SURAU.CO – Pengajian Selapanan merupakan tradisi keagamaan kuat. Kegiatan ini rutin berlangsung di banyak masyarakat desa Nusantara. Istilah “selapanan” berasal dari kata selapan. Kata ini merujuk pada interval waktu 35 hari. Interval waktu ini sama dengan satu siklus penuh penanggalan Jawa (pasaran). Oleh karena itu, tradisi pengajian ini berlangsung setiap 35 hari sekali. Pengajian Selapanan melampaui sekadar ritual keagamaan. Ia memiliki fungsi sosial sangat vital. Rutinitas ini menjadi sarana penting mempererat ikatan. Ia juga menjadi wadah pendidikan moral masyarakat.
Mekanisme dan Pelaksanaan Tradisi Selapanan
Pengajian Selapanan biasanya diadakan secara bergilir. Pelaksanaannya berpindah dari satu rumah ke rumah warga lain. Di samping itu, tempat penyelenggaraan bisa juga dilakukan di masjid atau musala. Waktu pelaksanaannya seringkali jatuh pada malam hari. Malam hari dipilih setelah shalat Isya. Semua warga desa, baik laki-laki maupun perempuan, biasanya berpartisipasi aktif.
Secara umum, materi pengajian berfokus pada kitab-kitab kuning. Kitab-kitab klasik berbahasa Arab pegon menjadi pilihan utama. Namun, materi bisa juga berupa kajian tematik. Topik ini menyangkut isu-isu sosial dan fikih keseharian. Selanjutnya, seorang tokoh agama atau Kiai memimpin kegiatan ini. Warga desa mendengarkan ceramah dan berdiskusi bersama. Tentu saja, sesi tanya jawab selalu membuka kesempatan interaksi.
Ritual dan Simbolisme
Tradisi Selapanan selalu mengandung ritual khas. Sebagai permulaan, acara biasanya diawali pembacaan ratib atau shalawat. Pembacaan doa bersama ini menciptakan suasana khusyuk. Setelah itu, inti pengajian akan dimulai. Akhirnya, kegiatan ditutup dengan doa penutup. Doa penutup bertujuan memohon berkah.
Selain itu, tradisi Selapanan tidak lengkap tanpa hidangan. Warga desa selalu menyajikan hidangan bersama. Makanan dan minuman menjadi simbol kebersamaan. Hidangan ini menunjukkan adanya rasa syukur. Dengan demikian, kegiatan ini memperkuat semangat berbagi antarwarga.
Fungsi Sosial yang Mengikat Komunitas Desa
Pengajian Selapanan memiliki peran signifikan. Ia melayani beberapa fungsi sosial mendasar. Fungsi-fungsi ini penting bagi keberlanjutan dan keharmonisan desa.
1. Memperkuat Ukhuwah Islamiyah dan Solidaritas
Tradisi Selapanan menjadi ruang pertemuan wajib. Semua warga desa bertemu tanpa memandang status. Jelaslah, kegiatan rutin ini memperkuat ukhuwah islamiyah. Rasa persaudaraan dan kebersamaan menjadi semakin erat. Oleh karena itu, ia menciptakan ikatan sosial kuat. Warga desa merasa menjadi bagian dari satu kesatuan utuh. Pada akhirnya, solidaritas komunitas desa akan terjaga baik.
2. Pendidikan Moral dan Transfer Nilai
Pengajian ini bertindak sebagai pusat pendidikan moral. Kiai atau tokoh agama menyampaikan ajaran Islam. Mereka menekankan nilai-nilai moral dan etika sosial. Secara khusus, mereka membahas tentang kejujuran, gotong royong, dan toleransi. Lalu, nilai-nilai kebaikan ini ditransfer secara lisan. Dengan demikian, tradisi ini membantu membentuk karakter warga desa. Masyarakat desa memegang teguh norma agama dan adat.
3. Kontrol Sosial Informal
Selapanan juga berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial informal. Pertemuan rutin ini memungkinkan interaksi intens. Tokoh agama dapat mengoreksi perilaku menyimpang. Mereka melakukannya melalui nasihat yang lembut. Maka dari itu, teguran tidak terasa menggurui. Selain itu, adanya pengawasan sosial dari sesama warga mendorong kepatuhan. Kepatuhan terhadap norma dan nilai di masyarakat akan meningkat.
4. Pembentukan Modal Sosial
Kepercayaan, norma, dan jaringan sosial terbentuk melalui Selapanan. Ketiga unsur ini merupakan inti dari modal sosial. Sebab, kepercayaan antarwarga terbangun secara konsisten. Jaringan sosial ini sangat berguna. Ia membantu ketika ada krisis atau keperluan mendesak. Misalnya, warga saling membantu saat panen atau ada musibah. Oleh karena itu, pengajian Selapanan meningkatkan daya tahan komunitas.
Kontinuitas dan Peran Selapanan dalam Modernitas
Meskipun modernitas terus berkembang, tradisi Selapanan tetap bertahan. Masyarakat desa masih menjunjung tinggi nilai-nilai ini. Tentu saja, pelaksanaannya bisa saja mengalami penyesuaian. Namun demikian, fungsi utamanya tidak berubah. Ia tetap menjadi pilar utama identitas keagamaan.
Pengajian Selapanan menunjukkan kearifan lokal. Jelaslah, tradisi ini berhasil menyelaraskan ibadah dengan kehidupan sosial. Ia menjadi model yang efektif. Model ini menunjukkan bagaimana agama dapat membangun komunitas kokoh. Dengan demikian, pengajian Selapanan terus memperkaya khazanah budaya Islam di Nusantara.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
