Surau.co. Bahasa adalah anugerah sekaligus jebakan. Dari kata-kata lahir persahabatan, cinta, dan doa. Namun dari kata pula lahir dusta, kesalahpahaman, bahkan luka batin yang sulit disembuhkan. Ibn Sīnā, sang filsuf besar dari abad ke-10, mengingatkan dalam Al-Ishrāt wa al-Tanbīhāt bahwa kata bisa menipu jika tidak diiringi hati yang jujur. Karya monumental ini tidak hanya berisi uraian filsafat, tetapi juga sarat peringatan tentang bagaimana manusia bisa tersesat dalam permainan bahasa.
Sejak awal, frasa kunci “Bahasa yang menipu” terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari. Kita sering mendengar orang yang lihai berargumen namun kosong makna. Kita juga melihat banyak janji yang diucapkan, tetapi tak pernah ditepati. Di sini letak relevansi pemikiran Ibn Sīnā—ia tidak sekadar membedah logika, melainkan mengajak kita berhati-hati pada jebakan kata.
Ketika Kata Lebih Cepat dari Kesadaran
Dalam percakapan sehari-hari, lidah kita kerap lebih cepat daripada hati. Kita menjawab tanpa berpikir, menilai tanpa memahami, atau bahkan menyalahkan tanpa mendengar. Ibn Sīnā mengingatkan bahwa kata seharusnya menjadi jalan menuju kebenaran, bukan sekadar hiasan yang menutupi kekosongan.
Beliau menulis:
«اِحْذَرْ أَنْ تَغْتَرَّ بِاللَّفْظِ إِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُ مَعْنًى»
“Waspadalah jangan sampai tertipu oleh lafaz jika di dalamnya tidak ada makna.”
Kutipan ini terasa seperti teguran halus yang masih relevan hingga kini. Di tengah banjir informasi, banyak orang terseret oleh indahnya retorika tanpa menimbang substansi. Seolah kata menjadi perhiasan yang membuat kita lupa pada inti pesan.
Diam yang Lebih Dalam dari Kata
Sering kali diam lebih jujur daripada ucapan. Hati yang hening bisa menyampaikan kejujuran yang tak tertangkap oleh telinga. Ibn Sīnā menegaskan bahwa bukan semua kata perlu diucapkan, sebab sebagian kebenaran justru rusak ketika dipaksa keluar dalam bentuk bahasa.
Beliau berkata dalam Al-Ishrāt:
«رُبَّ سُكُوتٍ أَبْلَغُ مِنْ كَلَامٍ»
“Sering kali diam lebih fasih daripada perkataan.”
Kita dapat merasakannya dalam kehidupan sehari-hari. Ada saat ketika seorang sahabat hanya duduk menemani tanpa bicara, tetapi kehadirannya lebih menguatkan daripada seribu kata penghiburan. Seperti air yang mengalir tenang, diam bisa menjadi bahasa kejujuran yang paling murni.
Bahasa sebagai Cermin Jiwa
Kata yang keluar dari mulut adalah pantulan dari isi hati. Jika hati penuh keruh, maka kata pun akan membawa kekeruhan. Jika hati bening, maka bahasa yang keluar pun akan menyejukkan. Ibn Sīnā dalam Al-Tanbīhāt mengingatkan agar kita menjadikan kata sebagai cermin jiwa, bukan alat manipulasi.
Beliau menulis:
«إِنَّ اللِّسَانَ تَرْجُمَانُ الْقَلْبِ، فَاحْذَرْ أَنْ يَكْذِبَ التَّرْجُمَانُ»
“Sesungguhnya lisan adalah penerjemah hati, maka waspadalah agar penerjemah itu tidak berdusta.”
Bayangkan kehidupan sehari-hari: seorang anak yang berkata “aku baik-baik saja” padahal hatinya hancur. Seorang teman yang berkata “aku percaya” padahal hatinya penuh ragu. Bahasa bisa menyembunyikan, tetapi hati tetap mengetahui kebenarannya.
Peringatan untuk Para Pencari Kebenaran
Ibn Sīnā bukan hanya seorang filsuf, ia juga seorang penuntun. Ia tahu bahwa pencari ilmu sering terjebak dalam perdebatan panjang, tenggelam dalam istilah, lalu melupakan tujuan sejati: kebijaksanaan. Kata seharusnya menjadi tangga menuju kebenaran, bukan labirin yang menyesatkan.
Beliau menulis dengan tegas:
«إِيَّاكَ أَنْ تَسْتَبِدَّ بِالْجِدَالِ، فَإِنَّهُ يُعْمِي الْقَلْبَ وَيُبْعِدُ عَنِ الْحَقِّ»
“Hati-hati jangan terjebak dalam perdebatan tiada henti, karena itu membutakan hati dan menjauhkan dari kebenaran.”
Pernyataan ini mengingatkan kita pada fenomena hari ini: diskusi di media sosial yang penuh debat, namun jarang melahirkan pengertian. Kita seolah saling berteriak dengan kata, tetapi tidak pernah mendengar dengan hati.
Menghadirkan Kejujuran dalam Kata
Bahasa yang menipu hanya bisa ditundukkan dengan hati yang jujur. Kata tidak akan pernah bisa sepenuhnya murni jika jiwa kita dipenuhi kepalsuan. Ibn Sīnā seakan menegaskan bahwa jalan menuju kebenaran bukan sekadar kecakapan berargumen, melainkan keikhlasan hati.
Al-Qur’an pun mengingatkan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا (الأحزاب: 70)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.”
Kebenaran kata bukan hanya soal logika, tetapi juga keberanian untuk jujur pada diri sendiri.
Menyulam Hati, Menyaring Kata
Pada akhirnya, manusia tidak bisa hidup tanpa kata. Namun kita bisa memilih bagaimana kata itu keluar. Ibn Sīnā mengingatkan agar kita menyaring kata dengan hati, bukan sekadar dengan logika. Sebab hati yang jujur akan melahirkan kata yang menyejukkan, sedangkan hati yang palsu hanya akan melahirkan bahasa yang menipu.
Kita belajar dari peringatan Ibn Sīnā: jangan biarkan bahasa menjadi penjara, jadikan ia jembatan. Jangan biarkan kata menipu, biarkan hati yang jujur berbicara. Karena hanya hati yang jujur yang bisa membawa kita pada kebenaran sejati.
Penutup: Bahasa, Hati, dan Jalan Pulang
Ibn Sīnā tidak sedang sekadar mengajarkan filsafat logika, ia sedang menuntun manusia untuk pulang pada dirinya sendiri. Bahasa yang menipu bisa melukai, tetapi hati yang jujur selalu menyembuhkan. Setiap kata yang kita ucapkan adalah cermin, dan setiap diam kita adalah doa.
Di dunia yang penuh suara, mungkin peringatan Ibn Sīnā justru lebih relevan: jagalah kata, jujurkan hati.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
