Surau.co. Dalam pusaran kehidupan yang fana, manusia senantiasa berhadapan dengan pertanyaan mendasar: apakah wujud itu nyata karena zat, ataukah zat mendapat cahaya dari wujud? Pertanyaan ini telah menjadi renungan para filsuf sejak masa lampau, dan Ibn Sīnā dalam Al-Ishrāt wa al-Tanbīhāt memberi isyarat mendalam tentang hubungan antara keduanya. Wujud dan zat tidak sekadar konsep filsafat; keduanya adalah cermin yang memantulkan hakikat keabadian, seakan dua wajah yang saling mengingatkan akan Sang Pencipta.
Jejak Ibn Sīnā dalam Cahaya Isyarat
Ibn Sīnā, atau yang dikenal di Barat dengan nama Avicenna, menyusun Al-Ishrāt wa al-Tanbīhāt bukan sekadar sebagai kitab filsafat, melainkan juga sebagai jalan tafakur. Ia memberi “isyarat” (ishrāt) bagi pencari kebenaran, dan “tanbīh” sebagai peringatan bagi mereka yang lalai. Di dalamnya, ia mengurai persoalan wujud, zat, akal, jiwa, dan kebahagiaan akhir. Kitab ini tidak hanya membicarakan logika dingin, tetapi juga mengandung aroma spiritual yang mendekatkan filsafat pada doa.
Salah satu kalimat yang meneguhkan pemahaman itu berbunyi:
“الوُجُودُ أَشْرَفُ مِنَ الْمَاهِيَّةِ، لِأَنَّهُ بِهِ يَتَحَقَّقُ الْمَوْجُودُ”
“Wujud lebih mulia daripada mahiyah (hakikat/zat), karena dengan wujudlah sesuatu menjadi nyata.”
Kata-kata ini mengingatkan kita bahwa segala hakikat yang kita kenal hanyalah bayangan, sementara yang membuatnya hidup adalah cahaya wujud yang datang dari Allah.
Fenomena Sehari-hari: Bayangan dan Sinar
Bayangkan seseorang berdiri di bawah matahari sore. Ia melihat bayangan dirinya jatuh ke tanah. Bayangan itu memiliki bentuk, tetapi bukanlah dirinya. Zat adalah bayangan, sementara wujud adalah sinar yang membuat bayangan terlihat. Tanpa cahaya, bayangan menghilang. Tanpa wujud, zat hanyalah nama kosong.
Ibn Sīnā menyinggung hal ini dalam isyaratnya:
“الْمَاهِيَّةُ مُمْكِنَةٌ فِي نَفْسِهَا، وَإِنَّمَا تَحْتَاجُ إِلَى الْوُجُودِ لِتَتَحَقَّقَ”
“Zat itu mungkin pada dirinya, tetapi ia membutuhkan wujud agar benar-benar nyata.”
Seperti secangkir kopi yang diletakkan di meja. Cangkir itu memiliki bentuk, tetapi keberadaannya tidak mungkin tanpa wujud yang meneguhkan keberadaannya di ruang dan waktu.
Sentuhan Al-Qur’an: Wujud dalam Panggilan Ilahi
Al-Qur’an mengingatkan manusia bahwa keberadaan bukanlah milik kita sepenuhnya. Allah berfirman:
﴿كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ﴾
“Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya.” (QS. al-Qashash: 88)
Ayat ini bersuara lembut, seakan berkata: segala zat, segala bentuk, segala nama, pada akhirnya rapuh. Yang abadi hanyalah wujud Ilahi. Ibn Sīnā dengan filsafatnya tidak jauh dari gema ayat ini.
Dalam Al-Ishrāt wa al-Tanbīhāt ia menulis:
“الْمُمْكِنُ لَا يَسْتَغْنِي عَنِ الْوَاجِبِ”
“Yang mungkin (zat makhluk) tidak pernah lepas dari yang Wajib (Allah).”
Zat, Wujud, dan Jalan Jiwa
Ketika seseorang merenungkan hidupnya, ia menemukan bahwa tubuhnya hanyalah zat: daging, tulang, darah. Namun, apa yang membuat tubuh itu bergerak, merasa, dan mencintai? Itulah wujud jiwa. Ibn Sīnā menjelaskan:
“النَّفْسُ جَوْهَرٌ بَاقٍ، لَا يَفْنَى بِفَنَاءِ الْجَسَدِ”
“Jiwa adalah substansi yang tetap, tidak hancur bersama hancurnya jasad.”
Manusia adalah perpaduan antara zat yang sementara dan wujud jiwa yang terus mencari keabadian.
Di sinilah pesan kehidupan berbicara: jangan terlalu larut dalam rupa fisik, karena ia hanyalah wadah. Jagalah wujud jiwa dengan amal, zikir, dan cinta.
Makna Praktis: Cermin bagi Kehidupan
Ketika Ibn Sīnā berbicara tentang wujud dan zat, ia sesungguhnya sedang mengajarkan cara memandang kehidupan dengan dua mata yang jernih.
Wujud: cahaya yang menghidupkan segala.
Zat: wadah yang menampung cahaya itu.
Tanpa cahaya, wadah kosong. Tanpa wadah, cahaya tidak dikenal. Maka hidup adalah keseimbangan: merawat tubuh, tetapi lebih dalam lagi, memurnikan jiwa.
Seperti seseorang yang menatap cermin. Ia melihat wajahnya, tetapi menyadari bahwa yang tampak hanyalah pantulan. Cermin mengingatkan bahwa ada wajah asli di hadapannya, dan wajah itu sendiri mengarah pada Sang Wujud.
Jalan Cinta Menuju Keabadian
Gaya Ibn Sīnā yang tajam, bila dibaca dengan hati, ternyata tidak kering. Ia seakan berjalan di jalan yang sama dengan para penyair mistik. Cinta kepada Allah adalah cahaya wujud, sementara amal manusia adalah zat yang mencerminkan cinta itu.
Sebagaimana Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
“الدُّنْيَا مَزْرَعَةُ الْآخِرَةِ”
“Dunia adalah ladang bagi akhirat.” (HR. al-Baihaqī)
Dunia adalah wadah, akhirat adalah wujud yang sejati. Maka, jangan sia-siakan wadah, tetapi jangan pula tertipu olehnya.
Penutup: Dua Cermin di Hadapan Kita
Wujud dan zat bukanlah sekadar istilah filsafat. Ia adalah dua cermin yang mengajarkan manusia bagaimana menatap keabadian. Ibn Sīnā melalui Al-Ishrāt wa al-Tanbīhāt menuntun kita untuk melihat bahwa apa yang kita sebut ada hanyalah mungkin, sedangkan keberadaannya disempurnakan oleh Wajibul Wujud.
Dalam keheningan malam, ketika bayangan diri kita hilang tertelan gelap, kita dapat bertanya: siapakah yang sesungguhnya ada? Saat itulah kita mengerti, hanya Dia yang tak pernah hilang.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
