Surau.co. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar ungkapan seperti akhlak mulia, etika moral, atau perilaku terpuji. Kata akhlak seakan tak pernah absen dari meja sarapan, obrolan santai di warung kopi, atau renungan tengah malam saat menilai diri sendiri. Penyempurnaan akhlak bukanlah jargon kosong; ia merupakan perjalanan panjang yang menata cahaya dalam jiwa. Dari kitab klasik Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq karya Ibn Miskawayh, kita bisa menelusuri sumber cahaya itu — gagasan yang tetap relevan sekalipun zaman terus berubah.
Frasa penyempurnaan akhlak menjadi benang merah yang menghubungkan seluruh pembahasan. Kita akan menelusuri maknanya, melihat relevansinya di tengah hiruk-pikuk modernitas, dan memahami bagaimana pemikiran Ibn Miskawayh memberi arah bagi perjalanan menuju etika yang lembut namun kokoh.
Jejak Manusia dan Kebutuhan akan Cahaya Akhlak
Setiap pagi, ketika mata terbuka, kita langsung dihadapkan pada pilihan: apakah bersikap lembut kepada anak, atau justru marah karena hal sepele? Saat perjalanan pulang menjelang magrib, kita bisa memilih diam dalam amarah, atau tetap tersenyum meski lelah. Di sanalah cahaya akhlak mulai tumbuh—dalam keputusan kecil yang menuntut kesabaran, kemurahan hati, dan keseimbangan batin.
Manusia secara alami terikat dengan sesamanya. Ia bukan makhluk sunyi, melainkan sosial. Ibn Miskawayh menegaskan bahwa manusia bersifat madani secara fitrah—yakni makhluk yang hanya dapat memunculkan kebajikan lewat pergaulan. Tanpa interaksi nyata, etika hanyalah wacana, tidak pernah menjelma cahaya dalam tindakan.
Jika kita menengok ke dunia modern, situasinya serupa. Seseorang mungkin tampak baik di media sosial, tetapi mudah tergelincir pada kesombongan di kehidupan nyata. Karena itu, Ibn Miskawayh mengingatkan: karakter sejati terbentuk melalui latihan batin, bukan sekadar citra lahiriah.
Mengenal Ibn Miskawayh dan Warisannya Etis
Ibn Miskawayh (Abū ʿAlī Aḥmad ibn Muḥammad ibn Yaʿqūb, wafat 1030 M) dikenal sebagai salah satu pemikir etika terbesar dalam khazanah Islam. Karyanya, Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq (Penyempurnaan Akhlak dan Penyucian Jiwa), menjadi tonggak penting dalam pemikiran moral Islam. Ia berhasil memadukan warisan pemikiran Yunani dengan prinsip etika Islami, sehingga melahirkan struktur moral yang rasional sekaligus spiritual.
Menurut Ibn Miskawayh, akhlak bukanlah sekadar tindakan, melainkan keadaan jiwa yang membuat seseorang cenderung melakukan kebaikan secara spontan. Jiwa memiliki dua sisi: internal dan eksternal. Sisi internal mencakup kesehatan mental, kecerdasan emosional, dan kendali diri. Sementara itu, sisi eksternal mencakup lingkungan sosial, teman, dan situasi yang mempengaruhi perilaku. Dalam konteks sekarang, kedua sisi ini sangat relevan. Media sosial, misalnya, dapat memperkuat nilai moral atau justru meruntuhkannya.
Lebih jauh, Ibn Miskawayh menekankan pentingnya prinsip jalan tengah (wasat). Kebajikan sejati muncul di antara dua ekstrem: antara kekurangan dan kelebihan. Kejujuran, contohnya, bukan berarti berkata tanpa empati, juga bukan menyembunyikan kebenaran karena takut. Dalam keseimbangan itulah, akhlak menemukan cahaya.
Empat Kilau Tafsiran dari Tahdhīb al-Akhlāq
Berikut empat kutipan penting dari Ibn Miskawayh yang bisa menjadi pelita dalam perjalanan penyempurnaan akhlak:
-
كُونُوا لِلْعَادِلِ مِرْآةً تُرِيْهِ عَجَائِبَهُ
“Jadilah bagi orang yang adil cermin yang menampakkan keistimewaannya.”
→ Maknanya, teman yang baik seharusnya memantulkan kebaikan orang lain, bukan meredupkannya. -
وَمَزِجْ قَلْبَكَ بِالْحِلْمِ وَالشَّجَاعَةِ فِيهِ
“Campurkan hatimu dengan kelembutan dan keberanian.”
→ Artinya, kekuatan sejati hadir saat kelembutan berjalan beriringan dengan keberanian moral. -
فَإِنَّ النَّفْسَ لَا تَكُونُ فَاضِلَةً إِلَّا بِالإِمْتِحَانِ
“Sesungguhnya jiwa tidak menjadi mulia kecuali melalui ujian.”
→ Jiwa yang ditempa penderitaan akan melahirkan karakter sejati. -
وَاعْمَلْ بِقَدْرِ قُوَّتِكَ وَاكْفُرِ بالْكَسَلِ
“Bekerjalah sesuai kemampuanmu dan jauhilah kemalasan.”
→ Etika tinggi menuntut disiplin dan kesungguhan, bukan paksaan di luar batas kemampuan.
Keempat kutipan ini menunjukkan bahwa akhlak yang sempurna tumbuh dari latihan berkelanjutan, bukan perubahan seketika.
Cahaya Akhlak di Tengah Tantangan Zaman
Setiap hari, kita dihadapkan pada ujian kecil: membalas hinaan dengan amarah atau dengan diam; menunda pekerjaan atau menyelesaikannya dengan tanggung jawab; mengutamakan kejujuran meski hasilnya tidak menguntungkan. Semua itu menjadi cermin sejauh mana akhlak telah tumbuh dalam diri.
Ibn Miskawayh mengingatkan, karakter diuji dalam kehidupan nyata—bukan di ruang teori. Karena itu, ia menolak anggapan bahwa seseorang bisa mencapai kesempurnaan moral sendirian. Karakter hanya akan matang ketika berinteraksi dan diuji oleh lingkungan sosial.
Sebagai langkah sederhana, kita bisa mulai dengan tantangan kecil setiap hari: menahan emosi di jalan raya, bersabar ketika pekerjaan menumpuk, atau memilih diam saat provokasi datang. Keputusan-keputusan kecil itu, bila dilakukan terus-menerus, akan menyalakan cahaya akhlak dari dalam.
Langkah Praktis Menuju Penyempurnaan Akhlak
Beberapa langkah reflektif berikut dapat membantu menapaki jalan akhlak dengan lebih nyata:
-
Mulailah dari niat yang jernih. Sebelum bertindak, tanyakan pada hati: apakah ini demi keridaan Tuhan atau demi ego?
-
Latih satu kebajikan setiap hari. Misalnya menahan komentar negatif atau membantu tanpa pamrih.
-
Bangun lingkungan yang mendukung. Bergaul dengan orang bijak akan memperkuat nilai dalam diri.
-
Lakukan refleksi harian. Catat kemajuan dan kekeliruan; dengan begitu, kita bisa menjaga arah.
-
Perbanyak doa dan istighfar. Sebab manusia tak luput dari kesalahan, sementara penyempurnaan akhlak memerlukan pembersihan jiwa yang terus-menerus.
Seiring waktu, latihan kecil itu membentuk pola besar. Dari situlah, jiwa menjadi lebih lembut tanpa kehilangan keteguhan, lebih kuat tanpa kehilangan kasih.
Cahaya Qur’ani dan Hadis sebagai Penopang Etika
Pemikiran Ibn Miskawayh sejalan dengan pesan Al-Qur’an dan hadis. Dalam QS. Al-Qalam ayat 4, Allah menegaskan:
“وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ”
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlak yang agung.”
Ayat ini menunjukkan bahwa kemuliaan sejati terletak pada akhlak. Nabi ﷺ bahkan menegaskan:
“إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلَاقِ”
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.”
Dengan demikian, misi penyempurnaan akhlak bukan sekadar cita-cita filosofis, melainkan inti dari risalah kenabian.
Penutup: Cahaya yang Terus Menyusun Jiwa
Penyempurnaan akhlak adalah perjalanan yang tak pernah selesai. Ia menuntut kesetiaan, kebijaksanaan, dan kesabaran panjang. Warisan Ibn Miskawayh membantu kita merajut keseimbangan antara akal dan nurani, antara teori dan tindakan.
Maka, mari kita terus melangkah—menanam satu pohon karakter setiap hari, menyiraminya dengan doa dan usaha. Dari sanalah cahaya akhlak tumbuh, menyinari diri sendiri dan dunia di sekitar kita.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
