Khazanah
Beranda » Berita » Istri Menafkahi Suami: Perspektif Islam dan Realitas Modern

Istri Menafkahi Suami: Perspektif Islam dan Realitas Modern

Dalam Islam, rumah tangga dibangun atas dasar cinta dan tanggung jawab. Suami menafkahi, istri mengelola rumah tangga. Namun bukan berarti kaku. Keduanya bisa saling bantu, saling isi, dan saling menguatkan. Bukan siapa yang lebih banyak bekerja, tapi siapa yang lebih ikhlas menjaga harmoni.

Fenomena istri yang menanggung nafkah keluarga atau bahkan menafkahi suami semakin lazim terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Pergeseran peran ini seringkali memunculkan pertanyaan, khususnya dari sudut pandang agama Islam. Bagaimana syariat memandang situasi ini? Apakah hal tersebut sesuai dengan ajaran Islam, atau justru menyimpang dari norma yang telah ditetapkan? Artikel ini akan mengupas tuntas isu tersebut, memberikan pemahaman yang komprehensif berdasarkan dalil-dalil syar’i dan konteks kehidupan kontemporer.

Prinsip Dasar Nafkah dalam Islam: Kewajiban Suami

Islam secara jelas menetapkan bahwa kewajiban memberikan nafkah sepenuhnya berada di pundak suami. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 34:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…”

Ayat ini mengindikasikan bahwa kepemimpinan suami dalam rumah tangga salah satunya didasarkan pada perannya dalam memberikan nafkah. Suami berkewajiban menyediakan kebutuhan pokok istri dan anak-anaknya, meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal, hingga kebutuhan kesehatan dan pendidikan yang layak. Kewajiban ini bersifat mutlak dan tidak gugur meskipun istri memiliki harta atau penghasilan sendiri. Harta pribadi istri sepenuhnya menjadi miliknya dan ia tidak memiliki kewajiban untuk menafkahkannya kepada suami atau keluarga, kecuali atas dasar kerelaan hati.

Rasulullah SAW juga bersabda dalam beberapa riwayat, menegaskan pentingnya nafkah dari suami. Salah satunya, dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah bersabda, “Cukuplah seseorang berdosa jika ia menelantarkan orang yang wajib ia nafkahi.” Hadis ini secara tegas memperingatkan suami akan tanggung jawabnya.

Pentingnya Akhlak Mulia

Ketika Istri Menafkahi: Bolehkah dalam Islam?

Meskipun kewajiban nafkah ada pada suami, bukan berarti Islam melarang istri untuk berkarya atau memiliki penghasilan. Justru, Islam sangat menghargai wanita yang berdaya dan berkontribusi dalam masyarakat, selama tetap menjaga batasan syariat. Pertanyaannya muncul ketika peran penanggung nafkah bergeser kepada istri.

Para ulama sepakat bahwa jika istri menafkahi suami atau keluarga dengan sukarela dan tanpa paksaan, hal tersebut diperbolehkan dan bahkan bernilai sedekah yang agung. Harta yang dikeluarkan istri untuk membantu kebutuhan keluarga adalah bentuk kebaikan dan amal saleh yang akan mendapatkan pahala besar dari Allah SWT. Ini merupakan manifestasi dari sikap tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, serta bentuk pengorbanan istri untuk kemaslahatan rumah tangganya.

Namun, penting untuk digarisbawahi bahwa kerelaan istri adalah kunci. Suami tidak berhak memaksa istri untuk mengeluarkan hartanya demi nafkah keluarga. Jika suami tidak mampu menafkahi dan istri secara sukarela mengambil alih peran tersebut, ini menunjukkan kemuliaan hati istri. Situasi ini sering terjadi dalam kondisi darurat atau ketika suami mengalami kesulitan finansial yang tidak terduga, seperti sakit parah, kehilangan pekerjaan, atau bisnis yang merugi.

Apa Hukumnya Suami yang Ditafkahi Istri?

Dalam kasus suami yang tidak mampu menafkahi istrinya, ada beberapa skenario yang perlu dipahami:

  1. Suami Tidak Mampu dan Istri Rela Menafkahi: Ini adalah kondisi yang telah dijelaskan sebelumnya. Istri yang secara sukarela menafkahi suaminya akan mendapatkan pahala. Namun, suami tetap memiliki kewajiban untuk mencari nafkah dan berusaha semaksimal mungkin. Ia tidak boleh berdiam diri dan menggantungkan diri sepenuhnya pada istri. Suami harus terus berikhtiar.

    Hati-hatilah Dengan Pujian Karena Bisa Membuatmu Terlena Dan Lupa Diri

  2. Suami Mampu tetapi Sengaja Tidak Memberi Nafkah (Menelantarkan): Ini adalah dosa besar dalam Islam. Suami yang mampu tetapi sengaja menelantarkan istri dan anak-anaknya telah melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya. Istri dalam kondisi ini memiliki hak untuk menuntut nafkah atau bahkan mengajukan gugatan cerai (fasakh) ke pengadilan agama jika penelantaran tersebut terus berlanjut dan merugikan dirinya.

  3. Suami Tidak Mampu dan Istri Tidak Rela Menafkahi: Jika suami benar-benar tidak mampu dan istri tidak rela menanggung nafkah, istri berhak mengajukan permohonan cerai karena alasan tidak terpenuhinya nafkah. Ini merupakan hak istri untuk mendapatkan kehidupan yang layak.

Tantangan dan Adaptasi di Era Modern

Realitas ekonomi modern seringkali menghadirkan tantangan baru. Biaya hidup yang tinggi, persaingan kerja yang ketat, dan kondisi ekonomi yang tidak menentu dapat membuat seorang suami kesulitan memenuhi seluruh kebutuhan keluarga. Dalam situasi seperti ini, kontribusi finansial dari istri dapat menjadi penyelamat.

Pasangan suami istri perlu membangun komunikasi yang terbuka dan kesepahaman mengenai pembagian peran finansial. Jika istri memiliki penghasilan dan memilih untuk berkontribusi, hal tersebut harus didasari oleh kesepakatan bersama dan rasa saling menghargai. Penting bagi suami untuk tidak merasa harga dirinya rendah ketika menerima bantuan dari istri, justru ia harus menghargai pengorbanan istrinya. Sebaliknya, istri juga harus menjaga agar kontribusinya tidak menjadi alasan bagi suami untuk lepas tangan dari tanggung jawab utamanya.

Dampak Psikologis dan Sosial

Peran nafkah yang bergeser juga dapat menimbulkan dampak psikologis dan sosial. Suami yang ditafkahi istri terkadang merasa tertekan, kehilangan rasa percaya diri, atau bahkan mengalami krisis identitas maskulin. Di sisi lain, istri yang menanggung beban finansial bisa merasa kelelahan, stres, atau kurang dihargai.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Oleh karena itu, penting bagi pasangan untuk menjaga keseimbangan emosional dan spiritual. Suami harus tetap mengambil peran kepemimpinan dalam rumah tangga dalam aspek-aspek non-finansial, seperti membimbing keluarga, menjadi imam shalat, serta memberikan perlindungan dan kasih sayang. Istri juga perlu merasakan dukungan dan apresiasi dari suami atas kerja kerasnya. Membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah memerlukan kerja sama dan saling pengertian dari kedua belah pihak, di mana pun sumber nafkah berasal.

Kesimpulan

Dalam Islam, kewajiban nafkah adalah tanggung jawab suami. Namun, jika istri secara sukarela dan ikhlas membantu menafkahi suami atau keluarga, hal itu diperbolehkan dan bernilai pahala yang besar. Islam tidak melarang wanita untuk berkarya dan berpenghasilan. Kuncinya terletak pada kerelaan, keikhlasan, serta komunikasi yang baik antara suami dan istri. Suami tetap harus berikhtiar semaksimal mungkin untuk memenuhi kewajibannya, sementara istri yang berkontribusi akan mendapatkan ganjaran kebaikan dari Allah SWT. Hubungan yang harmonis, saling menghargai, dan tolong-menolong adalah pondasi utama dalam membangun keluarga yang bahagia dan berkah.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement