Surau.co. Ada saat ketika kata bukan sekadar bunyi, melainkan tangga yang menghubungkan bumi dan langit. Dalam Al-Ishrāt wa al-Tanbīhāt, Ibn Sīnā membuka pintu tentang bagaimana proposisi bekerja, bukan hanya dalam logika, tetapi juga dalam jiwa manusia. Logika adalah lentera, dan di dalamnya proposisi bagaikan doa: ia menuntun, mengikat, dan mengantarkan pikiran menuju kebenaran.
Di dunia sehari-hari, kita sering berkata “iya” atau “tidak” tanpa menyadari kedalaman makna di balik pernyataan itu. Namun bagi Ibn Sīnā, proposisi bukan sekadar jawaban singkat, melainkan simpul yang menyatukan pemahaman. Kata yang lahir dari hati bersih bisa menjadi doa, sedangkan kata yang kosong bisa menjadi debu yang ditiup angin.
Pernyataan sebagai cermin hati manusia
Ketika seseorang mengucapkan sebuah kalimat, ia tidak hanya berbicara kepada orang lain, tetapi juga kepada dirinya sendiri. Ibn Sīnā mengajarkan bahwa proposisi adalah bentuk pengakuan tentang sesuatu, apakah benar atau salah, ada atau tidak ada. Seperti doa, ia mencerminkan apa yang kita yakini, meski tidak selalu tampak dari luar.
Dalam Al-Ishrāt, beliau menulis:
«القضية قولٌ يحكم فيه بوجود شيءٍ لشيءٍ أو عدمه عنه»
“Proposisi adalah ucapan yang menetapkan adanya sesuatu bagi sesuatu atau meniadakannya darinya.”
Kalimat ini sederhana, namun penuh makna. Ia mengajarkan kita bahwa setiap pernyataan adalah gerbang. Seseorang bisa memilih pintu yang mengarah kepada cahaya, atau tersesat pada pintu yang menutup dirinya dari kebenaran.
Proposisi sebagai jalan menuju kebenaran
Bila kita merenungkan percakapan sehari-hari, sering kali kita terjebak dalam kata-kata yang dangkal. Kita berkata sekadar untuk menutup percakapan, bukan untuk membuka pemahaman. Ibn Sīnā mengingatkan, proposisi adalah jalan menuju pengetahuan, bukan sekadar alat berdebat.
Beliau menulis:
«إذا اجتمع التصديق واليقين في النفس، استراح العقل من الطلب»
“Apabila keyakinan dan pembenaran berkumpul dalam jiwa, akal akan beristirahat dari pencarian.”
Kebenaran membuat hati tenteram. Ketika proposisi telah tegak dengan dalil yang sahih, jiwa menemukan kedamaian, sebagaimana doa yang terkabul memberi kelapangan dada.
Kehidupan sehari-hari dan pelajaran dari kata sederhana
Bayangkan seorang anak kecil berkata, “Ibu mencintaiku.” Kalimat sederhana ini adalah proposisi. Ia tidak hanya menyampaikan fakta, tetapi juga harapan. Jika benar, hati sang anak tumbuh dengan keyakinan. Jika salah, dunia baginya akan terasa runtuh. Inilah kekuatan proposisi: ia mampu menghidupkan, sekaligus menghancurkan.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
﴿وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا﴾
“Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah: 83)
Ayat ini menegaskan bahwa kata bukan hanya alat, melainkan amanah. Sebagaimana doa bisa mengubah takdir, demikian pula kata-kata bisa mengubah arah hati seseorang.
Ketika kata menjadi doa
Proposisi tidak berhenti pada logika. Ia menjadi doa ketika ia membawa harapan dan kejujuran. Saat seorang suami berkata kepada istrinya, “Aku bersamamu,” ia bukan hanya menyatakan fakta, melainkan meneguhkan janji. Saat seorang murid berkata, “Aku akan belajar,” ia tidak hanya menyusun kata, melainkan memanggil masa depan.
Ibn Sīnā menegaskan:
«القضايا إذا تكررت في النفس صارت ملكةً، والملكة تصير هيئةً راسخةً»
“Proposisi bila berulang dalam jiwa akan menjadi kebiasaan, dan kebiasaan akan menjadi keadaan yang menetap.”
Kata-kata yang kita ulangi, baik doa atau ucapan, perlahan membentuk diri kita. Jika kita terus berkata dengan kejujuran, kejujuran akan menjadi rumah kita.
Jalan menuju kebeningan jiwa
Dalam bagian lain, Ibn Sīnā memberikan peringatan:
«قد تكون القضية حقاً في الصورة، باطلاً في المعنى»
“Terkadang sebuah proposisi benar dalam bentuk, namun batil dalam makna.”
Betapa sering kita menemukan kata yang tampak indah namun kosong. Janji yang terucap, tetapi tanpa niat. Senyum yang terlihat, tetapi tanpa cinta. Inilah mengapa proposisi tidak cukup hanya benar dalam bentuk, ia harus jujur dalam makna.
Rasulullah ﷺ bersabda:
«من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرًا أو ليصمت»
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini sejalan dengan peringatan Ibn Sīnā. Kata-kata yang tidak jujur hanya menambah debu dalam jiwa. Diam lebih mulia daripada ucapan yang palsu.
Menjadikan kata sebagai cahaya
Jika logika adalah lentera, maka proposisi adalah sumbu yang menyala. Ia bisa redup bila tidak diberi minyak, dan ia bisa terang bila dirawat. Kata yang kita pilih setiap hari adalah bahan bakarnya. Dengan kesadaran, kita bisa menjadikan setiap ucapan sebagai doa, sebagai jalan menuju kebenaran.
Ibn Sīnā menutup salah satu tanbīh-nya dengan kalimat:
«إياك أن تظن أن الكلام ينفع بغير نيةٍ صادقةٍ، فالكلمة على نية صاحبها تدور»
“Janganlah engkau mengira kata bermanfaat tanpa niat yang tulus, sebab kata berputar sesuai dengan niat pemiliknya.”
Inilah ajakan untuk menjadikan kata sebagai cermin hati. Setiap pernyataan yang keluar dari mulut kita akan kembali kepada kita sendiri. Jika ia jujur, ia menjadi cahaya. Jika ia palsu, ia menjadi beban.
Penutup
Membaca Al-Ishrāt wa al-Tanbīhāt bukan sekadar menekuni logika kaku, tetapi menemukan dimensi spiritual dalam kata. Ibn Sīnā mengajarkan bahwa proposisi adalah doa yang menyatukan pikiran dengan hati. Ia bisa menjadi tangga menuju kebenaran, atau jebakan yang menjerumuskan.
Di akhir renungan ini, kita diajak untuk menjaga ucapan sebagaimana kita menjaga doa. Sebab dalam setiap pernyataan tersembunyi kekuatan yang bisa mengubah dunia: menghidupkan jiwa, menenangkan akal, dan menuntun kita kepada kebenaran.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
