SURAU.CO-Umar ibn al-Khattab adalah seorang sahabat Nabi dari suku Quraisy keturunan Bani Adi. Ayahnya bernama al-Khattab ibn Nufail ibn Abdil Uzza dan ibunya bernama Hantamah binti Hasyim ibn al-Mughirah. Umar menikahi Zainab binti Mazh‘im yang melahirkan untuknya dua orang anak, yaitu Abdullah ibn Umar dan Hafshah binti Umar—Ummul Mukminin. Karena itulah Umar dipanggil dengan nama Abu Hafsah.
Kebencian yang membesar pada Rasulullah
Ajaran Islam mampu mengubah seseorang yang sangat buruk menjadi orang yang sangat baik; Islam mampu memberi cahaya hidayah ke dalam hati seseorang dan melunakkannya meskipun hati itu sekeras karang. Pada masa Jahiliyah, Umar terkenal sebagai orang yang sangat membenci Nabi saw. dan kaum muslim. Setiap waktu ia selalu ingin menyakiti mereka, apalagi ia merupakan salah seorang pemuka Quraisy.
Sebagai salah seorang pemuka Quraisy, Umar sering menjadi utusan untuk menghadapi satu kaum. Ketika kaum Quraisy sedang berperang melawan pihak lain, orang yang berada pada barisan pertama Quraisy adalah Umar. Semakin hari, kebencian Umar kepada Muhammad semakin besar, seiring dengan semakin banyaknya orang Makkah yang memeluk Islam. Muncul keinginan untuk (membunuh) Rasulullah saw. dan keinginan itu terus dipupuknya hingga semakin kuat tak terbendung. Ia ingin agar kaum Quraisy terlepas dari gangguan Muhammad dan para pengikutnya yang ia anggap telah merusak ketenteraman dan ketenangan mereka karena sering menghina agama dan tuhan-tuhan mereka.
Awalnya hendak membunuh Rasulullah, tapi…
Umar telah bertekad bulat untuk membunuh Nabi Muhammad saw. Suatu hari, ia berjalan menyusuri jalanan Makkah dengan pedang terhunus. Niatnya hanya satu: mencari Muhammad dan membunuhnya. Namun, di tengah perjalanan ia bertemu dengan Nu‘aim ibn Abdillah yang menanyakan tujuannya.
Ketika itu kemarahan telah memenuhi dada Umar sehingga ia menjawab dengan kasar, “Aku akan membunuh pembawa ajaran baru ini. Dia telah merusak kehidupan kita. Aku ingin kaum Quraisy tidak lagi diresahkan oleh keberadaannya.”
Nu‘aim berkata, “Demi Allah, sikapmu terlalu berlebihan, Umar. Apakah kaukira Bani Abdu Manaf akan berdiam diri jika kau membunuh Muhammad? Bukankah lebih baik jika kautemui keluargamu sendiri dan meluruskan mereka?”
Umar bertanya heran, “Ada apa dengan keluargaku?”
Nu‘aim menjawab, “Demi Allah, adik iparmu, yaitu anak pamanmu Said ibn Zaid, dan adikmu sendiri, Fatimah, telah mengikuti agama Muhammad! Pergilah temui mereka dan cari tahu kebenarannya!”
Amarah pada adik dan adik iparnya
Tentu saja amarah Umar ibn al-Khattab semakin bergejolak. Ia tersinggung dan murka mendengar kabar itu. Dengan langkah yang panjang dan cepat ia berjalan menuju rumah adiknya. Pada saat yang sama, Fatimah beserta suaminya sedang belajar mengaji kepada Khabbab ibn al-Arat. Ketika mendengar pintu diketuk dengan keras, Khabbab langsung bersembunyi. Penghuni rumah terkesiap dan kaget bukan kepalang ketika melihat Umar ibn al-Khattab berdiri di muka pintu mereka. Rasa takut segera merasuki dada Fatimah dan suaminya, Said. Namun, keduanya berupaya menenangkan diri dan menyerahkan segala urusan kepada Allah. Dengan suara yang keras penuh amarah Umar bertanya, “Benarkah kalian berdua telah pindah agama dan mengikuti agama Muhammad?”
Belum sempat pertanyaan itu dijawab, Umar berpaling kepada adik iparnya dan memukulnya bertubi-tubi hingga Said jatuh tersungkur. Fatimah bermaksud menolong suaminya, tetapi ia pun tak luput dari tamparan Umar hingga hidungnya berdarah. Melihat darah yang mengucur membasahi wajah Fatimah, kemarahan Umar reda. Ia menyesal dan merasa kasihan kepada adiknya. Setelah kemarahannya benar-benar reda, Umar minta adiknya memperlihatkan lembaran mushaf yang baru saja didengarnya sebelum mengetuk pintu rumah.
Fatimah menjawab, “Kau tidak pantas menyentuhnya hingga kau bersuci lebih dulu.”
Umar mengikuti saran adiknya dan ia bersuci sesuai dengan cara-cara yang Fatimah ajarkan. Barulah kemudian Fatimah memberikan lembaran-lembaran mushaf itu. Setelah mushaf dibuka, ternyata firman Allah Swt. yang berbunyi:
Umar takjub menyaksikan keindahan bahasa Al-Qur’an sehingga terlontar ucapan, “Indah sekali perkataan ini dan betapa mulia.” Mendengar pengakuan Umar yang begitu tulus, Khabbab memberanikan diri keluar dari persembunyiannya, dan berkata kepada Umar,
“Demi Allah, hai Umar, aku berharap engkaulah yang dimaksud dalam doa Nabi saw., ‘Ya Allah, muliakanlah Islam dengan salah seorang dari dua lelaki yang lebih Engkau cintai, Umar ibn al-Khattab atau Amr ibn Hisyam (Abu Jahal).’”
Menuju rumah al-Arqam untuk berislam
Umar tersanjung dan merasa senang mendengar penuturan Khabbab tentang doa Rasulullah saw. Kemudian ia menanyakan keberadaan Nabi saw. dan Khabbab menunjukkan rumah al-Arqam ibn Abu al-Arqam yang terletak di dekat bukit Shafa.
Umar segera berangkat ke sana dan setibanya di depan pintu rumah itu ia langsung mengetuknya. Seorang lelaki melihatnya dan berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, di depan ada Umar ibn al-Khattab datang dengan pedang terhunus.”
Hamzah berkata, “Izinkan ia masuk, wahai Rasulullah. Jika ia bermaksud baik, kami akan membiarkannya. Tetapi jika ia bermaksud jahat, kami akan membunuhnya dengan pedangnya sendiri.”
Rasulullah saw. bersabda, “Izinkan ia masuk.”
Ketika Umar memasuki rumah, Rasulullah saw. berdiri, mengencangkan ikat pinggang, lalu bertanya, “Apa yang membawamu datang ke sini, wahai putra al-Khattab? Demi Allah, aku melihatmu tidak pernah berhenti sampai Allah menurunkan bahaya besar kepadamu.” Dengan suara lemah Umar menjawab, “Aku datang untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta pada ajaran yang dibawanya dari Allah Swt.”
Mendengar ucapan Umar ibn al-Khattab, seluruh kaum muslim yang hadir mengumandangkan takbir, suara mereka menggema di seluruh sudut kota Makkah.
Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, Umar berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, bukankah kita dalam kebenaran, baik kita hidup ataupun mati?”
Beliau menjawab, “Benar.”
“Lalu mengapa kita sembunyi-sembunyi? Demi Zat yang telah mengutusmu sebagai nabi dengan membawa kebenaran, Tuan harus keluar.”
Setelah itu Nabi saw. keluar diiringi dua barisan, di barisan belakang ada Hamzah ibn Abdul Muthalib dan di barisan depan Umar ibn al-Khattab. Pemandangan ini tentu membuat ciut hati para pemuka Quraisy. Mereka tahu, Islam semakin kokoh setelah Hamzah dan Umar menjadi pemeluknya.
Mengundang kegusaran pemuka Quraisy
Tampaknya Umar benar-benar ingin membuat gerah para pemuka Quraisy, termasuk orang yang paling sengit memusuhi Rasulullah, yaitu Abu Jahal. Umar pun mendatangi rumah Abu Jahal dan langsung mengetuk pintunya dengan keras. Abu Jahal membuka pintu dan menyambutnya, “Selamat datang, wahai putra al-Khattab. Apa gerangan yang membawamu berkunjung ke sini?”
Umar menjawab, “Aku datang untuk memberitahukan kepadamu bahwa aku sudah memeluk Islam dan menjadi pengikut Muhammad saw.”
Jawaban Umar itu tentu saja membuat Abu Jahal murka. Ia langsung membanting pintu sambil mengumpat, “Celakalah kau! Kau datang hanya untuk ini! Meski langit runtuh di tengah-tengah kaum Quraisy, aku takkan meninggalkan ajaran leluhurku, tidak seperti Hamzah dan Umar.”
Umar ibn Khattab : pembeda antara yang benar dan yang batil
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Ayyub ibn Musa, Rasulullah saw. bersabda,
“Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran atas lisan Umar dan hatinya. Dialah al-Faruq (Sang Pembeda) yang membedakan antara yang benar dan yang batil.”
Abdullah ibn Mas‘ud berkata, “Masuknya Umar ke dalam Islam merupakan kemenangan, hijrahnya adalah pertolongan, dan kepemimpinannya adalah rahmat. Sebelum ia memeluk Islam, kami tak berani mendirikan salat di Baitullah. Setelah memeluk Islam, Umar memerangi mereka dan mereka meninggalkan kami sehingga kami dapat mendirikan salat dengan bebas.”(St.Diyar)
Referensi:Muhammad Raji Hasan Kinas, Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi, 2012
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
