Surau.co. Dalam lembar-lembar tua Al-Ishrāt wa al-Tanbīhāt, Ibn Sīnā berbicara dengan cara yang anehnya dekat dengan kehidupan sehari-hari kita. Ia seakan melihat alam sebagai sahabat yang bernafas bersama manusia. Angin, misalnya, bukan sekadar hembusan yang menggoyang pepohonan, tetapi gerak yang tidak pernah mengenal lelah. Fisika baginya bukan hitungan kaku, melainkan tarian abadi yang diiringi oleh jiwa kosmos.
Sejak paragraf awal buku itu, Ibn Sīnā mengajarkan bahwa segala yang bergerak tidak berdiri sendiri, tetapi selalu memiliki sebab. Gerak adalah anak dari dorongan, dan dorongan adalah bayangan dari tujuan. Angin pun bergerak karena matahari memanggil laut untuk menguapkan airnya, lalu bumi menggerakkan udara agar keseimbangan tidak roboh. Dari situ kita belajar bahwa dunia ini adalah jaringan saling kait, bukan fragmen terpisah.
Gerak dan kehidupan sehari-hari
Kita bisa merasakan apa yang dimaksud Ibn Sīnā ketika berdiri di jalan sore hari. Hembusan angin yang mengenai wajah adalah pengingat bahwa segala sesuatu bekerja tanpa henti, meski mata kita sering lalai. Ibn Sīnā menulis:
«كُلُّ حَرَكَةٍ لَا بُدَّ لَهَا مِنْ مُحَرِّكٍ، إِمَّا مِنْ دَاخِلٍ أَوْ مِنْ خَارِجٍ»
“Setiap gerak pasti memiliki penggerak, entah dari dalam dirinya atau dari luar.”
Kalimat ini terlihat sederhana, namun bila direnungkan, ia menjelaskan bukan hanya fisika, melainkan juga kehidupan batin. Setiap langkah manusia tidak pernah netral; ada sesuatu yang menggerakkan dari dalam: niat, harapan, atau cinta.
Nafas Al-Qur’an dalam gerak kosmos
Al-Qur’an pun berulang kali menggambarkan gerak angin, laut, dan langit sebagai tanda. Allah berfirman:
وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ
“Dan Dialah yang mengirimkan angin sebagai pembawa kabar gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya.” (QS. Al-A‘rāf: 57)
Ayat ini bukan sekadar tentang cuaca. Ia berbicara tentang ritme kehidupan: setiap hembusan adalah janji. Angin yang bergerak mengawali hujan, hujan menghidupkan bumi, dan bumi melahirkan kehidupan. Ibn Sīnā menyatukan pandangan ini dengan filsafatnya—bahwa tidak ada gerak yang sia-sia.
Angin sebagai pelajaran jiwa
Bagi Ibn Sīnā, memahami fisika bukan sekadar tahu bagaimana benda bergerak, tetapi mengerti bagaimana jiwa belajar dari gerakan itu. Dalam kitabnya, ia berkata:
«إِنَّ النَّفْسَ تَشْتَاقُ إِلَى الْكَمَالِ كَمَا يَشْتَاقُ الْجِسْمُ إِلَى السُّكُونِ»
“Sesungguhnya jiwa merindukan kesempurnaan sebagaimana tubuh merindukan ketenangan.”
Gerak angin mengajarkan bahwa jiwa kita pun tidak pernah lelah. Ia mencari, berpindah, mengejar cahaya, hingga suatu hari mencapai ketenangan. Maka fisika di sini menjadi cermin dari psikologi: gerak luar adalah simbol dari gerak dalam.
Mengikat sains dengan rasa
Ada momen ketika Ibn Sīnā berbicara seperti seorang penyair. Ia menulis:
«الطَّبِيعَةُ إِذَا خُلِّيَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ ذَاتِهَا طَلَبَتِ الْمَقَامَ الأَوَّلَ»
“Alam, bila dibiarkan pada dirinya, selalu kembali menuju keadaan asalnya.”
Kutipan ini bisa kita lihat dalam daun yang jatuh dari pohon. Ia selalu mencari tanah, tempat asalnya. Begitu pula manusia, meski terseret oleh kesibukan, hatinya rindu pulang kepada Sumber. Dalam kalimat sederhana itu, Ibn Sīnā menyelipkan kebijaksanaan bahwa hukum alam adalah hukum jiwa.
Refleksi tentang kelelahan manusia
Kita sering merasa penat, seakan hidup hanya putaran tanpa henti. Namun angin mengajarkan bahwa gerak tidak selalu berarti beban. Angin bergerak tanpa pernah bertanya: kapan aku berhenti? Ia hanya taat pada panggilan. Dari sini kita diajak untuk melihat ulang lelah kita. Mungkin lelah bukan tanda akhir, melainkan bagian dari aliran menuju tujuan.
Ibn Sīnā menulis lagi:
«الْحَرَكَةُ دَلِيلٌ عَلَى حَيَاةٍ مَا، وَالسُّكُونُ دَلِيلٌ عَلَى فَقْدٍ مَا»
“Gerak adalah tanda kehidupan, sementara diam adalah tanda kehilangan.”
Kita bisa memahami betapa pentingnya terus bergerak, meski pelan, meski terseok. Diam total justru berarti terputus dari kehidupan itu sendiri.
Menemukan cahaya dalam angin
Akhirnya, ajaran fisika Ibn Sīnā tentang angin dan gerak bukan sekadar kajian ilmiah. Ia adalah undangan untuk menatap kehidupan dengan cara berbeda. Kita bisa melihat angin sebagai bisikan cinta yang tidak pernah letih. Kita bisa merasakan hukum alam sebagai nada musik yang menuntun jiwa pulang.
Dalam perjalanan sehari-hari, ketika angin lewat di wajah kita, mungkin itu bukan hanya udara. Mungkin itu pesan: bahwa hidup ini bergerak menuju cahaya, sebagaimana angin tidak pernah berhenti mengabarkan kehadiran-Nya.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
