Lisan merupakan sebuah anugerah yang dibekali oleh Allah kepada setiap umat manusia. Sebuah anugerah yang kecil secara fisik, tetapi besar pengaruhnya. Ia bisa menjadi sumber kebaikan yang menyelamatkan, namun juga dapat berubah menjadi senjata yang menghancurkan. Dalam khasanah Islam, para ulama sering menekankan pentingnya menjaga lisan. Salah satu yang memberi perhatian serius adalah Syaikh Muhammad Syakir al-Iskandari melalui kitabnya Washoya al-Abaa’ lil Abnaa’, sebuah kumpulan wasiat ayah kepada anak-anaknya agar mereka tumbuh dalam kebaikan.
Kitab ini menegaskan bahwa lidah yang tidak terjaga dapat menjerumuskan pemiliknya ke dalam dosa besar, bahkan lebih dalam daripada perbuatan tangan atau kaki. Karena itu, menjaga ucapan bukan hanya adab sosial, melainkan cermin keimanan. Allah Ta’ala mengingatkan dalam Al-Qur’an:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu kata pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18)
Ayat ini menunjukkan bahwa setiap kata yang keluar dari mulut manusia tercatat, baik bermanfaat maupun merugikan. Maka, tidak ada pilihan lain selain mengendalikan lisan dengan penuh kesadaran.
Wasiat tentang Lisan dalam Kitab Washoya al-Abaa’ lil Abnaa’
Syaikh Muhammad Syakir al-Iskandari menulis dengan penuh kasih sayang kepada anak-anaknya, agar mereka tumbuh sebagai hamba Allah yang mulia. Beliau berpesan:
“وَاحْفَظْ لِسَانَكَ أَيُّهَا الْوَلَدُ فَإِنَّهُ صَغِيرُ الْجِرْمِ عَظِيمُ الْجُرْمِ”
“Jagalah lisanmu, wahai anakku, karena ia kecil bentuknya tetapi besar dosanya.”
Pesan ini sederhana tetapi mendalam. Lisan memang ringan bergerak, tetapi dampaknya bisa lebih berat daripada pedang. Fitnah, ghibah, ucapan kotor, dan dusta adalah contoh nyata bagaimana lidah bisa menghancurkan kehidupan sosial maupun spiritual seseorang. Sebaliknya, dengan lisan yang terjaga, seorang hamba bisa mendekatkan diri kepada Allah melalui doa, dzikir, shalat, dan nasihat kebaikan.
Lisan: Jalan Menuju Surga atau Neraka
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari & Muslim)
Hadits ini memberikan standar emas dalam berbicara: jika ucapan membawa manfaat, ucapkanlah; jika tidak, lebih baik diam. Diam dalam konteks ini bukan berarti pasif, melainkan sikap bijak yang mencegah munculnya keburukan.
Banyak orang terjerumus ke dalam neraka bukan karena perbuatannya yang besar, tetapi karena ucapannya yang dianggap sepele. Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ”
“Bukankah manusia akan dilemparkan ke neraka di atas wajah-wajah mereka, kecuali karena hasil dari ucapan lisan mereka?” (HR. Tirmidzi)
Hadits ini mengingatkan bahwa lisan bisa menjadi penghalang menuju surga atau jembatan menuju neraka. Karena itu, membiasakan diri berbicara baik adalah bentuk penjagaan diri sekaligus amal saleh yang abadi.
Ucapan yang Mengangkat Kehidupan
Menjaga lisan bukan hanya soal menahan diri dari keburukan, tetapi juga aktif menggunakan lidah untuk menyebarkan kebaikan. Ucapan yang baik bisa menjadi energi positif yang mengangkat kehidupan seseorang maupun masyarakat.
Pertama, kata-kata penuh kasih sayang dalam keluarga dapat menenangkan hati anak, pasangan, atau orang tua. Lisan yang lembut mampu meredakan konflik dan memperkuat ikatan kasih sayang.
Kedua, ucapan nasihat yang tulus dapat membimbing sahabat atau masyarakat menuju jalan kebaikan. Bahkan, sebuah kata bisa mengubah arah hidup seseorang. Tidak heran Rasulullah ﷺ menggambarkan kata-kata baik sebagai sedekah:
“وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ”
“Ucapan yang baik adalah sedekah.” (HR. Bukhari & Muslim)
Dengan demikian, lisan yang digunakan dengan benar tidak hanya menjaga pemiliknya dari dosa, tetapi juga menjadi ladang pahala yang terus mengalir.
Lisan yang Menjatuhkan Martabat
Namun sebaliknya, lidah yang tidak dijaga bisa menghancurkan martabat. Ghibah, fitnah, dan kata-kata kasar dapat merusak kehormatan orang lain sekaligus menghapus kebaikan diri sendiri.
Allah Ta’ala mengingatkan tentang buruknya ghibah dalam Al-Qur’an:
وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (QS. Al-Hujurat: 12)
Ayat ini menegaskan bahwa ghibah bukan sekadar kesalahan kecil, melainkan perbuatan menjijikkan yang menyerupai kanibalisme. Maka, seorang muslim yang menjaga lisannya tidak akan membiarkan kata-kata buruk keluar dari mulutnya.
Menjaga Lisan dalam Kehidupan Modern
Di era digital, menjaga lisan tidak hanya berlaku untuk ucapan verbal, tetapi juga tulisan di media sosial. Status, komentar, atau pesan singkat adalah bentuk lain dari lisan yang juga dicatat oleh malaikat.
Banyak kasus perpecahan, kebencian, bahkan permusuhan bermula dari komentar yang salah kaprah. Karena itu, pesan Syaikh Muhammad Syakir al-Iskandari dalam Washoya al-Abaa’ lil Abnaa’ semakin relevan. Wasiat ini seakan mengingatkan kita: sebelum jari menekan tombol kirim, pikirkanlah dampak dari setiap kata.
Strategi Praktis Menjaga Lisan
Untuk mengendalikan lisan, ada beberapa langkah praktis yang bisa dilakukan:
- Banyak berdzikir – Dengan mengisi lisan dengan kalimat thayyibah, seperti subhanallah atau alhamdulillah, kita otomatis menjauhkan diri dari kata-kata sia-sia.
- Berlatih diam – Tidak semua situasi perlu komentar. Menahan diri adalah bagian dari kecerdasan spiritual.
- Evaluasi diri setiap hari – Muhasabah terhadap ucapan yang terlanjur keluar dapat menjadi kontrol agar lebih hati-hati di kemudian hari.
- Berkumpul dengan orang baik – Lingkungan yang positif akan mempengaruhi ucapan kita menjadi lebih baik dan bermanfaat.
Penutup
Lidah memang kecil, tetapi ia mampu membuka jalan menuju ridha Allah atau murka-Nya. Wasiat Syaikh Muhammad Syakir al-Iskandari dalam Washoya al-Abaa’ lil Abnaa’ adalah pesan abadi bagi generasi demi generasi: jagalah lisan, karena darinya nasib kehidupan dan akhirat kita ditentukan.
Kata yang baik adalah doa, sedekah, dan cahaya. Kata yang buruk adalah racun, duri, dan gelap gulita. Maka, marilah kita jadikan lisan sebagai wasilah kebaikan yang menyatukan hati, menebarkan kasih sayang, dan meninggikan derajat di sisi Allah.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
