahmu. Karena sesungguhnya, malu adalah mahkota iman yang tak pernah pudar — hanya perlu dirawat dengan hati yang selalu mengingat Allah.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
