Khazanah
Beranda » Berita » Akal sebagai Lentera di Malam Gelap Nafsu

Akal sebagai Lentera di Malam Gelap Nafsu

ilustrasi manusia membawa lentera sebagai simbol akal yang menuntun jiwa
Figur manusia dengan lentera bercahaya di tengah kegelapan, simbol akal yang menuntun dari nafsu menuju ketenangan.

Surau.co. Dalam diri manusia, dua kekuatan saling beradu: nafsu yang liar dan akal yang tenang. Keduanya seperti dua arah angin yang menentukan arah layar kehidupan. Ibn Miskawayh, dalam Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq, mengajarkan bahwa akal adalah lentera yang menjaga manusia dari kegelapan hawa nafsu. Ia bukan sekadar alat berpikir, tetapi cahaya yang menuntun jiwa menuju keseimbangan dan keindahan moral.

Di zaman ketika godaan begitu halus dan cepat, peran akal menjadi semakin penting. Bukan untuk memadamkan perasaan, tetapi untuk menata dan mengarahkannya. Karena sejatinya, akal dan nafsu bukan musuh, melainkan dua unsur yang harus disatukan agar manusia bisa berjalan tegak di jalan kebajikan.

Ketika Akal Menjadi Kompas Kehidupan

Setiap hari manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan kecil yang membentuk jiwanya: antara menuruti amarah atau menahannya, antara berkata jujur atau berbohong demi kenyamanan. Dalam setiap momen itu, akal hadir sebagai penuntun dan penyempurnaan akhlak.

Ibn Miskawayh menulis:

إِنَّ الْعَقْلَ هُوَ الَّذِي يُمَيِّزُ بَيْنَ الْخَيْرِ وَالشَّرِّ، وَيَدُلُّ عَلَى سَبِيلِ السَّعَادَةِ
“Sesungguhnya akal ialah yang membedakan antara baik dan buruk, dan menunjukkan jalan menuju kebahagiaan.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Akal yang hidup menuntun manusia agar tidak terperangkap oleh keinginan sesaat. Ia ibarat kompas yang mengingatkan arah ketika kabut nafsu menutupi pandangan. Di tengah derasnya informasi, opini, dan ambisi, akal membantu kita memilah mana yang membawa kedamaian, mana yang hanya memperdalam kegelisahan.

Kebahagiaan, kata Miskawayh, tidak akan ditemukan dalam pemuasan nafsu yang tak berujung, melainkan dalam kejernihan akal yang mampu menuntun kehendak pada kebaikan.

Nafsu yang Tidak Dimusuhi, Tapi Ditata

Bagi banyak orang, kata nafsu sering dikaitkan dengan keburukan. Padahal, Miskawayh tidak mengajarkan untuk mematikan nafsu, tetapi untuk menatanya. Nafsu adalah tenaga hidup; tanpa itu manusia tidak akan bergerak. Namun bila ia tidak diarahkan oleh akal, maka tenaga itu berubah menjadi badai yang menghancurkan.

Beliau menulis:

لَا بُدَّ لِلنَّفْسِ مِنَ الشَّهْوَةِ، وَلَكِنْ يَجِبُ أَنْ تَكُونَ تَحْتَ سُلْطَانِ الْعَقْلِ
“Jiwa memang membutuhkan keinginan, tetapi keinginan itu harus berada di bawah kendali akal.”

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Betapa indah pandangan ini. Ia tidak menolak kodrat manusia, tetapi memberi keseimbangan. Nafsu menjadi kuda, dan akal menjadi penunggangnya. Bila kuda dilepaskan tanpa kendali, ia akan menabrak jurang. Namun jika penunggang terlalu keras, kuda pun kehilangan semangatnya. Keduanya harus selaras — bergerak dalam harmoni.

Akhlak Sebagai Buah dari Akal yang Jernih

Bagi Ibn Miskawayh, akhlak bukanlah sekadar sopan santun di hadapan manusia, melainkan hasil dari akal yang berhasil menundukkan nafsu dengan kebijaksanaan. Akhlak yang baik lahir dari jiwa yang tenang, bukan dari rasa takut atau pamrih.

