Khazanah
Beranda » Berita » Umair ibn Wahab : Setan Quraisy yang Akhirnya Memeluk Islam

Umair ibn Wahab : Setan Quraisy yang Akhirnya Memeluk Islam

Umair ibn Wahab : Setan Quraisy yang Akhirnya Memeluk Islam
Ilustrasi seorang Quraisy yang menghunus pedang.

SURAU.CO– Umair ibn Wahab adalah seorang sahabat Nabi dari suku Quraisy keturunan Bani Jumah. Nama panggilannya adalah Abu Umayyah. Tentang sosok Umair, Ibn al-Atsir mengatakan bahwa ia termasuk orang yang memiliki pengaruh dan wibawa yang besar dalam kalangan Quraisy. Ia adalah adik sepupu Shafwan ibn Umayyah ibn Khalaf.

Pelempar tombak pertama dari barisan kafir Quraisy

Saat Perang Badar berkecamuk, ia masih kafir dan berada pada barisan kaum musyrik. Pada kesempatan itu ia berkata kepada kaum Quraisy tentang kaum Anshar, “Aku melihat mereka seperti ular yang tak bisa mati karena kehausan atau terbunuh. Jangan arahkan pandangan kalian ke arah mereka! Wajah mereka memancarkan sinar bagaikan lampu.”

Kawan-kawannya menjawab, “Jauhkan pikiran itu darimu!” Kemudian ia maju menembus kerumunan pasukan dan ialah orang pertama yang melemparkan tombak ke arah pasukan muslim dari atas kuda. Perang pun mulai berkecamuk.

Pernah menjadi salah satu setan Quraisy

Pada masa Jahiliah, Umair ibn Wahab termasuk salah satu dari sekian banyak setan Quraisy. Satu-satunya keinginan yang memenuhi pikirannya saat itu adalah bagaimana menghancurkan kaum muslim dan menyakiti Rasulullah saw. Namun, seiring perjalanan waktu, keadaan berubah. Umair yang pada awalnya bagaikan setan berubah menjadi laksana malaikat, baik lahir maupun batinnya. Perubahan itu tentu saja tak lepas dari kehendak dan kekuasaan Allah Rabbul Alamin.

Ibn Hisyam menuturkan riwayat dari Ibn Ishaq tentang kisah keislaman Umair ibn Wahab. Ibn Ishaq mendapatkan riwayat itu dari Muhammad ibn Ja‘far ibn al-Zubair dari Urwah ibn al-Zubair bahwa pada suatu hari, setelah Perang Badar, Umair ibn Wahab duduk berbincang bersama Shafwan ibn Umayyah. Mereka membicarakan keluarga korban Perang Badar.  Dalam Perang Badar, salah seorang anaknya, Wahab ibn Umair, ditawan oleh pasukan Muslim.

Pentingnya Akhlak Mulia

Menurut Ibn Hisyam, orang yang menawannya adalah Rifa‘ah ibn Rafi‘, yang berasal dari Bani Zuraiq.

Lebih lanjut, Urwah menuturkan bahwa kemudian Shafwan berkata, “Demi Allah, tak ada kebaikan lagi sesudah mereka.”

Umair menimpalinya, “Benar sekali, demi Allah, seandainya aku tak punya utang yang harus kubayar dan keluarga yang membutuhkan perlindungan, aku pasti sudah pergi mencari Muhammad dan berusaha membunuhnya.”

Mendengar perkataan temannya, Shafwan berjanji akan menanggung semua utangnya dan menjaga keluarganya, “Jangan pikirkan utang-utangmu. Biar aku yang melunasi semua utangmu. Dan tentang keluargamu, biarlah mereka menjadi tanggunganku. Apa pun yang kudapatkan, aku akan membaginya untuk keluargamu.”

Umair berkata, “Jika demikian, rahasiakanlah obrolan kita ini!”

Hati-hatilah Dengan Pujian Karena Bisa Membuatmu Terlena Dan Lupa Diri

Shafwan menjawab, “Baiklah.”

Kemudian Umair mempersiapkan pedangnya. Ia mengasah pedang itu sampai benar-benar tajam dan kemudian dibubuhi racun. Setelah mempersiapkan semua perlengkapan, ia segera berangkat menuju Madinah.

Datang ke Madinah dengan pedang terhunus

Pada saat itu Umar ibn al-Khattab sedang bersama kaum muslim membicarakan Perang Badar yang baru saja berlalu. Umar melihat Umair menambatkan tunggangannya dekat masjid dengan pedang terhunus. Melihat kedatangan Umair, Umar ibn al-Khattab berkata, “Orang ini adalah musuh Allah. Ia adalah Umair ibn Wahab. Demi Allah, ia datang pasti dengan niat buruk. Dialah yang pertama kali melemparkan tombak ke arah kita dan dia juga yang memata-matai kekuatan pasukan kita di Badar.”

