SURAU.CO – Masjid kuno di kawasan Nusantara menunjukkan sejarah panjang. Bangunan ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah. Namun, masjid-masjid tersebut mewakili warisan peradaban yang kaya. Mereka menjadi simbol nyata perpaduan harmonis antara ajaran Islam dan budaya lokal yang telah mengakar. Oleh karena itu, arsitektur masjid kuno merepresentasikan kebijaksanaan dakwah ulama terdahulu. Para ulama tidak menghilangkan tradisi pra-Islam. Sebaliknya, mereka mengadopsi dan memodifikasi bentuk-bentuk lokal. Jelasnya, mereka memberikan makna spiritual Islam pada bangunan tersebut.
Ciri Khas Arsitektur Masjid Kuno dan Makna Filosofisnya
Arsitektur masjid kuno di Indonesia memiliki karakteristik unik. Ciri-ciri ini sangat membedakannya dari masjid-masjid di Timur Tengah. Masjid Nusantara jarang menggunakan kubah dan menara tinggi pada masa awal. Sebaliknya, mereka mengedepankan elemen-elemen tradisional. Secara umum, karakteristik ini menunjukkan kesinambungan dengan budaya pra-Islam.
1. Atap Tumpang atau Bersusun
Fitur yang paling mencolok dari masjid kuno adalah atap tumpang. Atap ini berbentuk piramida bersusun. Susunan atapnya semakin ke atas semakin kecil. Menariknya, jumlah tumpang biasanya ganjil, yaitu tiga atau lima.
- Asal-Usul Budaya: Atap tumpang ini mengadaptasi bentuk meru atau punden berundak. Bangunan suci ini populer pada masa Hindu-Buddha. Punden berundak melambangkan gunung suci atau tingkatan kosmis.
- Reinterpretasi Islam: Para Wali Songo memberikan makna baru pada atap bersusun itu. Sebagai contoh, atap tumpang tiga pada Masjid Agung Demak. Atap tersebut melambangkan tingkatan ajaran Islam, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Dengan demikian, akulturasi budaya terjadi tanpa menghilangkan nilai-nilai Islam.
2. Soko Guru dan Struktur Kayu
Ruang utama masjid kuno seringkali ditopang tiang-tiang besar. Masyarakat menyebutnya soko guru. Faktanya, tiang-tiang ini dibuat dari material kayu lokal. Kayu jati menjadi pilihan utama di Jawa.
- Kisah Filosofis: Salah satu soko guru terkenal ada di Masjid Agung Demak. Tiang ini terbuat dari tumpukan serpihan kayu. Tumpukan ini dikenal sebagai soko tatal. Selain itu, soko tatal melambangkan persatuan dari berbagai unsur. Ia juga menjadi simbol kesederhanaan.
3. Ketidakhadiran Menara dan Pengganti Lokal
Masjid kuno pada masa awal jarang membangun menara standar Timur Tengah. Oleh karena itu, mereka menggunakan sarana lokal untuk penanda waktu salat.
- Alternatif Lokal: Masjid-masjid ini sering menggunakan bedug atau kentongan. Alat-alat ini berfungsi memanggil umat untuk salat.
- Contoh Akulturasi Total: Masjid Menara Kudus menampilkan kasus unik. Menara masjid ini sangat mirip dengan bangunan candi pra-Islam. Jelaslah, menara ini menunjukkan proses akulturasi yang mendalam. Para ulama sengaja melakukan penyesuaian budaya.
4. Denah Pejal dan Serambi
Masjid kuno umumnya memilih denah bujur sangkar. Denah ini menciptakan bangunan yang terasa kokoh dan pejal. Selanjutnya, bagian depan atau samping selalu memiliki serambi. Serambi tidak hanya berfungsi sebagai teras. Justru, serambi menjadi area penting bagi kegiatan keagamaan. Para ulama sering menggunakan serambi untuk mengajar.
Masjid Kuno Sebagai Simbol Dakwah Inklusif
Kehadiran arsitektur yang adaptif ini membawa dampak positif. Model bangunan yang inklusif membantu proses Islamisasi. Sebab, penduduk lokal merasa lebih akrab dengan bentuk masjid. Bentuk itu menyerupai bangunan suci mereka sebelumnya. Secara otomatis, hal ini mencegah terjadinya cultural shock yang besar.
Masjid kuno berfungsi jauh lebih luas. Mereka menjadi pusat peradaban dan akulturasi budaya. Mereka juga menyimpan nilai-nilai penting. Nilai-nilai itu seperti tradisi, nilai sosial, dan kearifan lokal. Di sisi lain, nilai-nilai ini tetap hidup di sekitar masjid. Dengan demikian, masjid kuno bukan hanya monumen sejarah. Masjid ini juga menjadi pusat kebudayaan dan spiritualitas yang dinamis.
Pada akhirnya, warisan arsitektur masjid kuno menegaskan karakter Islam Nusantara. Mereka membuktikan Islam yang masuk bersifat inklusif dan toleran. Para ulama pendahulu, seperti Wali Songo, berhasil melakukannya. Mereka memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam bentuk lokal. Sebagai hasilnya, mereka menciptakan identitas keislaman yang unik. Identitas ini menjadi aset budaya dan sejarah bangsa.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
