Khazanah
Beranda » Berita » Antara Emas dan Debu: Menempa Sifat-Sifat Mulia

Antara Emas dan Debu: Menempa Sifat-Sifat Mulia

ilustrasi pandai besi menempanya logam sebagai simbol latihan jiwa dan penyempurnaan akhlak
Seorang pandai besi menempanya logam hingga berkilau, simbol proses jiwa yang melewati ujian untuk mencapai kemuliaan.

Surau.co. Setiap manusia membawa dua unsur di dalam dirinya: emas dan debu. Emas melambangkan potensi kebajikan—cahaya akal yang menuntun hati menuju kebenaran. Debu menggambarkan sisi rendah: hawa nafsu yang mengikat manusia pada dunia dan kesenangan sesaat. Ibn Miskawayh, dalam Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq, menjelaskan bahwa tugas manusia adalah menempa dirinya sendiri, memisahkan emas dari debu melalui latihan, kebiasaan, dan penyucian jiwa yang berkelanjutan.

Penyempurnaan akhlak bukan sekadar mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Ia adalah seni menata jiwa, agar cahaya akal mampu menembus kabut hawa nafsu. Seperti pandai besi yang menempa logam dengan sabar, manusia pun perlu menempa dirinya melalui perbuatan baik yang diulang terus-menerus, hingga kebajikan menjadi watak yang melekat.

Ketika Hati Menjadi Cermin

Setiap kali seseorang berbuat, ia sedang menggoreskan sesuatu pada permukaan hatinya. Ibn Miskawayh menggambarkan hati sebagai cermin yang mampu memantulkan kebenaran bila dibersihkan dari debu keburukan. Ia berkata:

إِذَا كَانَتِ النَّفْسُ صَافِيَةً نَقِيَّةً ظَهَرَتْ فِيهَا صُوَرُ الْحَقَائِقِ كَمَا تَظْهَرُ الصُّوَرُ فِي الْمِرْآةِ النَّقِيَّةِ
“Apabila jiwa itu jernih dan bersih, maka gambaran hakikat akan tampak di dalamnya, sebagaimana bayangan tampak di cermin yang bening.”

Namun, banyak manusia membiarkan cermin hatinya tertutup debu: amarah, iri, cinta dunia, dan kesombongan. Akibatnya, ia tak lagi melihat kebenaran sebagaimana adanya. Dunia tampak buram—bukan karena cahaya yang redup, melainkan karena hati yang tertutup kotoran.

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Menjernihkan hati memerlukan ketekunan, bukan keajaiban. Setiap kali kita menahan diri dari keburukan, kita sesungguhnya sedang mengikis debu yang menutupi hati. Seiring waktu, permukaan itu kembali bening, dan kebenaran pun tampak sebagaimana mestinya.

Kebiasaan Baik Adalah Guru yang Lembut

Dalam Tahdhīb al-Akhlāq, Miskawayh menegaskan bahwa manusia dapat membentuk tabiatnya melalui kebiasaan. Tak ada watak yang benar-benar beku. Bahkan jiwa yang keras pun bisa melunak bila terus dilatih untuk berbuat baik. Ia menulis:

إِنَّ الأَخْلَاقَ لَا تُغَيِّرُهَا الْمَعْرِفَةُ فَقَطْ، وَلَكِنْ يُغَيِّرُهَا التَّمَرُّنُ وَالْمُدَاوَمَةُ عَلَى الْفِعْلِ الْفَاضِلِ
“Akhlak tidak berubah hanya dengan pengetahuan, melainkan dengan latihan dan kebiasaan dalam melakukan perbuatan yang baik.”

Kebajikan bukan teori di kepala, melainkan kebiasaan yang tumbuh di hati. Orang dermawan tidak menjadi dermawan karena tahu arti memberi, tetapi karena ia terbiasa memberi meski sedikit. Orang sabar bukan berarti tak punya amarah; ia hanya belajar mengatur amarah agar tidak menelan akalnya.

Kebiasaan adalah guru yang lembut. Ia tidak berteriak, tidak memaksa, hanya mengulang pelajaran yang sama hingga jiwa mencintai kebaikan.

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Keteguhan Hati di Tengah Badai Dunia

Dalam keseharian, manusia sering terjebak dalam hiruk-pikuk urusan dunia. Rezeki, status sosial, dan pengakuan menjadi ajang perebutan yang membuat jiwa lelah. Ibn Miskawayh mengingatkan bahwa ketenangan sejati lahir dari keseimbangan antara akal dan nafsu.

مَنْ غَلَبَ عَقْلُهُ شَهْوَتَهُ كَانَ مَلَكًا، وَمَنْ غَلَبَتْ شَهْوَتُهُ عَقْلَهُ كَانَ بَهِيمَةً
“Barang siapa akalnya mengalahkan nafsunya, ia seperti malaikat; dan siapa yang nafsunya mengalahkan akalnya, ia seperti hewan.”

Jalan menuju kemuliaan tidak menuntut kita mematikan nafsu, melainkan menundukkannya dengan akal. Seperti kuda yang kuat, nafsu bisa menjadi kendaraan menuju kebajikan bila diarahkan dengan benar. Namun, jika dibiarkan liar, ia akan menjatuhkan penunggangnya ke jurang kehancuran.

Karena itu, perjalanan spiritual bukan pengasingan dari dunia, tetapi penyucian cara kita memandangnya. Dunia tidak jahat; ia sekadar cermin yang menguji kejernihan hati. Api ujian bisa melebur atau memurnikan, tergantung bagaimana kita menapaki panasnya.

Jiwa yang Terlatih Menjadi Cahaya bagi Sekitar

Ketika jiwa telah ditempa, kebajikan tidak lagi terasa berat. Ia mengalir alami, seperti air yang menuruni lereng. Ibn Miskawayh menjelaskan bahwa manusia berakhlak baik tidak berbuat karena kewajiban, tetapi karena cinta kepada kebaikan itu sendiri.

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

مَنْ صَارَتِ الأَفْعَالُ الْفَاضِلَةُ لَهُ سَجِيَّةً فَهُوَ السَّعِيدُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
“Barang siapa perbuatan baik telah menjadi tabiatnya, dialah orang yang bahagia di dunia dan akhirat.”

Kebahagiaan sejati tumbuh dari keselarasan batin—ketika akal, hati, dan tindakan berjalan seirama. Jiwa seperti itu tidak hanya menenangkan dirinya, tetapi juga meneduhkan sekitarnya. Ia seperti lampu yang menyala tanpa disuruh, menerangi ruang tanpa kehilangan cahayanya sendiri.

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)

Hadis ini menggema dalam pandangan Miskawayh: puncak kemanusiaan ada pada kesempurnaan akhlak. Ilmu, ibadah, dan amal hanya bermakna sejauh mampu menumbuhkan kemuliaan di hati.

Menempa Diri di Tengah Dunia yang Bising

Zaman modern membuat manusia mudah kehilangan pusat. Informasi deras, keinginan tak bertepi. Dalam kebisingan ini, Miskawayh mengajak kita kembali ke latihan batin—mengasah kebijaksanaan, menahan gejolak, dan menyucikan niat.

Proses itu tidak hanya membentuk individu, tetapi juga memperhalus masyarakat. Ketika setiap orang menempanya diri, dunia ikut berubah. Kelembutan menggantikan amarah, empati menumbuhkan persaudaraan.

Menempa sifat mulia berarti mengembalikan manusia kepada hakikatnya: makhluk yang mengenal arah, memahami batas, dan menghormati kehidupan.

Refleksi: Dari Debu Menuju Emas

Tidak ada jiwa yang lahir sempurna. Setiap manusia membawa debu di dalam dirinya. Namun, sebagaimana emas hanya muncul setelah dibakar, begitu pula kebajikan tumbuh setelah jiwa melewati ujian.

Miskawayh tidak mengajarkan kesempurnaan yang kaku, melainkan perjalanan yang sadar. Setiap langkah menuju kejujuran, setiap penahanan diri dari keburukan, adalah detik-detik penempaan yang memuliakan hati.

Pada akhirnya, di antara emas dan debu, manusia diberi kebebasan memilih: apakah ia ingin menjadi cermin yang memantulkan cahaya, atau debu yang menutupi sinarnya sendiri.

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement