Surau.co. Ada kuda liar dalam diri setiap manusia—ia berlari cepat, penuh tenaga, namun tanpa arah. Begitulah jiwa yang belum ditempa: penuh keinginan, tetapi belum mengenal tujuan. Ibn Miskawayh, dalam Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq, menegaskan bahwa akhlak mulia tidak turun begitu saja dari langit. Ia lahir dari latihan panjang, kebiasaan yang tekun, serta kesabaran menundukkan kuda jiwa agar berjalan di jalan kebajikan.
Kita sering mengira akhlak adalah bawaan sejak lahir: ada yang sabar, ada yang mudah marah. Namun, Miskawayh menolak pandangan itu. Menurutnya, akhlak bukan takdir yang beku, melainkan hasil pembiasaan yang sadar. Jiwa manusia bisa berubah selama ia mau mendengar suara akalnya dan mengendalikan gejolak nafsunya.
Setiap Jiwa Bisa Ditempa
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar seseorang berkata, “Aku memang begini dari dulu.” Ucapan itu terdengar biasa, tetapi sesungguhnya menyimpan rasa menyerah terhadap potensi perubahan. Ibn Miskawayh membantahnya secara tegas. Ia berkata:
إِنَّ الأَخْلَاقَ تُكْتَسَبُ بِالتَّعَلُّمِ وَالتَّدَرُّبِ، كَمَا تُكْتَسَبُ الصَّنَائِعُ بِالْمُمَارَسَةِ
“Sesungguhnya akhlak diperoleh melalui belajar dan latihan, sebagaimana keterampilan diperoleh melalui kebiasaan.”
Akal dan kehendak adalah dua sayap yang dapat mengangkat manusia menuju kesempurnaan. Bila keduanya bekerja seimbang, jiwa mampu menundukkan dorongan liar yang bergejolak di dalam diri. Sebaliknya, bila salah satu lumpuh—akal lemah atau kehendak malas—jiwa akan jatuh ke dalam keburukan.
Miskawayh mengibaratkan latihan akhlak seperti membentuk tubuh. Satu kali usaha tidak cukup; ia memerlukan pengulangan. Ia menulis:
لَا يَصْلُحُ النَّفْسُ إِلَّا بِتَكْرَارِ الأَفْعَالِ الصَّالِحَةِ حَتَّى تُصْبِحَ سَجِيَّةً
“Jiwa tidak akan menjadi baik kecuali dengan mengulang-ulang perbuatan baik hingga menjadi kebiasaan.”
Dengan demikian, kebiasaan mulia tidak tumbuh dari keajaiban, melainkan dari kesetiaan terhadap kebaikan kecil yang dilakukan terus-menerus.
Latihan yang Mengubah Wajah Jiwa
Di era serba cepat ini, manusia menginginkan hasil instan—termasuk dalam urusan hati. Akan tetapi, jiwa tidak bisa tumbuh secepat layar ponsel bergulir. Ia hanya berkembang lewat kesabaran dan disiplin.
Menurut Miskawayh, perubahan akhlak adalah proses penyucian. Jiwa harus dibersihkan dari karat yang menutupi cermin hati agar cahaya kebenaran dapat memantul jernih. Ia menulis:
تَطْهِيرُ النَّفْسِ هُوَ إِزَالَةُ الأَدْرَانِ الَّتِي تَمْنَعُهَا مِنَ الإِدْرَاكِ الصَّحِيحِ
“Penyucian jiwa ialah menghilangkan kotoran yang menghalanginya dari pengenalan yang benar.”
Perjuangan ini bukan ritual lahiriah semata, tetapi pertempuran batin. Seseorang mungkin tampak diam, namun di dalam dirinya sedang berlangsung pertarungan antara keinginan dan kebijaksanaan.
Oleh sebab itu, satu-satunya cara untuk menang adalah dengan melatih kesadaran dalam setiap tindakan kecil: menahan lidah saat ingin membalas, tersenyum ketika hati berat, memberi saat sedang kekurangan. Setiap gerak kecil yang diulang dengan niat murni akan menjadi pijakan bagi perubahan besar.
