Surau.co. Kemungkinan, keharusan, dan mustahil adalah tiga pintu yang selalu dijaga oleh waktu. Ibn Sīnā dalam Al-Ishrāt wa al-Tanbīhāt menuntun kita memahami ketiganya bukan sekadar sebagai istilah filsafat, melainkan sebagai cermin kehidupan. Sejak awal, ia menegaskan bahwa akal manusia perlu mengenali perbedaan antara apa yang mungkin terjadi, apa yang pasti terjadi, dan apa yang sama sekali tidak mungkin.
Bahasa sederhana dari ajaran ini terasa relevan dengan keseharian. Kita sering berharap pada sesuatu yang sebenarnya mustahil. Kita juga menunda sesuatu yang sebenarnya sudah menjadi keharusan. Sementara itu, kita lalai pada kemungkinan yang bisa dibuka jika ada keberanian. Inilah jebakan manusia, yang sejak dulu telah diperhatikan oleh sang filsuf besar dari Bukhara.
Ketika hidup berdiri di antara yang mungkin dan yang pasti
Setiap hari manusia berjalan di jalan penuh cabang. Sebagian jalan terbuka lebar, sebagian lagi hanya semu seperti fatamorgana. Ibn Sīnā menulis dalam kitabnya:
«الْمُمْكِنُ مَا لَا يَجِبُ وَلَا يَمْتَنِعُ»
“Yang mungkin adalah sesuatu yang tidak wajib dan tidak mustahil.”
Kalimat itu sederhana, tetapi mengandung kedalaman. Segala hal yang mungkin masih menunggu keputusan kita. Seperti seorang pemuda yang ragu antara mengejar mimpi atau diam di tempat. Kemungkinan adalah ladang luas, tetapi tidak ada panen jika tidak ada keberanian menanam.
Keharusan sebagai napas yang tak bisa ditolak
Ada hal-hal dalam hidup yang tidak bisa dihindari. Seperti matahari yang terbit setiap pagi, atau ajal yang kelak menghampiri. Ibn Sīnā menyebut hal ini sebagai keharusan. Ia menulis:
«الْوَاجِبُ هُوَ الَّذِي لَا يُمْكِنُ أَنْ لَا يَكُونَ»
“Yang wajib adalah sesuatu yang mustahil untuk tidak ada.”
Dalam kehidupan, keharusan hadir sebagai kenyataan yang tidak bisa ditawar. Seseorang mungkin menunda, tetapi waktu tidak menunggu. Anak-anak tumbuh, tubuh menua, dan kesempatan berubah. Menyadari keharusan membuat kita rendah hati di hadapan kenyataan, dan tidak lagi mengira semua bisa dikendalikan.
Mustahil sebagai cermin keterbatasan manusia
Tidak semua yang diinginkan dapat tercapai. Ada hal-hal yang tak mungkin, meskipun dikejar sekuat tenaga. Ibn Sīnā menegaskan:
«الْمُسْتَحِيلُ هُوَ مَا لَا يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ»
“Yang mustahil adalah sesuatu yang tidak mungkin ada.”
Kesadaran ini sering kali menyakitkan. Seorang yang mencintai kadang harus menerima bahwa cintanya tak akan bersambut. Seorang yang ingin mengubah masa lalu harus menerima bahwa pintu itu terkunci rapat. Mustahil bukan untuk melemahkan, tetapi untuk menuntun kita menerima batasan.
Hati yang jujur membaca tanda-tanda waktu
Ketiga pintu ini—kemungkinan, keharusan, dan mustahil—sesungguhnya dijaga oleh waktu. Manusia sering salah membaca. Kita berharap pada mustahil, takut pada yang mungkin, atau menolak yang sudah pasti. Ibn Sīnā dalam Al-Tanbīhāt mengingatkan:
«مَنْ لَمْ يَعْرِفِ الْوَاجِبَ وَالْمُمْكِنَ وَالْمُسْتَحِيلَ فَقَدْ ضَلَّ طَرِيقَ الْعَقْلِ»
“Barang siapa tidak mengenal yang wajib, yang mungkin, dan yang mustahil, maka ia telah tersesat dari jalan akal.”
Kalimat ini seperti cahaya yang menuntun langkah. Kehidupan akan lebih tenang jika kita tahu mana yang bisa diusahakan, mana yang harus diterima, dan mana yang mustahil digapai.
Saat hati bertemu ajaran wahyu
Al-Qur’an juga memberi tanda bahwa hidup berada di bawah kuasa Allah. Ia membuka pintu kemungkinan dengan doa, meneguhkan keharusan dengan takdir, dan menutup mustahil dengan hikmah.
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (البقرة: 216)
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Ayat ini menguatkan pandangan Ibn Sīnā. Tidak semua yang kita kehendaki dapat dicapai, dan tidak semua yang terjadi bisa kita tolak. Tugas kita hanyalah membaca tanda-tanda dengan hati yang jujur.
Belajar merangkul keterbatasan
Dalam dunia yang serba cepat, manusia sering tidak sabar menerima waktu. Kita ingin semua pasti, padahal sebagian masih mungkin. Kita berharap pada yang mustahil, padahal masih ada jalan terbuka di depan. Ibn Sīnā seolah berpesan agar kita merangkul keterbatasan, sebab di situlah letak kebijaksanaan.
Menerima mustahil membuat kita damai, menunaikan keharusan membuat kita berani, dan meraih kemungkinan membuat kita hidup penuh harapan. Tiga pintu itu adalah pelajaran tentang bagaimana menjalani hidup dengan seimbang.
Penutup: Jalan pulang menuju kebijaksanaan
Hidup tidak pernah berhenti menempatkan kita di antara pintu. Ada pintu yang terbuka, ada yang terkunci, dan ada yang harus kita lewati. Ibn Sīnā melalui Al-Ishrāt wa al-Tanbīhāt memberikan peta agar kita tidak tersesat: kenali yang mungkin, terima yang pasti, dan ikhlaskan yang mustahil.
Ketika kita mampu membedakan ketiganya, hati menjadi lebih ringan. Kata-kata Ibn Sīnā bukan sekadar teori filsafat, melainkan doa yang dibisikkan kepada setiap pencari: berjalanlah dengan hati yang jujur, karena hanya hati yang jujur yang bisa melewati tiga pintu yang dijaga waktu.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
