Khazanah
Beranda » Berita » Jalan Pulang kepada Ketenangan: Penyempurnaan Akhlak agar Mengenal Tuhan

Jalan Pulang kepada Ketenangan: Penyempurnaan Akhlak agar Mengenal Tuhan

ilustrasi manusia berdiri di bawah cahaya senja dengan simbol ketenangan jiwa
Figur manusia memandang ke langit, sinar dari dalam dadanya menerangi jalan menuju horizon; simbol perjalanan batin menuju Tuhan.

Surau.co. Penyempurnaan akhlak – Di tengah riuh kehidupan, manusia sering merasa kehilangan arah. Padahal jalan pulang itu tak pernah jauh — ia bersembunyi di dalam dada. Ibn Miskawayh, dalam kitab Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq, mengajarkan bahwa jiwa yang tenteram tidak lahir dari dunia yang diam, melainkan dari manusia yang belajar mengenali dirinya. Barang siapa mengenali dirinya, ia sedang membuka pintu untuk mengenali Tuhan.

Ketenangan bukan hadiah yang jatuh tiba-tiba, melainkan hasil perjalanan panjang: dari gelap menuju cahaya, dari kebingungan menuju pemahaman. Dalam perjalanan itu, manusia menata ulang hati, menyucikan niat, dan menimbang kembali arah langkahnya.

Keheningan di Tengah Bising Dunia

Setiap hari kita berhadapan dengan hiruk pikuk yang tak berhenti: suara notifikasi, percakapan tergesa, rencana-rencana yang menumpuk. Jiwa sering terseret arus tanpa sempat bertanya, “Apakah aku masih mengenal diriku?”

Ibn Miskawayh memulai penjelasan tentang manusia dengan menyebut bahwa kebajikan sejati tidak akan tumbuh kecuali dari jiwa yang sadar akan dirinya. Dalam kitabnya ia menulis:

فَإِنَّ النَّفْسَ لَا تُصْلِحُ إِلَّا بِمَعْرِفَةِ نَفْسِهَا
“Sesungguhnya jiwa tidak akan menjadi baik kecuali dengan mengenal dirinya sendiri.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Maknanya, siapa yang tidak menoleh ke dalam, akan selalu kehilangan pijakan di luar. Dunia bisa menawarkan gemerlap, tapi jika jiwa masih gelisah, semua cahaya luar hanya membuat silau.

Sering kali manusia ingin berlari ke tempat baru, mencari kedamaian di luar dirinya. Padahal, seperti kata Miskawayh, perjalanan itu seharusnya menuju ke dalam. Karena di dalam dirilah segala akar dari kebahagiaan dan penderitaan bermula.

Cermin Diri: Menata Akhlak, Menyucikan Jiwa

Akhlak bagi Ibn Miskawayh bukan sekadar perilaku baik yang dipamerkan, melainkan keadaan batin yang membuat seseorang cenderung berbuat baik dengan mudah, tanpa paksaan. Akhlak adalah kebiasaan hati, bukan topeng di wajah.

Dalam Tahdhīb al-Akhlāq, ia menulis:

وَإِنَّ الْأَخْلَاقَ لَا تُكْتَسَبُ إِلَّا بِالْمُرَاضَاةِ وَالْمُجَاهَدَةِ
“Sesungguhnya akhlak tidak dapat diperoleh kecuali dengan latihan dan perjuangan.”

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Artinya, kebaikan bukanlah anugerah yang datang begitu saja, melainkan hasil dari proses yang terus-menerus: menahan amarah, menundukkan keinginan, dan mengatur langkah. Seperti pohon yang tumbuh perlahan, akar akhlak juga membutuhkan kesabaran dan pemeliharaan.

Dalam kehidupan modern, latihan itu bisa berarti kesadaran untuk tidak membalas keburukan dengan keburukan, kesabaran untuk tidak menghakimi sebelum memahami, dan keberanian untuk tetap lembut di tengah dunia yang keras.

Jiwa yang Seimbang Adalah Jiwa yang Merdeka

Ibn Miskawayh juga berbicara tentang keseimbangan sebagai kunci bagi jiwa yang sehat. Ia menulis:

إِنَّ الْفَضِيلَةَ هِيَ الْوَسَطُ بَيْنَ طَرَفَيْنِ
“Sesungguhnya kebajikan itu adalah posisi tengah antara dua sisi yang berlebihan.”

Keseimbangan itulah yang membebaskan manusia. Sebab jiwa yang terlalu condong ke satu sisi akan kehilangan bentuknya. Keberanian yang berlebihan berubah menjadi nekat, sementara kehati-hatian yang berlebihan menjadi ketakutan.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Jiwa yang merdeka tidak tunduk pada hawa nafsu, tapi juga tidak memusuhi dunia. Ia berjalan di tengah, menimbang dengan akal, namun tetap lembut dengan hati. Seperti perahu di tengah laut, ia tidak tenggelam oleh air, tapi juga tidak bisa berlayar tanpa gelombang.

Menyelami Diri, Menemukan Tuhan

Mengenal diri bukan sekadar introspeksi; ia adalah ibadah yang dalam. Sebab ketika seseorang mengenal dirinya, ia akan mengenal kelemahannya, keterbatasannya, dan akhirnya menyadari betapa besar kekuatan Tuhan.

Ibn Miskawayh menulis:

مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
“Barang siapa mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya.”

Mengenal diri berarti menyadari bahwa kita tak sepenuhnya berkuasa atas kehidupan. Ada kehendak yang lebih tinggi, yang menuntun segala arah. Dari pengakuan itu lahirlah ketenangan, karena hati yang berserah tak lagi berperang dengan takdir.

Al-Qur’an pun menegaskan:

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri.” (QS. Fussilat: 53)

Maknanya jelas: Tuhan berbicara tidak hanya melalui langit dan bumi, tetapi juga melalui detak jiwa kita sendiri.

 Penyempurnaan Akhlak Sebagai Jalan Pulang

Ketenangan yang sejati bukan hasil dari menguasai dunia, tapi dari menata hati agar tidak dikuasai dunia. Akhlak yang baik menjadi kompas yang mengembalikan manusia ke jalur ilahi setiap kali ia tersesat.

Ibn Miskawayh mengingatkan:

وَإِذَا تَهَذَّبَتِ النَّفْسُ طَهُرَتْ أَعْرَاقُهَا
“Ketika jiwa telah dibina dengan baik, maka akar-akarnya akan menjadi suci.”

Kalimat ini menjadi inti dari seluruh ajarannya — bahwa penyempurnaan akhlak bukan hanya tentang perilaku lahir, tapi tentang penyucian akar hati. Bila akar itu bersih, maka buahnya pun manis.

Hadis Nabi ﷺ meneguhkan hal itu:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”

Dari situlah perjalanan pulang dimulai — bukan dari langkah kaki, melainkan dari kesadaran hati untuk penyempurnaan akhlak

Menemukan Ketenangan di Setiap Napas

Ketika hati telah mengenali dirinya, dunia tak lagi menjadi beban, melainkan cermin. Setiap peristiwa, bahkan yang pahit sekalipun, menjadi pelajaran yang mematangkan jiwa.

Mengenal diri bukanlah tujuan akhir, tapi awal dari perjalanan menuju Tuhan. Dalam diam yang tenang, seseorang mulai memahami bahwa hidup bukanlah sekadar rangkaian peristiwa, melainkan kesempatan untuk menyucikan hati dan mendekat kepada Sang Pemiliknya.

Dan pada akhirnya, ketenangan itu bukan sesuatu yang dicapai, melainkan diingat kembali — sebab ia memang sudah ada di dalam diri sejak awal, hanya tertutup oleh debu dunia.

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplati Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement