Khazanah
Beranda » Berita » Berusaha Mencari Alasan yang Membatalkan Prasangka Buruk

Berusaha Mencari Alasan yang Membatalkan Prasangka Buruk

Berusaha Mencari Alasan yang Membatalkan Prasangka Buruk
Berusaha Mencari Alasan yang Membatalkan Prasangka Buruk

SURAU.CO – ﺑِﺴْﻢِاللّٰهﺍﻟﺮَّﺣْﻤٰﻦِﺍﻟﺮَّﺣِﻴْﻢ. Alhamdulillah, saatnya kita beristirahat, sebelumnya kita akan merenungkan hal berikut bersama-sama.

Jangan jadikan prasangka buruk (suudzon) sebagai landasan menghukumi tanpa indikator yang relevan. Oleh karenanya, menyikapi suudzon (berburuk sangka) yang bijak adalah dengan menolaknya dan berusaha mencari alasan untuk membantah nya. Para ulama salaf memberikan arahan demikian.

Kata Yang Keluar dari Saudara Seiman

Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata:

لا تظن بكلمة خرجت من أخيك المؤمن شراً وأنت تجد لها في الخير محملا.

“Janganlah engkau berprasangka buruk terhadap suatu kata yang keluar dari saudaramu yang beriman, selama engkau masih bisa mencari makna kebaikan darinya.”

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Ibnu Sirin rahimahullah berkata:

إذا بلغك عن أخيك شيء فالتمس له عذراً، فإن لم تجد فقل: لعل له عذراً لا أعرفه.

“Jika sampai kepadamu suatu berita tentang saudaramu, maka carilah alasan (untuk membelanya), jika engkau tidak menemukannya, maka katakanlah: ‘mungkin ia memiliki alasan yang aku tidak mengetahuinya.”

Munculnya Rasa Ragu dan Curiga

Praktiknya dalam konteks kehidupan suami istri, masing-masing pasangan wajib menepis keraguan dan bisikan setan terhadap pasangannya. Dengan menghilangkannya melalui keyakinan akan kesalehan, kesucian, serta keteguhan pasangannya dalam menjalankan ajaran agamanya.

Ia juga dapat langsung menghadapinya dengan berdialog jika muncul rasa ragu dan curiga dalam hatinya, bisa jadi, keraguan itu akan hilang hanya dengan sebuah penjelasan atau klarifikasi dari pasangannya.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Betapa sering terjadi ketidakadilan terhadap orang lain akibat kesalahan dalam menganalisis, buruknya penilaian, serta ketidaktahuan terhadap hukum syariat, hal ini dapat kita renungkan dari kisah seorang sahabat mulia yang sempat mencurigai istrinya hanya karena tanda yang lemah.

Namun, ia tidak langsung mengambil keputusan, melainkan berkonsultasi dengan Nabi ﷺ dan tidak menyerah pada waswas serta keraguan  akhirnya, dialog tersebut membawa manfaat besar, menjernihkan hatinya, dan menjaga keutuhan keluarganya.

Pelajaran berharga bagi mereka yang sering diliputi rasa curiga dan waswas

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa:

يَا رَسُولَ اللَّهِ وُلِدَ لِي غُلَامٌ أَسْوَدُ فَقَالَ : ( هَلْ لَكَ مِنْ إِبِلٍ ) قَالَ : نَعَمْ ، قَالَ ( مَا أَلْوَانُهَا ) قَالَ : حُمْرٌ ، قَالَ ( هَلْ فِيهَا مِنْ أَوْرَقَ ) قَالَ : نَعَمْ ، قَالَ ( فَأَنَّى ذَلِكَ ) قَالَ : لَعَلَّهُ نَزَعَهُ عِرْقٌ قَالَ ( فَلَعَلَّ ابْنَكَ هَذَا نَزَعَهُ

“Seorang laki-laki datang kepada Nabi ﷺ dan berkata: “Wahai Rasulullah, telah lahir seorang anak laki-laki dariku yang berkulit hitam.” Rasulullah ﷺ bertanya: “Apakah engkau memiliki unta?” Laki-laki itu menjawab: “Ya.” Beliau bertanya lagi: “Apa warnanya?” Laki-laki itu menjawab: “Merah.” Belliau bertanya: “Apakah ada yang berwarna keabu-abuan?” Laki-laki itu menjawab: “Ya.” Beliau bertanya: “Dari mana asalnya?” Laki-laki itu menjawab: “Mungkin dari garis keturunannya.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Maka mungkin anakmu ini juga memiliki keturunan yang serupa.”  (HR. Bukhari no. 4999 dan Muslim no. 1500).

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Kata “أَوْرَق” dalam hadits ini merujuk pada warna hitam yang tidak pekat.

Faktor Keturunan Tidak Terbatas Pada Ciri Fisik

Laki-laki tersebut meragukan kesetiaan istrinya karena anaknya lahir dengan kulit hitam, berbeda dari warna kulitnya sendiri. Namun, Nabi ﷺ membimbingnya dengan menjelaskan bahwa faktor keturunan tidak terbatas pada ciri fisik kedua orang tua yang dekat saja, melainkan bisa berasal dari garis keturunan yang lebih jauh, yang mungkin berbeda dengan ayahnya.

Imam Abu Abbas Al-Qasthalani rahimahullah menjelaskan:

وفائدة الحديث : المنع عن نفي الولد بمجرد الأمارات الضعيفة ، بل لا بد من تحقق ، كأن رآها تزني ، أو ظهور دليل قويّ ، كأن لم يكن وطئها أو أتت بولد قبل ستة أشهر من مبدأ وطئها أو لأكثر من أربع سنين

“Hadis ini mengandung pelajaran bahwa, larangan menafikan anak hanya berdasarkan tanda/indikator yang lemah, sebab, untuk menolak nasab harus ada kepastian, seperti melihat langsung istrinya berzina, adanya bukti kuat, seperti tidak pernah berhubungan suami istri, atau kelahiran anak dalam waktu kurang dari enam bulan sejak awal pernikahan, atau lebih dari empat tahun setelah perpisahan.” 
(Disarikan dari Irsyad as-Sari Syarh Shahih al-Bukhari, 8/173).

Kita tutup ini dengan membaca do’a Kafaratul Majelis :

سُبْحَانَكَ اللّٰهُمَّ وَ بِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلٰه إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُك وَ أَتُوبُ إِلَيْكَ

“Subhanakallahumma wa bihamdika asyhadu alla ilaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik”

“Maha Suci Engkau Ya Allah, dengan memuji-Mu, aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu” بَارَكَ اللّٰه فِيْكُمْ (Hasyim Daily)

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement