SURAU.CO – Kenabian Muhammad SAW sebagai Rasulullah penutup, merupakan titik balik yang sangat penting dalam sejarah peradaban dunia. Sebelum kemunculan beliau di Makkah pada abad ke-6 Masehi, telah ada keyakinan yang mengakar kuat pada kalangan umat Islam. Bahwa kedatangan beliau bukanlah sebuah kejutan tanpa dasar, melainkan sebuah peristiwa yang telah terdengar sebelumnyaoleh para nabi dan rasul. Dasar keyakinan ini berpijak pada konsep bisyaroh atau kabar gembira kenabian, yang terdapat dalam kitab-kitab suci umat terdahulu. Bisyaroh Nabi Muhammad SAW ; Disebutkan Ribuan Tahun Sebelumnya Dalam Taurat dan Injil.
Nama atau sifat Nabi Muhammad SAW termaktub dalam teks pra-Islam telah menjadi subjek perdebatan sengit selama berabad-abad antara teolog Muslim dan non-Muslim. Bagi umat Islam, hal ini adalah validasi ilahi yang memperkuat keabsahan dan universalitas risalah yang dibawa oleh Rasulullah.
Dalil Utama dalam Al-Qur’an
Pangkal dari keyakinan ini berawal dari penegasan yang terdapat dalam kitab suci umat Islam sendiri, Al-Qur’an. Beberapa ayat secara eksplisit menyatakan bahwa kaum Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) telah mengenal Muhammad SAW seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Suatu isyarat yang kuat tentang informasi kenabian beliau yang termaktub dalam kitab suci mereka. Salahsatu ayat kunci adalah Surah Al-A’raf ayat 157, yang berbunyi:
(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka. Yang menyuruh mereka berbuat ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk. Dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an). Mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Ayat ini menyajikan beberapa sifat khas Nabi Muhammad SAW. Seorang nabi yang ummi (tidak bisa membaca atau menulis), datang dengan syariat yang memudahkan, dan yang kabar gembiranya sudah tertulis dalam Taurat dan Injil. Penggunaan kata “tertulis” secara langsung menunjuk pada adanya catatan kenabian beliau dalam kitab-kitab tersebut, baik dalam bentuk nama, gelar, atau deskripsi sifat yang sangat spesifik.
Dalil Pendukung Lainnya
Penegasan lain yang lebih spesifik datang dari lisan Nabi Isa alaihi salam (Yesus) sendiri. Sebagaimana terkisahkan dalam Surah Ash-Shaff ayat 6:
Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata, “Wahai Bani Israil! Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberikan kabar gembira dengan datangnya seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad.” Namun, ketika Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, “Ini adalah sihir yang nyata.”
Ayat ini secara jelas menyebutkan nama Ahmad sebagai nama Nabi yang akan datang setelah Nabi Isa. Ahmad adalah nama lain dari Muhammad SAW. Berasal dari akar kata yang sama dan memiliki makna yang berdekatan—yang terpuji. Penegasan ini menjadi salah satu dasar terkuat dalam Islam mengenai bisyarah dalam kitab suci terdahulu.
Penelusuran Bisyarah dalam Kitab Injil
Meskipun Al-Qur’an meyakinkan adanya bisyarah, para ulama Muslim melakukan upaya ekstensif. Ha ini untuk mengidentifikasi bagian-bagian spesifik dalam Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) versi yang ada saat ini. Hal yang mereka yakini merujuk pada Nabi Muhammad SAW.
Salah satu bagian yang paling sering mendapat interprestasi sebagai nubuat tentang Muhammad SAW adalah janji Yesus tentang kedatangan Penghibur atau Penolong dalam Injil Yohanes (khususnya pasal 14, 15, dan 16).
Dalam teks Yunani aslinya, menggunakan kata Paraclete atau Parakletos. Terjemahan umum dari kata ini dalam bahasa Inggris dan Indonesia adalah “Penghibur”, “Penolong”, atau “Advokat” merujuk pada Roh Kudus.
Namun, beberapa sarjana Muslim berpendapat bahwa kata asli yang terucap oleh Yesus adalah Periklytos, yang berarti “Yang Sangat Terpuji” atau “Ahmad” dalam bahasa Arab. Mereka berargumen bahwa seiring berjalannya waktu dan proses penerjemahan atau penyalinan, kata Periklytos telah berubah menjadi Parakletos. Jika klaim ini benar, maka ini akan menjadi pemenuhan langsung dari nubuat Al-Qur’an dalam Surah Ash-Shaff yang menyebut nama Ahmad.
Terlepas dari perdebatan linguistik, deskripsi Paraclete dalam Injil Yohanes seringkali berhubungan dengan sifat kenabian Muhammad SAW adalah :
- ”Dia tidak akan berbicara dari dirinya sendiri, tetapi akan mengatakan apa yang didengarnya” (Yohanes 16:13). Ini sangat sesuai dengan peran Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul. Ia hanya menyampaikan wahyu dari Allah, sebagaimana firman Al-Qur’an (An-Najm: 3-4): “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
- “Dia akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu” (Yohanes 14:26). Muhammad SAW datang dengan Al-Qur’an, yang tidak hanya menyempurnakan ajaran nabi sebelumnya, tetapi juga menegaskan kebenaran inti ajaran mereka.
Perdebatan Mengenai Injil Barnabas
Dalam konteks klaim ini, tidak mungkin mengabaikan teks kontroversial yang bernama Injil Barnabas. Teks ini tidak mendapat pengakuan sebagai kanonik oleh gereja Kristen. Berisi rujukan eksplisit dan berulang-ulang terhadap nama Muhammad SAW sebagai nabi yang akan datang. Dalam salah satu bagiannya, Yesus mendapat pertanyaan mengenai nama Mesias, dan ia menjawab: “Muhammad adalah namanya yang diberkati” (Barnabas, Bab 97).
Meskipun teks ini secara terang-terangan menyebut nama Muhammad SAW dan sangat populer dalam narasi dakwah Muslim, sebagian besar sejarawan dan teolog menilainya sebagai pemalsuan atau fabrikasi yang berasal dari zaman Renaisans (abad ke-14 atau ke-16), bukan teks otentik dari abad pertama Masehi. Argumen ini berdasarkan pada anachronisme, inkonsistensi historis, dan gaya bahasa yang terdapat dalam Injil Barnabas. Oleh karena itu, bagi banyak kalangan, klaim ini tetap menjadi subjek yang sangat menjadi perdebatan dan tidak mendapat pengakuan sebagai bukti historis yang kuat dari naskah asli Injil.
Kesesuaian Sifat Kenabian
Terlepas dari perdebatan linguistik dan naskah, fokus utama oleh ulama Muslim adalah kesesuaian sifat-sifat kenabian yang telah ternubuatkan dalam Alkitab dengan karakter dan misi Nabi Muhammad SAW.
Dalam Perjanjian Lama, Kitab Ulangan 18:18 menubuatkan: “Seorang nabi akan Kubangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka, seperti engkau ini; Aku akan menaruh firman-Ku dalam mulutnya, dan ia akan mengatakan kepada mereka segala yang Kuperintahkan kepadanya.”
Umat Kristen menafsirkan nubuat “seperti engkau ini” merujuk kepada Yesus. Namun, ulama Muslim berargumen bahwa kesamaan antara Nabi Musa dan Nabi Muhammad SAW jauh lebih banyak daripada kesamaan antara Musa dan Yesus. Atas dasar perbandingan ini, ulama Muslim menyimpulkan bahwa Muhammad SAW adalah pemenuhan yang jauh lebih tepat dari nubuat “seperti engkau ini” dalam Ulangan.
Mengapa Nama Muhammad Tidak Tertera Secara Universal?
Pertanyaan utama yang sering muncul; mengapa nama Muhammad SAW tidak tersebutkan secara universal dan eksplisit dalam naskah Injil saat ini? Jawaban dari perspektif Islam adalah karena terjadinya tahrif (perubahan, penyimpangan, atau distorsi) pada sebagian naskah kitab suci terdahulu oleh tangan-tangan manusia.
Menurut keyakinan ini, nubuat-nubuat yang terlalu jelas telah hilang atau mengalami modifikasi untuk menyembunyikan kebenaran tentang nabi akhir zaman. Ini telah tersirat dalam Al-Qur’an dalam konteks bagaimana sebagian Ahli Kitab menyembunyikan kebenaran. Meskipun nama eksplisit telah hilang atau samar, petunjuk-petunjuk kenabian (bisyarah) masih tersisa berupa deskripsi, gelar, atau isyarat. Tafsirnya tetap benar dan jujur, hanya merujuk kepada Nabi Muhammad SAW.
Penutup
Keyakinan bahwa nama atau sifat Muhammad SAW telah tersebut ribuan tahun sebelumnya dalam Injil merupakan landasan teologis penting dalam Islam. Klaim ini berlandaskan penegasan eksplisit dalam Al-Qur’an (Surah Al-A’raf 157 dan Ash-Shaff 6, menyebut nama “Ahmad”).
Meskipun pencarian dalam Injil kanonik saat ini seringkali menghasilkan perdebatan sengit mengenai interpretasi kata-kata seperti Paraclete atau nubuat dalam Ulangan. Juga penolakan atas keaslian Injil Barnabas, namun bagi umat Muslim, adanya bisyarah ini adalah bukti tak terbantahkan. Hal ini memperkuat keyakinan bahwa risalah Islam bukanlah agama yang tiba-tiba muncul. Melainkan puncak dari rantai kenabian yang telah lama tersiapkan oleh para utusan Allah sejak ribuan tahun sebelumnya.
Esensi bisyarah ini berfungsi sebagai jembatan teologis yang menghubungkan Islam dengan tradisi Ibrahimi. Menegaskan bahwa iman kepada Muhammad SAW adalah pemenuhan logis dan keniscayaan dari setiap nubuat dari Tuhan Yang Maha Esa. Kehadiran beliau adalah realisasi dari janji kuno yang telah dinanti-nantikan oleh para pencari kebenaran sepanjang sejarah.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
