Menuntut ilmu adalah perintah agung dalam Islam. Namun, Syaikh Muhammad Syakir Al-Iskandari mengingatkan bahwa ilmu tanpa adab ibarat cahaya tanpa arah. Dalam kitabnya Washoya al-Abaa’ lil Abnaa’, beliau menulis dengan kelembutan seorang ayah kepada anaknya, menasihati agar ilmu tidak hanya dikejar untuk kehebatan logika, tetapi juga untuk kemuliaan jiwa.
Dalam era modern yang serba cepat ini, banyak orang mengagungkan pengetahuan tanpa menumbuhkan keadaban. Media sosial penuh dengan debat tanpa etika; ruang akademik pun kadang kehilangan keheningan yang melahirkan hikmah. Maka, pesan Syaikh Syakir menjadi oase: kembalilah kepada adab sebagai pintu ilmu sejati.
Sebagaimana firman Allah ﷻ:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujādilah [58]: 11)
Ayat ini menunjukkan bahwa ilmu yang benar selalu berdiri di atas fondasi iman dan adab. Tanpa adab, ilmu kehilangan derajatnya.
Adab Sebelum Ilmu: Fondasi yang Terlupakan
Dalam Washoya al-Abaa’ lil Abnaa’, Syaikh Muhammad Syakir menulis:
يا بُنَيَّ، العلمُ لا يُعْطِيكَ كُلَّهُ حتّى تُعْطِيَهُ كُلَّكَ، فإنْ أعطيتَهُ بعضَكَ لم يُعْطِكَ شيئًا.
“Wahai anakku, ilmu tidak akan memberimu seluruh dirinya sebelum engkau memberikan seluruh dirimu kepadanya. Jika engkau memberinya sebagian dirimu, maka ia tak akan memberimu apa-apa.”
Pesan ini mengandung kedalaman filosofis yang luar biasa. Syaikh Syakir mengingatkan bahwa adab dalam menuntut ilmu bukan sekadar sopan santun terhadap guru, tetapi bentuk kesungguhan jiwa untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada proses belajar.
Di era digital, banyak pelajar ingin hasil cepat tanpa melewati tahapan keikhlasan dan kesabaran. Mereka ingin output tanpa proses, ingin kemahiran tanpa kedalaman. Namun, adab mengajarkan bahwa ilmu sejati menuntut penyerahan total. Sebagaimana seorang penempuh jalan ruhani, penuntut ilmu mesti hadir dengan hati yang tunduk, bukan hanya kepala yang penuh.
Selain itu, Syaikh Syakir menekankan bahwa adab adalah bentuk syukur kepada guru dan ilmu itu sendiri. Ia menulis:
واعلمْ يا بُنَيَّ، أنَّ من شكرِ النعمةِ أنْ تُؤدِّيَ حقَّها، وإنَّ من حقِّ العلمِ أنْ تَتَأدَّبَ له.
“Ketahuilah wahai anakku, termasuk tanda syukur atas nikmat adalah menunaikan haknya. Dan di antara hak ilmu ialah engkau beradab terhadapnya.”
Kata “beradab terhadap ilmu” mencakup sikap hati, tutur kata, dan kebersihan niat. Dengan adab, ilmu menjadi cahaya yang menuntun, bukan api yang membakar kesombongan.
Meneladani Adab Para Ulama
Syaikh Syakir bukan hanya menulis pesan, tetapi juga mewarisi tradisi panjang ulama Al-Azhar yang menempatkan adab di atas kecerdasan. Beliau hidup sezaman dengan para ulama yang menjadikan majelis ilmu sebagai taman rohani, bukan arena adu argumentasi.
Dalam sejarah Islam, para ulama besar seperti Imam Malik bin Anas terkenal menyiapkan diri dengan pakaian terbaik sebelum mengajar. Bagi mereka, menghormati ilmu adalah bagian dari menghormati Allah. Imam Malik pernah berkata, “Aku tidak akan meriwayatkan hadits Nabi ﷺ kecuali dalam keadaan suci.”
Inilah refleksi dari sabda Rasulullah ﷺ:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)
Adab bukan pelengkap ilmu, tetapi jantungnya. Tanpa adab, ilmu kehilangan ruh; dengan adab, ilmu menjadi cahaya yang menembus hati.
Lebih jauh, Syaikh Syakir juga menekankan pentingnya tawadhu’ di hadapan guru. Ia menulis bahwa murid yang sombong terhadap gurunya ibarat tanah keras yang menolak hujan—tidak akan menumbuhkan apapun. Ini bukan sekadar simbolisme, tetapi realitas spiritual: hati yang keras tidak bisa menerima hikmah.
Ilmu yang Menghidupkan Jiwa
Syaikh Muhammad Syakir memandang ilmu bukan hanya kumpulan informasi, melainkan sarana penyucian jiwa. Ia menulis:
يا بُنَيَّ، لا تَجعلْ عِلمَكَ سُلَّمًا لِلدُّنْيا، فإنَّهُ يَسقُطُ مَن صَعِدَ بهَا.
“Wahai anakku, jangan jadikan ilmumu sebagai tangga dunia, karena siapa yang mendakinya akan terjatuh.”
Pesan ini begitu relevan. Banyak orang kini menggunakan ilmu sebagai alat untuk kepentingan pribadi, bukan sebagai jalan menuju kebenaran. Akibatnya, ilmu kehilangan nilai spiritualnya.
Padahal, ilmu yang sejati menumbuhkan kesadaran dan memperhalus budi. Ilmu yang hidup ialah ilmu yang membawa seseorang semakin dekat kepada Allah. Seperti firman-Nya:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah para ulama.” (QS. Fāthir [35]: 28)
Kekhusyukan dalam ayat ini lahir dari ilmu yang berakar pada adab. Tanpa adab, ilmu hanya berhenti di kepala; dengan adab, ilmu menembus hati dan menghidupkan nurani.
Relevansi di Zaman Modern
Kita hidup di zaman di mana akses terhadap ilmu begitu mudah, tetapi kehilangan keheningan belajar. Ribuan video ceramah, ribuan artikel, dan jutaan unggahan motivasi hadir setiap hari. Namun, sedikit yang menanamkan adab.
Pesan Syaikh Syakir mengingatkan bahwa kualitas ilmu bukan diukur dari banyaknya sumber, tetapi dari kedalaman sikap pencari ilmu itu sendiri. Belajar bukan hanya soal “apa yang diketahui”, tetapi juga “bagaimana kita berubah karenanya”.
Selain itu, menuntut ilmu dengan adab berarti menyadari bahwa setiap pengetahuan memiliki tanggung jawab moral. Penuntut ilmu sejati tidak berhenti pada hafalan, tetapi menjadikan ilmu sebagai sarana membangun kebaikan sosial.
Adab juga menjadi jembatan antara ilmu dan kebijaksanaan. Seseorang yang berilmu tapi tanpa adab akan mudah menyalahkan; sedangkan yang beradab akan berusaha memahami. Adab menuntun kita untuk rendah hati terhadap yang belum kita ketahui, dan menghargai perbedaan sebagai bagian dari rahmat Allah.
Menghidupkan Pesan Syaikh Syakir dalam Diri
Meneladani pesan Syaikh Muhammad Syakir berarti menumbuhkan adab dalam setiap langkah pencarian ilmu. Ia bukan sekadar nasihat moral, tetapi metode spiritual.
Pertama, mulailah belajar dengan niat ikhlas. Luruskan tujuan bahwa ilmu dicari untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan demi pujian atau status.
Kedua, hormati guru dan sumber ilmu. Di zaman modern, guru bisa berupa buku, video, atau bahkan pengalaman hidup.
Ketiga, rawat keheningan batin. Sebab ilmu sejati tumbuh dalam ketenangan, bukan kegaduhan.
Syaikh Syakir menulis:
العلمُ يَسْكُنُ في القلوبِ الهادئة، ولا يُحِبُّ القلوبَ المضطربة.
“Ilmu bersemayam di hati yang tenang, dan tidak menyukai hati yang gelisah.”
Maka, menuntut ilmu dengan adab bukan hanya soal hubungan dengan guru, tetapi juga dengan diri sendiri.
Penutup
Menuntut ilmu dengan adab adalah perjalanan batin yang tidak lekang oleh zaman. Syaikh Muhammad Syakir Al-Iskandari mengajarkan bahwa ilmu sejati tidak diukur dari banyaknya kata yang dihafal, tetapi dari akhlak yang lahir darinya.
Adab menjadikan ilmu bercahaya. Ia mengubah pengetahuan menjadi kebijaksanaan, dan menjadikan hati yang belajar tidak hanya cerdas, tetapi juga lembut.
Dalam keheningan majelis ilmu, di antara pena dan doa, pesan Syaikh Syakir terus bergaung:
يا بُنَيَّ، كُنْ طالبَ علمٍ بأدبٍ، فإنَّ الأدبَ عِلمٌ، والعِلمَ أدبٌ.
“Wahai anakku, jadilah penuntut ilmu dengan adab, karena adab itu sendiri adalah ilmu, dan ilmu adalah adab.”
Semoga kita semua menjadi penuntut ilmu yang tidak hanya memahami huruf, tetapi juga menyelami makna — karena di sanalah letak kemuliaan sejati.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