Ketenangan yang Lahir dari Disiplin
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ وَإِنَّمَا الْحِلْمُ بِالتَّحَلُّمِ
“Sesungguhnya ilmu diperoleh dengan belajar, dan kesabaran diperoleh dengan melatih diri bersabar.” (HR. Bukhari)
Hadis ini sejalan dengan pemikiran Miskawayh: kebajikan lahir dari latihan yang konsisten, bukan keajaiban sesaat. Seseorang menjadi penyabar bukan karena dilahirkan tenang, tetapi karena ia terus memilih untuk tidak dikuasai amarah.
Dalam latihan itu, akal berfungsi sebagai penuntun arah. Akal tidak memaksa, tetapi mengingatkan dengan lembut. Saat hati hendak marah, akal menimbang akibatnya. Ketika nafsu ingin berlebihan, akal menuntun untuk kembali pada keseimbangan. Dengan begitu, manusia dapat mencapai ketenangan—bukan karena jiwanya tanpa gejolak, melainkan karena ia mampu menunggangi kudanya sendiri.
Akhlak: Bunga yang Tumbuh dari Jiwa yang Disiram
Bagi Ibn Miskawayh, akhlak bukan lapisan luar yang bisa dipoles dalam semalam. Ia menyerupai bunga yang tumbuh perlahan, disiram oleh niat, dan dipupuk oleh pengalaman. Jika jiwa mengering, bunga itu layu. Namun bila jiwa terjaga, akhlak mekar dengan wangi yang menenangkan siapa pun di sekitarnya.
Al-Qur’an menegaskan:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9–10)
Penyucian jiwa bukan hanya menghapus dosa, tetapi juga mengasah diri hingga cemerlang. Akhlak yang baik membuat langkah manusia terasa ringan karena ia tidak lagi digiring oleh amarah atau keserakahan.
Selain itu, ketika seseorang menata jiwanya, lingkungan di sekitarnya pun ikut berubah. Rumah menjadi lebih hangat, pekerjaan lebih bermakna, dan kelelahan pun terasa sebagai ibadah. Semua itu adalah buah dari latihan yang memuliakan hati.
Jalan Panjang Menuju Ketenangan
Perubahan akhlak merupakan perjalanan panjang yang tidak berhenti di dunia. Ibn Miskawayh menggambarkannya sebagai pendakian spiritual: semakin tinggi seseorang mendaki, semakin halus udara yang ia hirup, semakin ringan beban dunia yang ia tinggalkan.
Ia menulis:
مَنْ لَزِمَ التَّهْذِيبَ بَلَغَ سَعَادَةَ النَّفْسِ وَأَنِسَ بِالْعَقْلِ وَانْقَطَعَ عَنِ الشَّهَوَاتِ
“Barang siapa terus menempuh jalan penyempurnaan diri, ia akan mencapai kebahagiaan jiwa, bergaul dengan akal, dan terbebas dari perbudakan hawa nafsu.”
Dengan kata lain, latihan jiwa bukan tugas sementara. Ia seperti napas yang tidak boleh berhenti. Selama manusia hidup, ia terus belajar mengenali dirinya dan menuntun kudanya agar tidak tersesat di padang kesenangan semu.
Akhirnya, ketika jiwa menjadi tenang, bukan karena nafsu lenyap, melainkan karena nafsu telah mengenal tempatnya. Ia tidak lagi menarik manusia ke jurang, tetapi berjalan berdampingan di jalan terang.
Refleksi: Menjadi Penunggang yang Bijak
Jiwa yang belum terlatih ibarat kuda muda yang beringas—penuh potensi, namun mudah kehilangan arah. Bila diarahkan dengan lembut dan sabar, ia menjadi kekuatan yang luar biasa. Sebaliknya, bila dibiarkan liar, ia menendang nilai dan menumbangkan ketenangan.
Oleh karena itu, latihan akhlak bukan sekadar etika sosial, melainkan seni menunggangi diri sendiri. Ibn Miskawayh mengajarkan bahwa setiap langkah menuju kesabaran, setiap niat untuk menahan diri, adalah laku menuju kemuliaan.
Dan pada akhirnya, ketika kuda jiwa telah jinak, manusia tidak hanya menjadi lebih baik—ia menjadi lebih damai. Ia tidak lagi diperintah oleh dorongan, melainkan dipandu oleh cahaya. Itulah kemenangan sejati: bukan menguasai dunia, tetapi menaklukkan diri sendiri.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
