Surau.co. Seorang anak kecil menunjuk ke langit malam dan berkata, “Itu bulan.” Kita tersenyum, karena kita tahu kata bulan hanyalah penunjuk. Bulan tetaplah bulan meski disebut dengan bahasa berbeda. Ibn Sīnā dalam Al-Ishrāt wa al-Tanbīhāt mengingatkan bahwa definisi bukan sekadar kata, melainkan pintu menuju hakikat. Definisi adalah upaya jiwa untuk tidak terjebak pada bunyi, melainkan sampai pada makna yang sunyi.
Kitab ini, yang ditulis dengan kepadatan kata, sering kali seperti sebuah teka-teki. Namun di balik keheningannya, Ibn Sīnā mengajarkan bahwa logika tidak boleh berhenti pada bunyi definisi. Ia harus menuntun kita kepada inti sesuatu, bukan sekadar menyusun kalimat yang tampak indah.
Definisi sebagai jalan pulang ke hakikat
Dalam bagian logika, Ibn Sīnā menulis tentang pentingnya taʿrīf atau definisi. Ia mengibaratkan definisi sebagai cara kembali pulang kepada sesuatu dengan jalan yang paling dekat.
«إِنَّ التَّعْرِيفَ هُوَ رُجُوعٌ إِلَى الذَّاتِ بِأَقْرَبِ مَا يُمْكِنُ»
“Definisi adalah kembali kepada hakikat sesuatu dengan cara yang paling dekat.”
Ketika seseorang berkata, “Cinta adalah perasaan,” ia baru berdiri di pintu. Tetapi ketika ia berkata, “Cinta adalah gerak jiwa menuju yang indah,” ia sudah lebih dekat ke dalam rumah hakikat. Ibn Sīnā mengingatkan: jangan berhenti di luar pintu, teruslah melangkah hingga merasakan aroma yang sesungguhnya.
Nama hanyalah tanda, bukan tubuh
Sering kali kita terjebak pada nama. Kita memberi label pada sesuatu, lalu merasa sudah memahami. Namun nama hanyalah tanda di jalan. Hakikat tetap berdiri di balik tirai. Ibn Sīnā menuliskan isyarat tentang betapa dangkalnya jika hanya berhenti pada nama.
«لَيْسَتِ الْأَسْمَاءُ هِيَ الذَّوَاتُ وَلَا تَقْدِرُ عَلَى إِحَاطَتِهَا»
“Nama-nama bukanlah hakikat benda, dan ia tidak mampu meliputi keseluruhannya.”
Bayangkan seseorang memanggilmu dengan namamu, tetapi tak pernah mengenal hatimu. Nama hanyalah pintu. Hanya mereka yang masuk dengan hati yang bisa memahami isi rumah.
Bahasa bisa menipu, keheningan bisa membimbing
Dalam kehidupan sehari-hari, kata-kata sering dipakai untuk memanipulasi. Di media sosial, kata bisa viral, tetapi maknanya kosong. Ibn Sīnā memberi tanbīh: jangan sampai kita tersesat oleh keindahan bunyi.
«رُبَّ أَلْفَاظٍ تُزَيِّنُ الْعُقُولَ وَتُضِلُّهَا»
“Sering kali kata-kata memperindah pikiran, namun menyesatkannya.”
Maka ia mengingatkan bahwa kadang keheningan lebih jujur daripada kata. Keheningan membuka ruang bagi jiwa untuk benar-benar mengenali hakikat, tanpa ditutupi hiasan bunyi.
Hakikat dan doa yang terucap dalam kata
Bagi Ibn Sīnā, setiap proposisi atau kalimat definisi pada dasarnya adalah doa jiwa yang ingin sampai pada kebenaran. Ia berkata:
«إِنَّ الْقَوْلَ إِنَّمَا يَكُونُ طَرِيقًا لِإِظْهَارِ مَا فِي النَّفْسِ»
“Ucapan hanyalah jalan untuk menampakkan apa yang ada dalam jiwa.”
Dengan demikian, definisi bukan sekadar hasil berpikir kognitif, melainkan ungkapan terdalam dari kerinduan jiwa akan makna. Kata yang jujur adalah doa yang naik ke langit. Kata yang palsu adalah tirai yang menutupi hati.
Refleksi kehidupan sehari-hari
Seorang sahabat pernah berkata, “Aku mencintaimu.” Tetapi yang membuat kita percaya bukan kata itu sendiri, melainkan konsistensi sikapnya. Kita pun belajar bahwa definisi sejati bukan pada bunyi kata, tetapi pada hakikat yang terwujud.
Dalam pekerjaan pun sama. Seseorang bisa mendefinisikan dirinya sebagai “pekerja keras,” namun definisi itu hanya berarti jika dibuktikan dalam tindakan. Ibn Sīnā menegur kecenderungan manusia untuk berhenti pada kata, padahal hakikat menunggu di balik perbuatan.
Definisi dalam cahaya wahyu
Al-Qur’an menegaskan bahwa kata bisa membimbing, bisa pula menyesatkan. Allah berfirman:
﴿وَجَعَلْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوهُ وَفِي آذَانِهِمْ وَقْرًا﴾
“Kami jadikan hati mereka tertutup agar tidak memahaminya, dan telinga mereka berat mendengarnya.” (QS. Al-An‘ām: 25)
Ayat ini menunjukkan bahwa kebenaran tidak berhenti pada kata yang terdengar, tetapi menembus ke hati yang terbuka. Ibn Sīnā seakan menegaskan hal ini dengan isyaratnya: jangan terjebak pada nama, carilah hakikat yang melampaui bunyi.
Logika sebagai jembatan ke kebijaksanaan
Logika dalam pandangan Ibn Sīnā bukanlah menara gading. Ia adalah jembatan yang menghubungkan manusia dengan kebijaksanaan. Definisi adalah salah satu papan penting di jembatan itu. Jika papan ini rapuh, seluruh perjalanan bisa runtuh.
Namun, ketika definisi kuat, perjalanan menuju pengetahuan akan kokoh. Kita tidak akan mudah tertipu oleh kata manis yang kosong. Kita akan terbiasa mencari hakikat di balik nama.
Menyelami definisi dengan hati yang tunduk
Membaca bagian ini dari Al-Ishrāt wa al-Tanbīhāt seakan membaca sebuah puisi tersembunyi. Ibn Sīnā tidak hanya memberi kita teori, tetapi juga peringatan. Ia ingin kita berjalan perlahan, menundukkan hati, dan menyadari bahwa kata hanyalah jembatan.
Dalam hidup modern, kita sering sibuk mengumpulkan kata-kata, definisi, dan label. Namun yang dibutuhkan adalah keberanian untuk melewati jembatan itu, lalu sampai pada hakikat yang sunyi.
Penutup
Definisi bukan hanya kata. Ia adalah pintu, jalan, dan doa jiwa. Ibn Sīnā melalui isyarat-isyaratnya mengajarkan bahwa nama hanyalah tanda. Hakikatlah yang menjadi tujuan. Dalam dunia penuh kebisingan, pesan ini terasa semakin penting: berhentilah sejenak, dengarkan keheningan, dan temukan hakikat yang tidak terikat oleh kata.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