Umar r.a. mencurigainya karena Umair tampak mengenakan pakaian yang ringkas seperti orang yang hendak berperang. Ketika melihat pedang panjang tersampir pada punggungnya, Umar r.a. langsung meringkusnya, kemudian menggiringnya ke hadapan Rasulullah.

Umar r.a. berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Nabi Allah, musuh Allah Umair ibn Wahab datang dengan pedang terhunus.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Melihat kedatangan mereka, Rasulullah bersabda, “Bawa ia kemari, hai Umar! Mendekatlah ke sini, hai Umair!”

Bertemu Rasulullah

Umair pun mendekat dan menyalami beliau dengan ucapan salam yang sering diucapkan kaum Jahiliah, “An’im shabhan!”

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memuliakan kami dengan ucapan salam yang lebih baik daripada ucapan salammu, wahai Umair, kami diajari ucapan salam para penghuni surga.” Umair berkata seakan menyesali ucapannya, “Ya Muhammad, sungguh ucapan salam seperti itu sesuatu yang baru bagiku.”

Nabi saw. kemudian bertanya, “Apa maksud kedatanganmu ke sini, Umair?”

Umair datang ke Madinah dengan alasan karena anaknya yang bernama Wahab menjadi tawanan kaum muslimin. Ia berkata, “Aku datang untuk tawanan ini yang berada di bawah kekuasaan kalian. Aku mohon, perlakukanlah ia dengan baik.”

Rasulullah kembali bertanya, “Lalu mengapa kau datang dengan pedang terhunus?”

Umair menundukkan kepalanya seakan-akan menyesali perbuatannya, “Tetapi apalah artinya sebilah pedang ini! Aku takkan sanggup menyerang kalian.”

Nabi saw. kembali menanyainya dengan suara yang lebih tegas, “Jujurlah kepadaku, apa maksud kedatanganmu?”

“Aku tidak datang kecuali untuk urusan yang telah kukatakan,” jawabnya dengan suara yang sedikit terbata-bata.

Kebohongan yang terungkap

Nabi saw. memandangi wajah Umair. Ia tampak berpikir serius. Setelah diam beberapa saat, Nabi saw. kembali berkata menyingkapkan kebohongan Umair, “Tidak, bukan itu tujuan kedatanganmu ke sini. Kau telah bertemu dengan Shafwan ibn Umayyah di Hijir Ismail. Kalian membicarakan banyaknya pasukan Quraisy yang terbunuh dalam Perang Badar. Ketika itu, kau berkata kepadanya, ‘Andai saja aku tidak punya utang dan tanggungan keluarga, pasti aku akan pergi untuk membunuh Muhammad.’

Kemudian Shafwan menanggung utangmu dan kebutuhan keluargamu. Sebagai imbalannya, kau datang ke sini untuk membunuhku. Namun, Allah menjadikan penghalang yang kokoh antara dirimu dan diriku.”

Berislamnya Umair ibn Wahab

Umair terkesiap mendengar penuturan Rasulullah saw. Lantas, dengan penuh kesadaran dan suara yang serak ia berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah. Kami memang telah mendustai ajaran langit yang engkau bawa dan kami juga mendustai wahyu yang diturunkan kepadamu. Demi Allah, hanya diriku dan Shafwan yang mengetahui masalah tersebut. Aku sadar, pasti engkau mendapatkan kabar tersebut dari Allah. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepadaku untuk memeluk Islam dan mengarahkanku ke jalan ini.”

Rasulullah saw. bersabda, “Ajarkan saudara kalian ini tentang agama, lalu bacakan kepadanya Al-Qur’an, dan bebaskan putranya.” Para sahabat segera melaksanakan perintah Rasulullah saw.

Umair berkata, “Wahai Rasulullah, dulu aku sering berusaha memadamkan cahaya Allah, aku perlakukan pemeluk agama ini dengan buruk. Aku memohon izinmu, biarkan aku pulang ke Makkah untuk mengajak semua orang menuju jalan Allah dan Rasul-Nya serta memeluk Islam. Mudah-mudahan mereka mendapat hidayah dari Allah. Jika tidak, aku akan menyakiti mereka dengan merusak agama nenek moyang mereka seperti aku pernah menyakiti para sahabatmu.” Rasulullah memberinya izin.

Umair ibn Wahab kembali ke Makkah

Kemudian Umair kembali ke Makkah untuk meluruskan apa yang selama ini ia rusak dan mengajak orang Makkah, baik yang ia kenal maupun yang tidak ia kenalnya untuk memeluk agama Allah.

Shafwan terus menantikan kabar tentang upaya yang Umair telah lakukan. Bahkan, ia telah sesumbar kepada kaum Quraisy bahwa sebentar lagi mereka akan mendengar kabar yang sangat menggembirakan. Ia tidak tahu bahwa rencana Allah berjalan menyalahi keinginan dan harapannya. Ketika ia menantikan kabar gembira dari Umair, seseorang datang menemuinya dan berkata, “Hai Shafwan, tahukah kamu bahwa Umair ibn Wahab telah memeluk agama Muhammad?”

Keterkejutan Shafwan ibn Umayyah

Tentu saja kabar itu sangat mengejutkan, bagaikan mendengar halilintar di hari yang terang. Ia sama sekali tak menyangka, kenyataan berbeda jauh dari harapan. Saking kesal dan kecewa, Shafwan jatuh pingsan. Setelah sadar, ia bersumpah tidak akan berbicara dengan Umair dan tidak akan memberi apa pun kepada keluarganya.

Shafwan memutuskan hubungan kekeluargaan dengan Umair dan keluarganya. Baginya, hubungan dengan Umair dan keluarganya tak sedikit pun membawa manfaat bagi dirinya dan kaumnya. Namun, Umair mendatangi Shafwan di Hijir Ismail tempat yang sebelumnya mereka pergunakan untuk merundingkan pembunuhan Muhammad. Umair memanggilnya, “Wahai Shafwan!”

Shafwan ibn Umayyah memusuhi Umair ibn Wahab

Shafwan berpaling darinya dengan muka masam. Tanpa memedulikan sikapnya, Umair berkata, “Hai Shafwan, engkau termasuk salah seorang pemimpin kami. Hai Shafwan, tidakkah kau menyadari kesesatan kita selama ini dengan terus-terusan menyembah batu dan memberinya kurban sembelihan? Aku bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”

Tak sepatah pun kata yang keluar dari mulut Shafwan. Kata-kata Umair itu tak mampu melunakkan kesombongan dan kebengalannya. Ia tetap memegang teguh agama leluhurnya. Mulutnya terkatup diam, sementara hatinya memendam amarah dan kebencian. Ia kesal karena merasa dirugikan oleh Umair. Semakin kesal dan marah karena Umair menyeru kaumnya menuju ajaran Muhammad.

Ibn Ishaq menuturkan, setibanya di Makkah, Umair menetap di sana, dan ia terus berusaha mengajak semua orang kepada Islam. Ia akan melawan siapa pun yang menentangnya. Berkat usahanya, tidak sedikit orang Makkah yang memeluk Islam.

Permintaan Umair ibn Wahab untuk perlindungan Shafwan

Peristiwa Futuḥ Makkah membuat Shafwan tidak berkutik sehingga ia berniat pindah ke Jeddah. Ketika mengetahui keinginan Shafwan untuk pergi, Umair ibn Wahab merasa prihatin. Ia segera menghadap Rasulullah saw. meminta perlindungan bagi Shafwan. Beliau menerima permohonannya dan memberikan selimut atau selendang (ada juga yang mengatakan, beliau memberikan surban yang dikenakan saat Futuḥ Makkah) untuk diberikan kepada Shafwan sebagai tanda bahwa ia dalam perlindungan beliau.

Umair menemui Shafwan ketika ia telah siap-siap berangkat ke Jeddah. Ia meyakinkan Shafwan bahwa Rasulullah saw. berkenan memberi perlindungan kepadanya seraya memperlihatkan bukti berupa selendang dari beliau. Setelah meyakinkan Shafwan, keduanya segera menghadap Rasulullah saw. yang tengah berada di tengah-tengah khalayak. Shafwan berseru, “Wahai Muhammad, orang ini (Umair ibn Wahab) mengatakan bahwa engkau memberiku perlindungan selama dua bulan.”

Rasulullah saw. menjawab, “Tinggallah bersama Abu Wahab!”

Shafwan berkata, “Tidak, kecuali engkau menjelaskannya sendiri kepadaku.”

Rasulullah saw. bersabda, “Tinggallah, dan kau punya waktu selama empat bulan.”

Mendengar jawaban Rasulullah, barulah Shafwan yakin dan bersedia tinggal bersama Umair. Berkat upaya Umair, Shafwan akhirnya mau memeluk Islam meskipun cukup lambat karena ia baru bersyahadat setelah Perang Hunain.(St.Diyar)

Referensi:Muhammad Raji Hasan Kinas, Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi, 2012


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement