SURAU.CO – Kawasan Melayu Nusantara menyimpan khazanah intelektual Islam yang sangat kaya. Salah satu warisan terpenting ialah tradisi penulisan tafsir Al-Qur’an. Para ulama menulis tafsir menggunakan bahasa lokal. Sejarah intelektual ini membentang panjang selama berabad-abad. Jelas, ini menunjukkan dinamika pemikiran serta respons ulama terhadap tantangan zaman. Jaringan ulama Nusantara membentuk khazanah tafsir yang kaya dan beragam. Jejak ini mulai terlihat sejak abad ke-17. Tokoh besar Aceh, Syekh Abdur Rauf Singkel, memelopori tradisi penulisan tafsir.
Syekh Abdur Rauf Singkel: Merintis Tafsir Lengkap Nusantara
Syekh Abdur Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri as-Sinkili (sekitar 1615–1693 M) merupakan figur sentral. Beliau memegang peran utama dalam sejarah Islam Asia Tenggara. Banyak peneliti mengakui beliau sebagai perintis. Beliau menulis tafsir Al-Qur’an secara lengkap di Nusantara. Kemudian, beliau menghasilkan karya monumentalnya, Tarjuman al-Mustafid. Kitab ini berarti Terjemah Pemberi Faedah. Karya ini menjadi tonggak sejarah yang sangat penting. Prof. Hamka sendiri menyatakan fakta tersebut. Beliau menyebut tafsir 30 juz berbahasa Melayu terlengkap pertama adalah kitab ini.
Tarjuman al-Mustafid dan Metode Penafsirannya
Syekh Abdur Rauf as-Sinkili menyusun Tarjuman al-Mustafid. Beliau menuliskannya menggunakan aksara Jawi atau Melayu. Tafsir ini hadir pada masa pemerintahan Ratu Safiyatuddin di Aceh. Oleh karena itu, kitab ini tidak hanya terkenal di Aceh. Jangkauannya meluas ke seluruh kepulauan Nusantara. Bahkan, salinan cetak pertamanya beredar di komunitas Melayu Afrika Selatan. Hal ini jelas membuktikan pengaruh luas dan penerimaan masyarakat.
Dalam penafsirannya, Abdur Rauf As-Singkili tidak membatasi diri pada satu corak. Beliau memakai corak umum yang mencakup berbagai aspek. Corak ini menyesuaikan dengan kandungan ayat Al-Qur’an. Selanjutnya, metode penafsirannya menguraikan ayat secara berurutan. Beliau lalu menjelaskan maknanya secara harfiah. Di samping itu, beliau menerangkan aspek-aspek yang terkandung dalam ayat. Termasuk di dalamnya adalah Asbabun Nuzul (sebab turunnya ayat). Di awal setiap surat, Abdur Rauf memberikan keterangan ringkas. Keterangan ini meliputi jumlah ayat dan tempat turun. Beliau juga menjelaskan keutamaan surat tersebut.
Abdur Rauf banyak merujuk pada kitab-kitab tafsir klasik. Secara khusus, beliau sering mengutip Tafsir al-Khazin. Selain itu, beliau juga merujuk pada Anwār al-Tanzīl karya al-Baydhawī. Tafsir al-Jalalayn terlihat menjadi sumber rujukan utama beliau. Sebagai contoh, Azyumardi Azra mencatat Abdur Rauf memiliki sanad. Sanad ini menghubungkannya dengan Jalal al-Din al-Suyuthi. Beliau adalah salah satu penulis Tafsir al-Jalalayn.
Estafet Tafsir Modern: Menuju Buya Hamka
Setelah era Abdur Rauf, tradisi tafsir terus berjalan. Kemudian, tradisi ini mengalami perubahan besar. Ulama-ulama berikutnya melanjutkan jejak Abdur Rauf Singkel. Mereka merespons kebutuhan masyarakat yang semakin mendesak. Terutama, mereka menjawab gelombang reformasi Islam. Tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha memicu gerakan ini. Pemikiran mereka tersebar melalui majalah Al-Manar.
Generasi ulama tafsir modern di Nusantara mulai tampil. Mereka muncul pada abad ke-20. Mereka memperkenalkan ciri-ciri baru dalam penulisan tafsir. Ciri-ciri tersebut termasuk catatan kaki. Mereka juga menyertakan terjemahan kata per kata. Bahkan, mereka menambahkan indeks sederhana dalam kitabnya. Lalu, banyak karya penting muncul. Misalnya, Tafsir al-Qur’an al-Kariim (1922) karya Mahmud Yunus. Ada pula Al-Furqan (1928) oleh A. Hassan Bandung. Oleh karena itu, pada tahun 1970-an, generasi ketiga lahir. Mereka menawarkan penafsiran yang jauh lebih lengkap. Dalam konteks inilah, Buya Hamka hadir. Beliau tampil sebagai tokoh puncak.
Buya Hamka dan Tafsir Al-Azhar: Tafsir untuk Masyarakat
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (1908–1981) lebih kita kenal sebagai Buya Hamka. Beliau merupakan ulama, sastrawan, dan politisi terkemuka Minangkabau. Hamka mewakili puncak pemikiran tafsir modern Nusantara. Beliau menyusun karya agungnya, Tafsir al-Azhar. Hamka menyelesaikan tafsir ini pada tahun 1973. Karya tersebut menjadi tafsir yang sangat populer. Ia muncul pada periode ketiga perkembangan tafsir di Indonesia.
Corak dan Relevansi Tafsir al-Azhar
Tafsir al-Azhar memiliki corak al-adabiy al-ijtima’iy. Corak ini berarti sastra-kemasyarakatan, sangat menonjol dalam karyanya. Hamka menjelaskan persoalan-persoalan sosial masyarakat dengan jelas. Bahasa beliau sangat lugas dan mengalir indah. Selanjutnya, beliau menghubungkan teks-teks Al-Qur’an secara cermat. Beliau mengaitkannya dengan realitas sosial serta sistem budaya yang ada. Dengan demikian, tafsirnya menjadi sangat kontekstual. Masyarakat umum mudah memahaminya.
Karya Hamka menjadi respons cerdas terhadap modernitas. Hamka memasukkan pemikiran reformis Islam. Namun, beliau tetap berakar kuat pada tradisi keilmuan Nusantara. Kehadiran Tafsir al-Azhar mengisi kekosongan saat itu. Umat memerlukan tafsir lengkap yang relevan. Tafsir ini harus sesuai dengan kondisi sosio-kultural Indonesia kontemporer. Jelaslah, Hamka berhasil menjembatani warisan tafsir klasik. Beliau menghubungkannya dengan kebutuhan umat di era modern.
Warisan Abadi Intelektual Nusantara
Jejak tafsir Melayu Nusantara mencerminkan kesinambungan luar biasa. Demikian pula, tradisi ini menunjukkan kekayaan intelektual Islam di wilayah ini. Syekh Abdur Rauf Singkel membangun fondasi yang kuat. Beliau melakukannya melalui Tarjuman al-Mustafid. Tafsir berbahasa Melayu ini merupakan karya lengkap yang pertama. Setelah itu, ulama-ulama berikutnya meneruskan tradisi tersebut. Puncaknya terlihat pada Buya Hamka melalui Tafsir al-Azhar. Mereka memberikan penafsiran yang relevan dan kontekstual. Ini sangat penting bagi masyarakat Melayu.
Perkembangan tafsir ini membuktikan satu hal. Ulama Nusantara tidak hanya meniru tafsir Timur Tengah. Sebaliknya, mereka aktif menciptakan karya-karya orisinal. Tradisi ini terus tumbuh dan berkembang pesat. Bahkan, tradisi ini berlanjut hingga era mufasir kontemporer. Ambil contoh Quraish Shihab dengan Tafsir al-Mishbah. Oleh karena itu, kita harus menghargai peran penting para ulama ini. Mereka sangat berjasa memperkuat tradisi keilmuan Islam di kepulauan Nusantara.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
