Dalam kehidupan sehari-hari, makanan adalah salah satu nikmat terbesar yang Allah SWT karuniakan kepada umat manusia. Lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan primer, makanan juga menjadi medium untuk berinteraksi, bersosialisasi, dan merayakan keberkahan. Namun, seringkali kita lupa akan etika dan adab yang sepatutnya kita junjung tinggi terkait dengan makanan. Islam, sebagai agama yang sempurna, telah mengatur segala aspek kehidupan, termasuk cara kita berinteraksi dengan makanan. Salah satu ajaran penting yang sering diabaikan adalah larangan mencela makanan.
Pentingnya Menghargai Makanan dalam Ajaran Islam
Mencela makanan adalah tindakan yang tidak mencerminkan rasa syukur dan penghormatan terhadap rezeki yang diberikan Allah SWT. Nabi Muhammad SAW, sebagai teladan utama umat Islam, selalu mengajarkan pentingnya menghargai makanan. Beliau tidak pernah mencela makanan yang disajikan kepadanya. Jika beliau menyukainya, beliau memakannya; jika tidak, beliau meninggalkannya tanpa mengucapkan kata-kata negatif.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, “Nabi Muhammad SAW tidak pernah mencela makanan sama sekali. Jika beliau menyukainya, beliau memakannya. Jika beliau tidak menyukainya, beliau meninggalkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menunjukkan kepada kita sebuah prinsip dasar yang fundamental: adab dalam menerima dan menyikapi rezeki. Nabi SAW mengajarkan kita untuk tidak hanya menahan lisan dari celaan, tetapi juga menanamkan rasa syukur dalam hati terhadap apa pun yang tersaji di hadapan kita.
Mengapa Islam Melarang Mencela Makanan?
Larangan mencela makanan ini memiliki banyak dimensi filosofis dan praktis. Mari kita telaah beberapa di antaranya:
-
Ekspresi Rasa Syukur: Makanan adalah rezeki dari Allah. Mencela makanan sama dengan tidak mensyukuri nikmat-Nya. Allah SWT berfirman, “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya.” (QS. An-Nahl: 18). Rasa syukur adalah inti dari keimanan, dan setiap hidangan adalah pengingat akan kemurahan-Nya.
-
Menghormati Pemberi Rezeki (Allah SWT) dan Pembuat Makanan: Ketika kita mencela makanan, secara tidak langsung kita merendahkan karunia Allah dan juga usaha orang yang telah menyiapkan makanan tersebut. Mungkin seorang ibu, istri, juru masak, atau bahkan petani yang telah bekerja keras. Islam mengajarkan kita untuk menghormati sesama manusia dan hasil kerja keras mereka.
-
Adab dan Etika Sosial: Mencela makanan di hadapan orang lain dapat menyinggung perasaan mereka. Ini adalah bentuk perilaku tidak sopan yang bertentangan dengan prinsip ukhuwah (persaudaraan) dalam Islam. Menjaga perasaan sesama Muslim adalah bagian integral dari ajaran agama kita.
-
Menjaga Keberkahan Makanan: Makanan yang dicela berpotensi kehilangan keberkahannya. Keberkahan dalam makanan tidak hanya terkait dengan nutrisi, tetapi juga kedamaian hati dan manfaat spiritual yang didapatkan dari mengonsumsinya. Dengan bersyukur, kita justru mengundang lebih banyak keberkahan.
-
Menghindari Pemborosan dan Kesombongan: Mencela makanan bisa mengarah pada sikap tidak peduli terhadap makanan, bahkan membuangnya. Islam sangat melarang pemborosan. Selain itu, sikap mencela bisa muncul dari kesombongan, merasa lebih baik atau lebih pantas mendapatkan yang lebih baik, padahal semua adalah pemberian dari Sang Pencipta.
Adab-Adab Lain Terkait Makanan dalam Islam
Selain larangan mencela, Islam juga mengajarkan beberapa adab lain terkait makanan yang sangat relevan untuk kehidupan modern kita:
-
Membaca Basmalah Sebelum Makan: Memulai makan dengan menyebut nama Allah (bismillah) adalah cara untuk memohon keberkahan dan mengingat bahwa semua rezeki datang dari-Nya.
-
Makan dengan Tangan Kanan: Ini adalah sunah Nabi SAW dan menunjukkan adab yang baik.
-
Tidak Berlebihan dalam Makan: Makan secukupnya untuk menghilangkan lapar dan menjaga kesehatan adalah ajaran penting. Nabi SAW bersabda, “Tidaklah anak Adam memenuhi bejana yang lebih buruk dari perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap makanan untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika harus mengisinya, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk nafasnya.” (HR. Tirmidzi).
-
Membersihkan Piring Setelah Makan: Ini juga merupakan sunah Nabi SAW dan menunjukkan rasa syukur serta menghindari pemborosan.
-
Mengucapkan Hamdalah Setelah Makan: Mengakhiri makan dengan alhamdulillah (segala puji bagi Allah) adalah puncak dari rasa syukur.
-
Makan Bersama-sama: Makan bersama keluarga atau teman dapat meningkatkan tali silaturahmi dan keberkahan.
Refleksi Diri di Era Modern
Di era konsumsi yang serba cepat dan pilihan makanan yang melimpah, godaan untuk mencela atau membandingkan makanan semakin besar. Restoran, media sosial, dan tren kuliner seringkali membentuk ekspektasi yang tinggi terhadap “kesempurnaan” makanan. Namun, sebagai seorang Muslim, kita harus kembali pada ajaran Nabi SAW yang sederhana namun mendalam: menghargai setiap suap, mensyukuri setiap hidangan, dan memahami bahwa makanan bukan hanya tentang rasa, tetapi juga tentang berkah dan adab.
Mari kita jadikan setiap hidangan sebagai momen untuk merenungkan nikmat Allah, meningkatkan rasa syukur, dan meneladani akhlak mulia Rasulullah SAW. Dengan demikian, makanan tidak hanya menjadi pengisi perut, tetapi juga penyehat jiwa dan peningkat kualitas ibadah kita. Mengembangkan adab yang baik terhadap makanan merupakan cerminan dari hati yang bersyukur dan jiwa yang qana’ah (merasa cukup).
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