Beliau menulis dalam kitabnya:

إِذَا اسْتَنَارَ الْعَقْلُ طَهُرَتِ النَّفْسُ وَصَلَحَتِ الأَخْلَاقُ
“Ketika akal telah bercahaya, jiwa menjadi suci dan akhlak pun menjadi baik.”

Akal yang jernih membuat manusia melihat hakikat, bukan sekadar penampilan. Ia memahami bahwa kebaikan tidak selalu tampak indah, dan kesenangan tidak selalu membawa ketenteraman.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Dalam kehidupan modern, kecerdasan sering disalahartikan sebagai kemampuan berpikir cepat, padahal menurut Miskawayh, kecerdasan sejati adalah kemampuan menimbang dengan hati yang bersih. Akal yang tercerahkan adalah akal yang mengenal batas — ia tahu kapan harus diam, kapan harus bertindak.

Jalan Kesempurnaan Jiwa

Tujuan akhir dari penyempurnaan akhlak, menurut Ibn Miskawayh, adalah mencapai kesempurnaan jiwa (kamāl al-nafs). Dan jalan menuju kesempurnaan itu tidak bisa ditempuh tanpa bimbingan akal.

Beliau menulis:

إِذَا سَاسَ الْعَقْلُ النَّفْسَ بَلَغَتْ كَمَالَهَا وَنَالَتِ السَّعَادَةَ
“Apabila akal memimpin jiwa, maka jiwa itu akan mencapai kesempurnaannya dan memperoleh kebahagiaan.”

Kesempurnaan itu bukan berarti tanpa cela, melainkan keadaan di mana manusia mampu mengenali dirinya secara utuh — menerima kelemahan tanpa menyerah pada kelemahan itu.

Al-Qur’an mengingatkan:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا، وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9–10)

Akal menjadi alat untuk melakukan tazkiyah — penyucian diri. Ia menimbang setiap keinginan, menilai setiap tindakan, dan menuntun manusia agar tidak menipu dirinya sendiri.

Akal yang Menuntun Menuju Cinta Ilahi

Pada akhirnya, akal bukan sekadar instrumen logika, melainkan jalan menuju cinta. Ibn Miskawayh menegaskan bahwa manusia diciptakan untuk mencapai kebahagiaan tertinggi, yaitu kedekatan dengan Tuhan. Dan pintu menuju kedekatan itu adalah akal yang digunakan dengan benar.

Ketika akal berjalan bersama hati yang bersih, maka kehidupan menjadi perjalanan yang penuh makna. Tidak ada lagi pertentangan antara logika dan cinta, antara dunia dan akhirat. Semuanya menjadi satu tarian yang harmonis — karena cahaya akal menerangi jalan menuju kasih Tuhan.

Seperti lentera di malam gelap, akal membimbing kita melewati lorong keinginan, menuju taman kebijaksanaan. Dan di sanalah jiwa menemukan ketenangan: bukan karena dunia menjadi tenang, tetapi karena hati telah menyala dengan cahaya pengertian penyempurnaan akhlak.

Refleksi di Tengah Hidup yang Bergegas

Miskawayh seakan berbicara langsung kepada kita hari ini — manusia yang hidup dalam kecepatan, tapi kehilangan arah. Kita sibuk mengejar, namun lupa bertanya apa yang sedang kita kejar. Akal yang jernih mengajarkan untuk berhenti sejenak, menarik napas, dan mendengar bisikan nurani.

Ketenangan sejati tidak ditemukan di luar, melainkan di dalam. Ketika akal kembali memegang kendali, nafsu tidak lagi menjadi musuh, melainkan sahabat yang menambah kekuatan untuk melangkah. Di situlah lentera akal bersinar paling terang — di malam gelap nafsu yang telah jinak oleh cahaya pemahaman.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement