SURAU.CO – Utang merupakan hal yang wajib dibayarkan. Islam juga memperbolehkan menagih utang dengan catatan kita perlu memperhatikan adab-adabnya. Islam tidak melarang seseorang melakukan hutang piutang. Dalam buku Panduan Muslim Sehari-Hari karya M. Hamdan Rasyid dan Saiful Hadi El-Sutha, penulis menjelaskan bahwa syariat islam memperbolehkan hutang piutang. Allah SWT bahkan menjanjikan pahala besar bagi siapa pun yang memberikan pinjaman dengan ikhlas.
Abdul Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada dalam bukunya Ensiklopedi Adab Islam (terjemahan Abdul Aziz bin Fathi as-Sayyid) juga menegaskan, siapa pun yang memberikan pinjaman dengan niat baik akan meraih pahala. Hal ini sesuai sabda Rasulullah SAW:
“Barang siapa yang memberikan utang berupa uang perak sebanyak dua kali maka pahalanya seperti membayar zakat sekali.” (HR. Al-Baihaqi).
Meski Allah membolehkan utang, Rasulullah SAW tetap mengingatkan agar kita melunasi utang tepat pada waktunya. Dalam riwayat dari Tsauban RA, beliau bersabda:
“Barang siapa yang meninggal dalam keadaan terbebas dari tiga hal, yakni sombong, ghulul (khianat), dan berinvestasi, maka dia akan masuk surga.” (HR. Ibnu Majah).
Hadis ini menegaskan betapa seriusnya masalah utang. Setiap Muslim harus menunaikan kewajiban membayar utang agar tidak menjadi penghalang menuju surga.
Boleh Menagih, Tapi dengan Adab
Islam membolehkan seseorang menagih hutang kepada orang yang mampu membayar. Artinya, jika orang yang berhutang memiliki harta yang cukup, pemberi pinjaman berhak menagih sesuai kesepakatan. Sebaliknya, jika kondisi orang yang berhutang benar-benar dalam kondidi kesulitan secara ekonomi, Islam melarang menagih hutang.
Allah SWT menegaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 280:
“Dan jika (orang yang melakukan itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
Ayat ini mengajarkan dua hal penting. Pertama, kita perlu memberikan kelonggaran waktu bagi orang yang kesulitan. Kedua, bila kita mampu, mengikhlaskan sebagian atau seluruh utangnya jauh lebih baik dan mendatangkan pahala besar.
Mayoritas ulama juga sepakat, seseorang boleh menagih hutang kapan saja selama pihak yang melakukan transaksi berada dalam kondisi mampu. Jadi, menagih bukan hanya perkara hukum, tapi juga perkara adab.
Empat Adab Menagih Utang
- Menagih dengan Cara yang Baik
Islam mengajarkan menagih hutang dengan cara yang baik, tanpa kekerasan maupun ancaman. Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa yang menuntut haknya, sebaiknya menuntut dengan baik, baik pada orang yang ingin menunaikannya atau pada orang yang tidak ingin menunaikannya.” (HR. Ibnu Majah).
Hadis ini menegaskan bahwa seorang muslim harus menagih dengan sopan, penuh kesabaran, dan tanpa menggunakan kekerasan atau ancaman. Bila kita menagih dengan kasar, maka akan menimbulkan permusuhan dan menghapus keberkahan pinjaman.
- Menghindari Bunga atau Tambahan
Adab berikutnya adalah menghindari bunga atau tambahan dari pinjaman. Bila seseorang menetapkan bunga, berarti ia melakukan praktik riba, padahal Allah SWT telah melarangnya. Allah berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 278:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”
Oleh karena itu, kita harus ikhlas mengembalikan atau menagih utang sesuai jumlah yang dipinjamkan, tanpa menambahkan syarat yang merugikan pihak yang berhutang.
- Tidak Menagih Saat Pihak Berutang kesulitan
Islam mengajarkan empati dan kepedulian. Jika seseorang yang berhutang benar-benar kesulitan, Islami menganjurkan untuk menunda penagihan sampai mampu atau mengikhlaskan utangnya. Rasulullah SAW bahkan memotivasi kita untuk meringankan beban orang lain. Beliau bersabda:
“Siapapun yang senang diselamatkan Allah SWT dari kesusahan hari terhenti, maka lebih baik meringankan kesusahan orang yang terlilit hutang atau memerdekakannya.” (HR.Muslim).
Hadis ini menunjukkan betapa besar pahala yang Allah janjikan bagi orang yang membantu meringankan beban saudaranya.
- Menagih Sesuai Jatuh Tempo
Islam juga menekankan kedisiplinan. Apabila kita menyepakati utang tersebut dibayar pada waktu tertentu maka tagihlah sesuai waktu yang disepakati. Imam Ahmad bin Hanbal sebagaimana dikutip dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, menegaskan:
“Selayaknya pemberi pinjaman untuk menepati janjinya.”
Artinya, pemberi pinjaman tidak boleh menagih lebih cepat dari waktu yang disepakati, kecuali pihak pemberi pinjaman menyetujuinya. Menjaga kesepakatan adalah bagian dari amanah yang Islam sangat tekankan.
Penutup
Utang adalah bagian dari kehidupan manusia, dan Islam membolehkannya. Allah bahkan memberi pahala kepada siapa pun yang membantu saudaranya dengan pinjaman. Namun, setiap orang yang berhutang tetap wajib melunasi kewajibannya tepat waktu agar tidak terbebani di akhirat.
Dalam urusan menagih, Islam mengajarkan adab yang penuh kelembutan. Kita perlu menagih dengan baik, menghindari bunga, memberi kelonggaran bagi kesulitan, serta menagih sesuai tempo jatuh. Semua adab ini menegaskan bahwa Islam menyeimbangkan antara keadilan dan kasih sayang.
Ketika kita memahami adab menagih utang, kita tidak hanya menjaga hak kita sendiri, tetapi juga menjaga keharmonisan hubungan, sekaligus meraih pahala besar dari Allah SWT.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
