Khazanah
Beranda » Berita » Simak ibn Kharasyah : Sahabat Bersurban Merah Menghunus Pedang Rasulullah

Simak ibn Kharasyah : Sahabat Bersurban Merah Menghunus Pedang Rasulullah

Simak ibn Kharasyah : Sahabat Bersurban Merah Menghunus Pedang Rasulullah
Ilustrasi sahabat turut mengangkat pedang untuk membela Islam.

SURAU.CO-Simak ibn Kharasyah adalah sahabat Nabi dari kalangan Anshar, yang berasal dari kabilah Khazraj, keturunan Bani Saidah. Ia masih berkerabat dengan Sa‘d ibn Ubadah. Biasanya mereka memanggilnya dengan nama Abu Dujanah. Ia menjadi sosok pahlawan yang  terkenal dan mahsyur dari suku Khazraj. Ia memiliki sehelai surban merah yang selalu ia pakai ketika berperang. Jika ia terlihat sudah mengenakan surban itu, semua orang tahu bahwa ia akan berangkat menuju medan perang.

Hak pedang Rasulullah

Imam Abu Ja‘far al-Thabari meriwayatkan dari Hisyam ibn Urwah dari ayahnya dari Zubair bahwa di Perang Uhud Rasulullah saw. menawarkan pedangnya, “Siapa yang sanggup memegang pedang ini dan menunaikan haknya?” Zubair berdiri dan menjawab, “Aku, wahai Rasulullah.”

Tetapi, beliau tidak menghiraukannya. Kemudian beliau bersabda lagi, “Siapa yang sanggup memegang pedang ini dan menunaikan haknya?”

Zubair kembali berdiri dan menjawab, “Aku, wahai Rasulullah.” Lagi-lagi, beliau tidak menghiraukannya. Beliau bersabda lagi, “Siapakah yang sanggup memegang pedang ini dan menunaikan haknya?”

Tiba-tiba Abu Dujanah berdiri dan menjawab, “Aku yang akan memegang pedang itu dan menunaikan haknya. Namun, apakah hak pedang itu, wahai Rasulullah?”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Beliau bersabda, “Haknya adalah jangan membunuh seorang muslim pun; jangan menghindar dari orang kafir.” Kemudian beliau berpesan agar mempertahankan pedang itu sampai titik darah penghabisan.

Ayunan pedang Abu Dujanah

Abu Dujanah memegang teguh pedang itu dengan keimanan dan keyakinan yang mendalam bahwa ia tidak akan melepaskannya. Ia keluarkan sehelai kain berwarna merah yang kemudian diikatkan ke kepalanya. Orang-orang yang melihatnya berkata, “Abu Dujanah telah mengenakan ikatan maut.”

Dalam perang itu surban merahnya berkelebatan mengikuti ayunan tubuhnya menerjang musuh.

Dari tengah-tengah pasukan Quraisy, tampak Hindun bini Utbah yang meringis menahan pedih. Ia sedih melihat pasukan Quraisy yang mundur dan lari terbirit-birit. Ia berusaha membangkitkan semangat pasukannya. Ia melangkah dengan gagah berani lalu meneriakkan kata-kata yang menggelorakan semangat:

Hai anak-anak Abdul Barr. Celakalah kalian jika mundur saat ini! Celakalah kalian jika memilih kabur meninggalkan medan laga! Ayo, seranglah dengan seluruh senjata dan keberanian kalian! Jika kalian maju saat ini, kalian akan mendapatkan kemenangan Kalian akan dapatkan kebahagiaan dan kemuliaan sebagai laki-laki Jika kalian mundur dan menghindar, kalian akan terhina selamanya Kalian akan hancur, dan musnah, tak lagi punya harga sebagai manusia

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Melepaskan Hindun dari ayunan pedang

Hindun terus bergerak menyeru pasukannya untuk melanjutkan peperangan. Tidak cukup dengan itu, ia mengambil sebuah baju zirah milik pasukan Quraisy yang terbunuh lalu mengenakannya. Ia ambil sebilah pedang yang tergeletak di tanah dan segala perlengkapan perang lainnya.

Kini, wanita itu tak lagi terlihat sebagai wanita. Ia bagaikan seorang pasukan laki-laki yang gagah berani. Ia terus bergerak ke sana ke mari sambil menggerak-gerakkan pedangnya menggelorakan semangat pasukan. Abu Dujanah melihat di antara pasukan musuh seorang laki-laki yang terus bergerak aktif membangkitkan semangat pasukannya. Laki-laki itu tampak sangat lincah bergerak ke sana kemari.

Abu Dujanah merangsek maju hendak menyerang laki-laki itu. Ia terus merangsek dan akhirnya dapat mendekatinya. Saat ia hendak mengayunkan pedangnya untuk membabat lehernya, tiba-tiba prajurit musuh itu membungkuk dan bersujud meminta ampun. Abu Dujanah menurunkan pedangnya. Ia tidak membunuh seseorang yang bersujud meminta ampun. Terlebih lagi, saat tentara itu membuka pelindung kepalanya, ternyata ia seorang perempuan.

Abu Dujanah membiarkannya pergi seraya berkata,

“Aku menghargai pedang Rasulullah saw. Aku tak mau pedang yang mulia ini dinodai darah seorang wanita.”

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Hindun segera melepaskan pakaian perangnya dan kabur meninggalkan Abu Dujanah. Ia bergabung dengan kaum wanita lainnya yang berlari di belakang pasukan Quraisy.

Makna surban merah

Abu Dujanah memang lelaki pemberani. Siapa pun tahu, jika ia sudah memakai surban merahnya, berarti ia telah siap berperang dan mengorbankan nyawanya. Karena mendapatkan pedang dari Rasulullah, berarti ia memegang dua pedang untuk berperang.

Setelah menerima pedang dari Rasulullah saw., ia langsung mengambil surban merahnya dan diikatkan di kepalanya. Tanpa ragu dan gentar, Abu Dujanah berjalan tegap dan berdiri di tengah-tengah dua barisan tentara.

Cara berjalan Abu Dujanah

Muhammad ibn Ishaq meriwayatkan dari Ja‘far ibn Abdullah ibn Aslam maula Umar ibn Khattab bahwa seorang laki-laki Anshar asal Bani Salamah menuturkan bahwa ketika melihat Abu Dujanah berjalan dengan gagah, Rasulullah saw. bersabda,

“Itu adalah cara berjalan yang dibenci oleh Allah kecuali di tempat ini.”

Akhirnya, pertempuran hebat pun berkecamuk. Pasukan Muslim yang lain pun bertarung dengan hebat sehingga mereka dapat mendesak kaum musyrik dan memorak-porandakan barisan mereka. Kemenangan segera diraih kaum muslim andai saja pasukan pemanah tidak meninggalkan posisi mereka di puncak bukit. Pasukan pelindung itu menuruni bukit dan mengumpulkan rampasan perang yang ditinggalkan musuh. Padahal, Nabi saw. telah memerintahkan mereka tidak meninggalkan tempat itu, apa pun yang terjadi.

Situasi berubah pada perang Uhud

Situasi berbalik, dan pasukan musyrik berada di atas angin. Bahkan, Rasulullah saw. terluka di beberapa bagian tubuhnya. Bibir beliau sobek, begitu juga dahi, dan pahanya. Salah seorang musyrik yang melukai Rasulullah adalah Ibn Qami’ah dan Utbah ibn Abu Waqqash.

Rasulullah saw. bersabda, “Bagaimana akan berbahagia orang yang telah membasahi wajah nabi mereka dengan darah, sedangkan ia hanya mengajak ke jalan Allah?”

Allah menurunkan firman-Nya:

Menjadi perisai hidup Rasulullah

Melihat kejadian itu, Abu Dujanah berlari mendekati Rasulullah dan membentengi beliau dengan tubuhnya meskipun ia sendiri terluka di punggung terkena anak panah musuh. Ia membuktikan, cintanya kepada Rasulullah saw. melebihi cintanya kepada dirinya dan siapa pun. Rasa ingin melindungi Rasulullah melebihi rasa sakitnya sendiri.

Dulu, di Perang Badar, Abu Dujanah menunjukkan keberanian dan semangat perang yang luar biasa sehingga tak sedikit pasukan musyrik yang tumbang berkalang tanah di tangannya. Kini, di Perang Uhud, keberanian yang ditunjukkannya menjadi momen paling penting dalam hidupnya. Dalam keadaan tubuh yang terluka pun ia tetap berupaya melindungi Rasulullah saw. Ia jadikan tubuhnya sebagai perisai bagi beliau.

Mencuci pedang Rasulullah

Abu Ja‘far al-Thabari menuturkan bahwa setibanya di rumah, Rasulullah saw. menyerahkan pedang beliau kepada putrinya, Fatimah, “Bersihkan pedang ini dari darah, hai putriku.”

Ali juga meminta istrinya untuk membersihkan pedangnya, “Pedang ini juga bersihkan. Demi Allah, benar sekali apa yang dikatakan Rasulullah saw. kepadaku pada hari itu, ‘Jika kau benar dalam berperang, niscaya Sahl ibn Hanif dan Abu Dujanah Simak ibn Kharasyah juga benar-benar berperang bersamamu.’”

Gugur di Perang Yamamah

Pada masa Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq, Abu Dujanah ikut berangkat bersama pasukan Khalid ibn al-Walid ke Yamamah untuk memerangi Musailamah al-Kadzab. Selain Abu Dujanah, ada beberapa sahabat terkemuka yang bergabung dalam pasukan itu, seperti Abdullah ibn Umar, Zaid ibn al-Khattab, Abu Khudzaifah ibn Utbah, Salim maula Abu Khudzaifah, al-Barra ibn Malik, Tsabit ibn Qais, Wahsyi ibn Harb, Nusaibah al-Maziniyah (ibunda Umarah) bersama putranya Abdullah ibn Zaid.

Saat Perang Yamamah berkecamuk, Wahsyi memasuki kebun kematian, tempat persembunyian Musailamah, dengan mengendap-endap. Musailamah terpojok karena pasukan dan para pembantu setianya berjatuhan didesak pasukan Muslim. Tak ada lagi pasukan yang melindungi dan membentengi dirinya. Saat itulah Wahsyi melemparkan tombaknya, tepat menembus jantung Musailamah. Ketika tubuh Musailamah limbung akibat lemparan tombak, Abdullah ibn Zaid dan Abu Dujanah meloncat berlomba-lomba membunuhnya. Tak seorang pun yang tahu siapa yang lebih dahulu membunuh Musailamah. Dalam peperangan itu gugur beberapa sahabat besar, termasuk di antaranya Abu Dujanah. (St.Diyar)

Referensi:Muhammad Raji Hasan Kinas, Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi, 2012


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement