Surau.co. Sejak lama manusia bertanya dalam hatinya: apakah Tuhan dapat ditemukan dengan bukti yang nyata, ataukah Dia hanya dapat dirasakan melalui hening yang dalam? Pertanyaan ini tidak asing, karena sejak fajar sejarah, manusia telah mencari jejak-Nya di langit, di bumi, di kitab, bahkan di dirinya sendiri. Ibn Sīnā, dalam karyanya Al-Ishrāt wa al-Tanbīhāt, memberikan isyarat yang halus dan peringatan yang kuat tentang bagaimana akal dan jiwa berjalan bersama menuju pengenalan kepada Tuhan.
Kitab ini bukan sekadar catatan filsafat, tetapi juga sebuah jalan yang menghubungkan logika dengan renungan batin. Dalam setiap isyarat, Ibn Sīnā seakan berbisik kepada pencari: “Jangan berhenti pada kata, tetapi tembuslah ke makna.”
Akal sebagai Cahaya yang Membimbing
Di antara ajaran yang paling kuat dalam Al-Ishrāt wa al-Tanbīhāt adalah penjelasan tentang peran akal. Ibn Sīnā menulis:
“العَقْلُ نُورٌ يُبْصِرُ بِهِ الإِنْسَانُ الحَقَّ مِنَ البَاطِلِ”
“Akal adalah cahaya yang dengannya manusia dapat melihat yang benar dari yang batil.”
Akal, bagi Ibn Sīnā, adalah lentera. Namun, lentera hanya berarti jika ada minyaknya. Minyak itu adalah pengalaman hidup, zikir, dan kesadaran akan kehadiran Ilahi. Tanpa minyak, cahaya padam. Tanpa akal, hati mudah terjebak pada kegelapan ilusi.
Fenomena ini terasa dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang bisa terjebak dalam keramaian kota, bising suara mesin, dan deru ambisi. Namun, ketika ia duduk sejenak dalam keheningan, akalnya kembali jernih. Hening itu sendiri melahirkan bukti yang tidak dapat diabaikan: bahwa ada Yang Maha Ada, bahkan ketika dunia seakan lenyap dalam keletihan.
Hening yang Menjadi Bukti
Al-Qur’an telah mengajarkan bahwa tanda-tanda Tuhan bukan hanya dalam ayat tertulis, tetapi juga dalam keheningan ciptaan. Allah berfirman:
﴿إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ﴾
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.” (QS. Āli ‘Imrān: 190)
Ibn Sīnā menegaskan dalam isyaratnya:
“كُلُّ مُمْكِنٍ يَفْتَقِرُ إِلَى الْوَاجِبِ”
“Setiap yang mungkin (makhluk) bergantung pada Yang Wajib (Allah).”
Artinya, semua hal yang kita lihat, dengar, dan rasakan, tidak berdiri sendiri. Mereka semua berbisik dalam diam: “Kami ada karena Dia.”
Jalan Jiwa dalam Pencarian
Lebih jauh, Ibn Sīnā berbicara tentang jiwa. Ia tidak hanya menganggap jiwa sebagai nafas kehidupan, tetapi sebagai saksi yang selalu rindu kepada asalnya. Dalam kitabnya, ia berkata:
“النَّفْسُ تَشْتَاقُ إِلَى مَبْدَئِهَا كَمَا يَشْتَاقُ الْمُغْتَرِبُ إِلَى وَطَنِهِ”
“Jiwa merindukan asalnya sebagaimana seorang perantau merindukan tanah airnya.”
Kutipan ini begitu dekat dengan pengalaman manusia. Setiap orang pernah merasa asing, bahkan ketika berada di rumah sendiri. Rasa asing itu adalah isyarat halus bahwa jiwa sedang mencari jalan pulang. Dan jalan itu, menurut Ibn Sīnā, hanya ditemukan ketika jiwa menyingkap tirai dunia lalu mendekat pada Tuhan.
Bukti yang Tidak Membutuhkan Suara
Sering kali manusia ingin bukti yang keras, yang dapat disentuh dan dipegang. Tetapi Ibn Sīnā mengingatkan bahwa ada bukti yang justru lahir dari hening. Ia menulis:
“مَعْرِفَةُ الْحَقِّ تَكُونُ بِحُضُورِهِ لَا بِالْجِدَالِ”
“Pengenalan terhadap Yang Benar terjadi melalui kehadiran-Nya, bukan melalui perdebatan.”
Kalimat ini sederhana, tetapi dalam. Bukti tentang Tuhan tidak lahir dari argumentasi panjang yang kaku. Ia muncul dalam momen-momen sunyi, ketika hati terlepas dari hiruk-pikuk. Sama seperti ketika seseorang memejamkan mata di tengah malam dan merasakan kehadiran yang lembut, lebih nyata dari segala suara yang pernah terdengar.
Aksi Nyata dalam Kehidupan
Renungan Ibn Sīnā tidak berhenti di ruang filsafat. Ia mengajak manusia untuk bertindak. Jika akal adalah cahaya, maka cahaya itu harus dipakai untuk berjalan di jalan yang benar. Jika jiwa merindukan Tuhan, maka rindunya harus ditanggapi dengan amal.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
“أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ”
“Amal yang paling dicintai Allah adalah yang terus-menerus meski sedikit.” (HR. Bukhārī dan Muslim)
Bukti sejati tentang keimanan bukanlah kata-kata, melainkan tindakan kecil yang berulang: menolong sesama, menahan amarah, menanam pohon, mengingat Allah dalam hati. Dari tindakan itu lahir bukti yang lebih kuat daripada seribu argumen.
Penutup: Isyarat yang Mengantarkan Pulang
Kitab Al-Ishrāt wa al-Tanbīhāt mengajarkan bahwa bukti tentang Tuhan tidak selalu datang dengan suara yang mengguncang. Kadang ia hadir dalam diam, dalam hening, dalam tatapan jiwa yang kembali ke asalnya. Ibn Sīnā menulis dengan isyarat, bukan untuk mengaburkan, tetapi agar pencari memahami bahwa Tuhan bukan sekadar ide. Dia adalah kehadiran yang lebih dekat dari denyut nadi.
Maka, ketika malam menjadi sepi dan hati kita sunyi, jangan kira itu kekosongan. Justru di situlah lahir bukti yang paling murni: bahwa Tuhan senantiasa hadir, meski tanpa suara.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
